Minggu, 15 Maret 2009

IMUNITAS TERHADAP YURISDIKSI NEGARA

Imunitas (Immunity) mengecualikan dan membebaskan mereka dari penerapan atau pelaksanaan yurisdiksi territorial Negara setempat sehingga disebut juga pengecualian atau pembebasan dari azas yurisdiksi territorial (exemption from territorial jurisdiction).
=è State immunity atau souvereign immunity (melekat pada Negara, Kepala Negara, Kepala Pemerintahan (termasuk pejabat tinggi Negara atau pemerintahan). Azas-azas yang melandasi Souvereign Immunity : 1) Par in parem non habet imperium (suatu Negara berdaulat tidak dapat mdenjalankan kedaulatan terhadap Negara berdaulat lain; 2) Azas Resiprositas atau azas timbal balik (Reciprocity principle); Kasus Sultan Johor pada abad 19 : Pengadilan Inggeris menyatakan tidak berwenang untuk mengadili Sultan Johor yang digugat oleh seorang wanita Inggeris karena tergugat adalah seorang Sultan atau Raja atau Kepala Negara (memiliki kekebalan kedaulatan atau kekebalan sebagai kepala Negara) : a) Kerajaan Inggeris mengakui kerajaan Malaka sebagai Negara berdaulat (Par in parem non habet imperium); b) Raja Malaka (termasuk Sultan Johor) serta keluarganya menikmati kekebalan ketika berada di negeri Inggeris, sebagaimana halnya Raja Inggeris serta keluarganya menikmati kekebalan di negeri Malaka (Azas Resiprositas). Kasus Sultan Johor adalah kasus kekebalan dari yurisdiksi territorial yang menyangkut kekebalan dari proses hukum di Negara setempat.
=èNamun kekebalan dari yurisdiksi territorial tidak hanya menyangkut kekebalan dari proses hukum setempat, tetapi juga kekebalan dari eksekusi keputusan pengadilan setempat (harta kekayaan/ asset Negara asing tidak bisa disita atau dieksekusi oleh aparat hukum Negara setempat). Kasus klasik yang dapat menjelaskan hubungan antara yurisdiksi territorial dan kekebalan kedaulatan adalah the Schooner Exchange v. Mc Faddon yang diputuskan oleh the US Supreme Court. Chief Justice Marshall menyatakan bahwa yurisdiksi suatu Negara di dalam wilayahnya sendiri bersifat eksklusif dan mutlak, tetapi tidak mencakup Negara asing (foreign sovereigns). Dia menyatakan bahwa kesamaan penuh (perfect equality) dan kemerdekaan mutlak (absolute independence) Negara-negara menimbulkankan sekumpulan kasus-kasus di mana setiap Negara berdaulat dianggap melepaskan pelaksanaan sebagian yurisdiksi territorial yang penuh dan eksklusif yang dinyatakan sebagai atribut setiap Negara. Dengan demikian kapal perang yang memasuki pelabuhan dari Negara sahabat, harus dianggap dikecualikan atau dibebaskan dari yurisdiksi negara sahabat. Aturan-aturan ini tidak akan berlaku pada kapal swasta (private ships) yang mudah tunduk pada yurisdiksi Negara lain ketika berada di luar negeri.

=è Pada abad 18 dan 19, berlaku konsep kekebalan mutlak (absolute immunity) di mana Negara sepenuhnya kebal atau memiliki kekebalan penuh dari yurisdiksi Negara lain dalam semua perkara tanpa melihat dan memperhatikan adanya keadaan-keadaan tertentu. Namun timbul masalah ketika Negara mulai terjun dalam kegiatan-kegiatan komersial sehingga banyak Negara melakukan modifikasi terhadap prinsip kekebalan mutlak. Adanya sejumlah badan-badan pemerintah dan perusahaan-perusahaan negara, industri-industri yang dinasionalisasi serta organ-organ negara lainnya merupakan reaksi terhadap prinsip kekebalan mutlak, sebagian disebabkan karena hal seperti ini memungkinkan perusahaan Negara (state enterprises) untuk mendapat keuntungan melebihi perusahaan swasta. Dengan demikian banyak Negara mulai menganut doktrin kekebalan terbatas (the restrictive immunity) yang tetap mengakui atau memberikan kekebalan apabila menyangkut kegiatan pemerintahan (governmental activity), tetapi apabila Negara melakukan kegiatan komersial (commercial activity) maka kekebalan tersebut tidak dapat diberikan. Tindakan pemerintah yang dilakukan demi untuk kepentingan public dan membuat kekebalan tetap diberikan disebut dengan istilah acts jure imperii, sementara tindakan pemerintah yang berkaitan dengan komersial disebut dengan istilah acts jure gestionis.
Negara yang pada waktu tertentu menerapkan prinsip kekebalan absolute adalah Inggeris (United Kingdom), hal ini terbukti dalam sejumlah kasus penting, seperti the Parlement Belge Case. Dalam kasus ini the Court of Appeal menekankan bahwa prinsip yang dapat ditarik dari semua kasus sebelumnya adalah bahwa setiap Negara melalui pengadilan menolak menjalankan yurisdiksi teritorialnya terhadap pribadi dari setiap penguasa atau Duta Besar dari setiap Negara lain ataupun terhadap harta kekayaan dari setiap Negara yang digunakan bagi kepentingan public… meskipun pribadi penguasa, duta besar ataupun harta kekayaan itu berada di dalam yurisdiksi atau kekuasaan hukumnya. Contoh paling ekstrim mengenai doktrin kekebalan absolute adalah kasus Porto Alexandre. Sebuah kapal Portugis yang diambilalih berdasarkan surat perintah yang dikeluarkan oleh pengadilan Inggeris karena tidak membayar yuran atas pelayanan kapal penyeret (tug) dekat Liverpool. Kapal ini semata-mata melakukan private trading operations atau kegiatan dagang, tetapi pengadilan merasa terpaksa atas syarat-syarat dari prinsip the Parlement Belge untuk menolak kasus itu mengingat adanya kepentingan pemerintah Portugis.
=èDalam kasus Duff Development Company v. Kelantan
=è Sejumlah negara ternyata mulai mengadopsi pendekatan imunitas yang bersifat terbatas dengan memperkenankan adanya yurisdiksi terhadap tindakan-tindakan yang non-sovereign pada tahap yang relatif awal. Mahkamah Agung Austria pada tahun 1950 dalam sebuah survei yang bersifat komprehensif atas praktek negara- negara mengenai kekebalan terbatas berkesimpulan bahwa mengingat meningkatnya kegiatan negara-negara dalam bida ng komersial, maka doktrin klasik tentang kekebalan mutlak kehilangan maknanya dan tidak lagi menjadi kaidah hukum internasional. Pada tahun 1952 di dalam Tate letter, Departemen Luar Negeri AS menyatakan bahwa meningkatnya keterlibatan pemerintah dalam kegiatan komersial seiring dengan berubahnya pandangan negara-negara asing terhadap absolute immunity berkontribusi terhadap perlunya sebuah perubahan dan bahwa Deplu AS akan mengikuti teori kekebalan kedaulatan yang bersifat terbatas (the restrictive theory of sovereign immunity). Doktrin kekebalan terbatas ini juga sudah diadopsi oleh pengadilan-pengadilan di AS, terutama sekali dalam kasus Victory Transport Inc.v. Comisaria General de Abasteciementos y Transportes. Dalam kasus ini, pengadilan, dalam hal Departemen Luar Negeri tidak memberikan saran mengenai imunitas para tergugat, suatu unit dari Kementerian Perdagangan Spanyol menegaskan adanya yurisdiksi karena pencarteran atau penyewaan (the chartering) sebuah kapal untuk mengangkut gandum tidak mutlak merupakan suatu tindakan politik atau publik. Pendekatan teori restriktif didukung oleh empat hakim Supreme Court dalam Alfred Dunhill of London Inc. v. Republic of Cuba.

*****Diplomatic Immunity….. Vienna Convention on Diplomatic Relations, 1961
=èKekebalan diplomatik melekat pada : diri pribadi pejabat diplomatik serta keluarganya, gedung perwakilan diplomatik, tempat kediaman pejabat diplomatik, arsip, surat menyurat, tas serta paket diplomatik.
=è Pribadi pejabat diplomatik memiliki kekebalan dari penerapan yurisdiksi teritorial negara penerima (the receiving state) dalam perkara pidana, administratif maupun perkara perdata. Namun kekebalan seorang pejabat diplomatik dapat dibatalkan, dihapuskan atau ditarik kembali oleh Pemerintah negara pengirim (the sending state) atau Kepala Perwakilan Diplomatik. Kekebalan diplomatik bukan merupakan hak istimewa atau hak prerogatif (praerogative right) dari pejabat diplomatik ybs, melainkan sesuingguhnya merupakan kekebalan negara pengirim atau kekebalan pemerintahnya sehingga kekebalan tersebut hanya dapat dibatalkan oleh Pemerintah negara pengirim dan tidak mungkin dapat dibatalkan sendiri oleh pejabat diplomatik ybs tanpa persetujuan negara pengirimnya.
=è Fungsi Perwakilan Diplomatik / Pejabat Diplomatik: representing, negotiating,protecting, promoting, reporting and ascertaining;
=è Kewajiban pejabat diplomatik :a) mematuhi peraturan-peraturan hukum di negara penerima; b) tidak mencampuri urusan dalam negeri negara penerima.
=è Pelanggaran oleh pejabat diplomatik terhadap peraturan-peraturan hukum setempat, termasuk melakukan tindak pidana berat ataupun mengganggu ketertiban serta membahayakan keamanan negara penerima tetap membebaskan pejabat ybs dari pelaksanaan yurisdiksi teritorial atau kekuasaan hukum negara penerima. Namun pejabat diplomatik ybs dapat dikenai pernyataan persona non grata oleh Pemerintah negara penerima walaupun pernyataan persona non grata dapat dilakukan sebelum ybs menjalankan tugasnya di negara penerima. Pernyataan Persona non grata merupakan terobosan terhadap kekebalan diplomatik yang dapat dilakukan oleh negara penerima dalam usaha menghormati dan mematuhi azas kekebalan diplomatik yang membebaskan pejabat diplomatik ybs dari yurisdiksi teritorial dan sekaligus juga memulihkan serta mempertahankan martabat (dignity) atau kedaulatan negara penerima.
=è Pernyataan persona non grata membawa konsekuensi bahwa orang ybs harus meninggalkan negara penerima dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh Pemerintah negara setempat dan dia harus kembali ke negara asalnya, negara penerima.
=è Walaupun kekebalan diplomatik membebaskan pejabat diplomatik dari pelaksanaan kekuasaan hukum setempat (yurisdiksi teritorial negara penerima) ketika terlibat dalam tindak pidana berat, namun setelah dipersonanongratakan oleh negara penerima dan kembali ke negara pengirim, dia tidak dibebaskan dari tanggungjawab hukum (legal liability) di negara asalnya atau di negara pengirim. Negara pengirim wajib menuntut pertanggungjawaban dari orang ybs atas kesalahan yang dilakukannya di negara penerima.
=è Berbagai kasus persona non grata :
1) Pejabat diplomatik asing yang dipersonanongratakan oleh Pemerintah RI :
*** Kasus Diplomat Uni Soviet (SP Egorov) 9 Januari 1982 …Mencampuri urusan domestik Indonesia.
*** Kasus dua Diplomat AS tahun 1994… tindak pidana berat (sindikat narkoba);
*** Bagaimana dengan Kasus Namru (Naval American Medical Research Unit) yang ditempatkan sebagai bagian dari Kedubes AS dan diakui kekebalannya oleh Pemerintah RI ?
2) Pejabat diplomatik Indonesia yang dipersonanongratakan di negara lain (negara penerima) :
*** Kasus Leo Lopulisa (Dubes RI untuk Philipina pada tahun 1980-an);…mencampuri urusan domestik Philipina);
*** Kasus Gading Gajah …tindak pidana penyelundupan gading gajah;
*** Kasus Nana Sutresna (Dubes RI untuk Kerajaan Inggeris)…puteranya tersangkut dalam tindak pidana narkoba… persona non grata terselubung. Walaupun Konvensi Wina 1961 mengenai hubungan diplomatik tidak menyebut mengenai persona non grata yang bersifat terselubung (implied) karena persona non grata harus dinyatakan secara tegas, hal seperti ini dapat dikemas dalam cara dan alasan yang legal terkait dengan penarikan kembali Dubes Nana Sutresna dari Inggeris beberapa tahun lalu.
=è Seorang pejabat diplomatik dapat dilepaskan kekebalannya dalam hal ybs tersangkut perkara perdata akibat tindakan yang dilakukannya bersifat pribadi dan untuk kepentingan pribadinya dan bukan dalam kapasitasnya sebagai pejabat diplomatik. Wanprestasi ataupun perbuatan melawan hukum yang dilakukan dapat dipakai sebagai alasan oleh siapapun yang merasa dirugikan untuk mengajukan gugatan perdata serta menuntut gantirugi dari pejabat diplomatik ybs. Namun gugatan perdata hanya dapat diproses oleh pengadilan setempat apabila sudah terjadi penghapusan kekebalan (waiver of immunity). Waiver of immunity atau penghapusan kekebalan terhadap diplomat ybs harus dilakukan secara tegas atau tertulis sebab hanya dengan cara seperti itu proses pemeriksaan perkara perdata dapat dijalankan oleh pengadilan setempat sebagai pelaksanaan yurisdiksi teritorial negara setempat.
=è Putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan setempat tidak langsung dapat dieksekusi sebab untuk mengeksekusi atau melaksanakan putusan pengadilan dibutuhkan penghapusan kekebalan dari eksekusi secara tersendiri. Inilah yang dinamakan separate waiver.
=è Mengenai kekebalan konsuler (Consular Immunity)--- pengaturannya dalam hubungan konsuler 1963 (The Vienna Convention on Consular Relations 1963). Para Konsul mewakili negaranya dalam banyak bidang administratif, misalnya mengeluarkan visa dan paspor (visas and passports) dan pada umumnya mempromosikan kepentingan negara pengirimnya dalam bidang komersial. Mereka ditempatkan tidak hanya di ibukota negara penerima, tetapi juga di banyak kota besar penting dari suatu provinsi. Fungsi politiknya hanya sedikit sehingga konsul tidak diberikan tingkat kekebalan yang sama terhadap yurisdiksi seperti pejabat diplomatik (diplomatic harus mempunyai sebuah komisi yang berasal dari negara pengirim serta negara penerima. Konsul berhak atas pengecualian sama dari kewajiban dalam bidang pajak serta bea cukai sebagaimana halnya dengan diplomat.
***Pasal 31 dari Konvensi Wina 1963 menekankan bahwa gedung-gedung perwakilan konsuler (consular premises) tidak dapat diganggugugat (inviolable) serta tidak dapat dimasuki oleh otoritas negara penerima tanpa persetujuan dari Kepala perwakilan konsuler. Sebagaimana dengan gedung perwakilan diplomatik (diplomatic premises), maka gedung konsuler harus dilindungi melawan serangan dan gangguan atas martabat (dignity); arsip dan dokumen juga memiliki kekebalan serupa serta gedung konsuler dibebaskan dari pajak.
*** Pasal 41 menetapkan bahwa para petugas konsuler tidak dapat ditangkap atau ditahan kecuali terbukti terlibat dalam tindak pidana berat yang diputuskan oleh pengadilan yang berwenang. Jika proses pemeriksaan kasus kriminal ini mulai berjalan, maka konsul itu harus tampil di depan otoritas yang berwenang. Proses persidangan tersebut harus dilakukan dengan cara yang menghormati kedudukannya sebagai seorang konsul (official position) serta memperkecil hal-hal yang dapat mengganggu pelaksanaan tugas-tugas konsuler. Berdasarkan ketentuan pasal 43 kekebalannya dari yurisdiksi dibatasi baik dalam masalah pidana maupun perdata pada tindakan-tindakan atau perbuatan-perbuatan yang dilakukan dalam menjalankan tugas-tugas resmi sebagai konsul.
=è Mengenai kekebalan dari Misi Khusus (Special Missions) terdapat pengaturannya dalam The Convention on Special Missions 1969. Dalam banyak hal negara-negara akan atau dapat mengirim dan mengutus misi khusus atau misi ad hoc ke negara-negara tertentu untuk membicarakan suatu isu yang telah ditentukan di samping mempercayakannya kepada staff perwakilan diplomatik dan konsuler yang sifatnya permanen. Dalam keadaan demikian utusan khusus (special missions) entah semata-mata bersifat teknis atau secara politis penting dapat mengandalkan adanya kekebalan-kekebalan tertentu yang pada dasarnya berasal (derived from) dari Konvensi-Konvensi Wina dengan cara menggunakan analogi disertai modifikasi seperlunya. Berdasarkan ketentuan pasal 8 dari the Convention on Special Missions 1969, negara pengirim harus membiarkan negara penerima (the host state) mengetahui besarnya (size) serta komposisi dari misi tersebut, sementara menurut pasal 17 misi tadi harus hadir di suatu tempat yang disetujui oleh negara-negara yang bersangkutan atau di Kementerian Luar Negeri dari negara penerima.
Berdasarkan ketentuan pasal 31 para anggota dari special missions tidak memiliki imunitas menyangkut klaim yang timbul dari suatu kecelakaan akibat suatu kendaraan yang digunakan di luar tugas resmi dari orang ybs dan berdasarkan ketentuan pasal 27 maka kebebasan bergerak dan bepergian yang diperkenankan hanyalah kebebasan bergerak dan bepergian yang diperlukan untuk menjalankan fungsi-fungsi dari misi khusus.
=è Mengenai kekebalan perwakilan negara-negara pada suatu Organisasi Internasional, dapat dilihat dalam the Vienna Convention on the Representation of States in their Relations with International Organizations, 1975. Perjanjian ini berlaku terhadap perwakilan negara-negara pada suatu organisasi internasional yang bersifat universal tanpa memperhatikan ada tidaknya hubungan diplomatik antara negara pengirim (sending state) dengan negara setempat (host state). Terdapat banyak kemiripan (similarities) antara Konvensi Wina 1975 dengan Konvensi Wina 1961. Misalnya berdasarkan pasal 30 staff diplomatik menikmati kekebalan penuh (complete immunity) dari yurisdiksi kriminal dan kekebalan dari yurisdiksi sipil dan administratif dalam semua hal (in all cases), terkecuali untuk kekecualian yang sama yang ditentukan dalam pasal 31 dari Konvensi Wina 1961. Staff bidang administratif, teknis dan dinas pelayanan (service) posisinya sama sebagaimana diatur dalam Vienna Convention 1961. Gedung perwakilan (the mission premises) negara pengirim pada suatu organisasi internasional yang berada di negara setempat tidak bisa diganggugugat (inviolable) serta dibebaskan dari kewajiban perpajakan oleh negara setempat, sementara arsip, dokumen serta korespondensi juga tidak bisa diganggugugat oleh aparat negara setempat.
=è Mengenai kekebalan dari Organisasi Internasional, dapat dikemukakan sebagai berikut. Sejauh menyangkut kaidah-kaidah kebiasaan posisi organisasi internasional jauh dari jelas dan diatur melalui perjanjian yang mengatur imunitas bagi lembaga-lembaga internasional yang ditempatkan di dalam wilayah negara setempat. Kekebalannya dapat diatur melalui perjanjian apabila secara fungsional kekebalan tersebut diperlukan untuk mewujudkan tujuan-tujuan dari organisasi atau lembaga internasional itu. Agaknya contoh paling penting di dalam konvensi yang bersifat umum mengenai kekebalan dan hak-hak istimewa PBB tahun 1946, yang menetapkan kekebalan PBB serta para personilnya dan menekankan prinsip inviolability pada gedung organisasi internasional, arsip dan dokumen.
=è Mengenai penghapusan kekebalan (waiver of immunity), berdasarkan ketentuan pasal 32 dari Vienna Convention 1961, negara pengirim dapat menghapuskan kekebalan yurisdiksi dari orang yang berhak atas kekebalan meskipun penghapusan itu harus selalu dilakukan secara tegas. Apabila seseorang yang mempunyai kekebalan memulai suatu perkara (initiates proceedings), dia tidak bisa mengklaim kekebalan menyangkut suatu tuntutan balik (any counterclaim) yang terkait langsung dengan tuntutan pokok (the principal claim). Penghapusan kekebalan yurisdiksi menyangkut perkara perdata atau administratif tidak boleh dilakukan sehingga memuat penghapusan kekebalan menyangkut pelaksanaan putusan (the execution of the judgment). Penghapusan kekebalan eksekusi putusan memerlukan penghapusan tersendiri (separate waiver).
=è Kekebalan kedaulatan (sovereign immunity) juga dapat dihapuskan. Section 2 dari the State Immunity Act of 1978 menetapkan hilangnya kekebalan (the loss of immunity) atas dasar penyerahan sengketa kepada yurisdiksi pengadilan baik melalui perjanjian tertulis yang dibuat sebelum timbulnya sengketa maupun sesudahnya. Suatu negara dianggap sudah menyerahkan kepada yurisdiksi pengadilan kalau negara ybs memulai atau campur tangan dalam perkara di pengadilan (terkecuali dia mengklaim kekebalan semata-mata). Jika suatu negara menyerahkan sengketa kepada yurisdiksi pengadilan, maka dia dianggap telah menyerahkan kepada yurisdiksi pengadilan setiap tuntutan balik (any counter claim) yang timbul dari hubungan atau fakta hukum yang sama dengan tuntutan atau gugatan tersebut. Suatu ketentuan dalam suatu persetujuan bahwa hal itu harus diatur dengan hukum Inggeris tidak boleh dianggap sebagai suatu penyerahan sengketa kepada pengadilan (submission).
Berdasarkan section 9 dari the State Immunity Act of1978, apabila suatu negara sepakat secara tertulis untuk menyerahkan kepada sebuah arbitrasi suatu persengketaan (tetapi bukan sengketa antarnegara, inter-state dispute) yang sudah timbul atau mungkin timbul, maka negara ybs tidak kebal apabila menyangkut sidang perkara di pengadilan Inggeris terkait dengan arbitrasi.








Tidak ada komentar: