Minggu, 15 Maret 2009

YURISDIKSI NEGARA (STATE JURISDICTION)

YURISDIKSI NEGARA (STATE JURISDICTION)

- TIDAK DAPAT DIPISAHKAN DARI AZAS KEDAULATAN NEGARA (STATE SOUVEREIGNTY)
- KONSEKUENSI LOGIS DARI AZAS KEDAULATAN NEGARA
- NEGARA MEMILIKI KEDAULATAN ATAU KEKUASAAN TERTINGGI DALAM BATAS-BATAS TERITORIALNYA (TERRITORIAL SOUVEREIGNTY) -à yurisdiksi territorial (territorial jurisdiction)
- Sesungguhnya pengertian YURISDIKSI NEGARA jauh lebih luas daripada pengertian KEDAULATAN NEGARA sebab tidak hanya terbatas pada apa yang dinamakan yurisdiksi territorial sebagai konsekuensi adanya kedaulatan territorial, tetapi juga mencakup yurisdiksi Negara yang bukan yurisdiksi territorial (yurisdiksi ekstra territorial atau extra territorial jurisdiction) yang eksistensinya bersumber dari hukum internasional, seperti yurisdiksi negara di jalur tambahan, di zee, di landas kontinen, di laut bebas, di ruang angkasa etc.
- Ada berbagai macam yurisdiksi Negara. Selain yang baru dikemukakan di atas, ada yang dinamakan y. legislative, executive, administrative, judicative, y. kriminal dan sipil, y. personal, y. universal etc.
- Namun dari berbagai macam yurisdiksi Negara, maka yang paling menonjol dan significant adalah y. territorial (territorial jurisdiction). Mengapa ?
- Karena yurisdiksi seperti inilah yang pada akhirnya dapat dilaksanakan oleh suatu negara terkait dengan siapapun dan apapun yang berada di dalam batas-batas wilayahnya.
- Menurut Starke, yurisdiksi territorial dapat diartikan sebagai hak, kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki oleh Negara untuk membuat peraturan-peraturan hukum, melaksanakan dan memaksakan berlakunya peraturan-peraturan tersebut dalam hubungan dengan orang, benda, hal atau masalah yang berada dan atau terjadi di dalam batas-batas wilayah dari Negara yang bersangkutan.
Dalam hukum internasional dikenal apa yang disebut perluasan yurisdiksi territorial (the extention of territorial jurisdiction).
- Timbul akibat kemajuan iptek, khususnya teknologi transportasi, komunikasi dan informasi serta hasil-hasilnya.
- Kemajuan iptek ini ditampung dan diakomodasi oleh masyarakat dan hukum internasional guna mengantisipasi pemanfaatan dan penyalahgunaan hasil-hasil iptek ini oleh mereka yang terlibat dalam pelanggaran hukum maupun tindak pidana di dalam wilayah suatu Negara.
- Perluasan yurisdiksi teritorial mempergunakan dua pendekatan ;
1) Prinsip territorial subyektif (the subjective territorial principle);
2) Prinsip territorial obyektif (the objective territorial principle);
Prinsip pertama memperkenankan suatu Negara untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya terhadap suatu tindak pidana yang mulai dilakukan atau terjadi di dalam wilayah negaranya walaupun berakhir atau diselesaikan di Negara lain. Penerapannya dapat ditemukan antara lain dalam beberapa perjanjian internasional, seperti Geneva Convention on the Suppression of Counterfeiting Currency, 1929; Geneva Convention on the Suppression of the Illicit Drug Traffic, 1936, etc).
Prinsip kedua memperkenankan suatu Negara untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya terhadap suatu tindak pidana yang terjadi di luar negeri (Negara lain), tetapi berakhir atau diselesaikan dan membahayakan negaranya sendiri. Penerapan prinsip territorial obyektif ini, selain dapat ditemukan dalam kedua perjanjian atau konvensi tersebut di atas, juga dalam konvensi-konvensi atau perjanjian-perjanjian lainnya. Kedua prinsip yang digunakan dalam memperluas yurisdiksi territorial tersebut sudah pasti membawa dan menimbulkan apa yang dinamakan persaingan yurisdiksi (concurrent jurisdiction), yaitu antara Negara tempat terjadinya suatu tindak pidana dengan Negara yang menerima akibatnya ataupun dengan Negara tempat pelakunya berada atau melarikan diri etc.
Prinsip territorial obyektif selain dapat dilihat atau ditemukan dalam berbagai perjanjian internasional, juga dapat ditemukan dalam putusan Mahkamah Internasional Permanen terkait dengan kasus Lotus (the Lotus Case). Kasus atau perkara ini melibatkan Perancis dan Turki yang timbul akibat peristiwa tubrukan kapal kedua Negara di laut bebas di luar perairan territorial Turki. Turki melalui pengadilannya menerapkan aturan hukum pidananya yang di dalamnya memuat azas perlindungan (jurisdiction according the protective principle) di mana tindak pidana yang terjadi di luar wilayah Turki menimbulkan kerugian bagi Turki atau warganya. Karena kapten kapal Perancis (MV Lotus) dihukum, lalu Pemerintah Perancis melakukan protes terhadap Turki. Sengketa kedua Negara diajukan ke depan Mahkamah Internasional Permanen yang pada akhirnya menyatakan bahwa tidak ada larangan dalam hukum kebiasaan internasional bagi suatu Negara untuk menjalankan yurisdiksinya atas suatu tindak pidana yang terjadi di luar negeri, tetapi merugikan Negara tersebut. Putusan Mahkamah ini di samping mengakui azas perlindungan sebagai landasan dalam menjalankan yurisdiksi, juga terutama menerapkan azas territorial obyektif, di mana tindak pidana tersebut terjadinya dimulai dari kapal Perancis, tetapi membawa akibat yang merugikan kapal Turki yang dianggap sebagai bagian integral dari wilayah Turki sehingga yang berlaku adalah hukum Negara ini.

Selanjutnya di dalam hukum internasional diakui atau dikenal apa yang dinamakan yurisdiksi personal atau yurisdiksi perseorangan (personal jurisdiction). Suatu Negara dapat mengklaim yurisdiksinya berdasarkan azas personalitas (jurisdiction according to personality principle atau disingkat dengan personal jurisdiction). Yurisdiksi personal adalah yurisdiksi terhadap seseorang, apakah dia adalah warganegara atau orang asing. Hanya saja orang yang bersangkutan tidak berada dalam wilayahnya atau dalam batas-batas territorial dari Negara yang mengklaim yurisdiksi seperti ini. Negara yang mengklaim atau menyatakan yurisdiksinya baru dapat menjalankan yurisdiksi atau kekuasaan hukumnya apabila orang yang bersangkutan sudah datang dan berada dalam batas-batas teritorialnya, entah dia datang secara suka rela ataukah datang secara terpaksa, misalnya melalui proses ekstradisi.
Yurisdiksi personal dapat digunakan berdasarkan dua macam azas, yaitu azas atau prinsip nasionalitas aktif (active nationality principle) serta prinsip nasionalitas pasif (passive nationality principle).
Yurisdiksi Negara berdasarkan prinsip nasionalitas aktif atau disingkat saja prinsip nasionalitas aktif memperkenankan suatu Negara untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya terhadap suatu tindak pidana apabila orang yang melakukan tindak pidana atau orang yang bersalah adalah warganegaranya sendiri. Hal ini disebabkan karena hukum nasional dari suatu Negara akan selalu mengikuti warganegaranya dimanapun dia berada dan kemanapun dia bepergian. Orang Indonesia membunuh seseorang di Philipina. Hukum Indonesia mengikuti, melekat dan berlaku pada pelakunya, tetapi pada saat bersamaan juga berlaku hukum Filipina sehingga terjadi persaingan yurisdiksi (concurrent jurisdiction). Namun dari persaingan ini, Negara yang efektif menjalankan yurisdiksinya adalah Filipina. Filipina dapat secara efektif menjalankan yurisdiksinya berdasarkan azas territorialitas terkait dengan tempat kejadian dan terutama pelakunya. Sebaliknya Indonesia tidak mungkin efektif menjalankan yurisdiksinya, sekalipun Indonesia berkepentingan dan dapat saja mengklaim yurisdiksinya berdasarkan azas personalitas, dalam hal ini prinsip nasionalitas aktif. Kalau Filipina menjalankan yurisdiksi teritorialnya dengan melakukan proses hukum terhadap warganegara Indonesia, maka Indonesia wajib menghormatinya. Kasus pembunuhan oleh Harmoko (Oki), warganegara Indonesia dengan korbannya dua orang Indonesia dan seorang warganegara India yang terjadi dalam wilayah hukum AS pada tahun 1994 menimbulkan persaingan yurisdiksi di antara kedua Negara. AS mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya berdasarkan azas territorialitas (territorial jurisdiction) karena tempat kejadian, alat bukti, barang bukti termasuk para korban terjadi dan berada di dalam wilayah AS (di Los Angeles). Sedangkan Indonesia juga mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya berdasarkan azas personalitas karena pelaku kejahatan di AS adalah warganegara Indonesia (azas nasionalitas aktif) dan korbannya adalah juga warganegaranya (azas nasionalitas pasif). Selain azas personalitas, maka klaim dan pernyataan yurisdiksi Indonesia atas kasus pembunuhan di AS juga didasarkan atas azas territorialitas karena pelakunya sudah terlanjur masuk ke dalam wilayah Indonesia sebelum kasus itu berhasil dibongkar oleh aparat hukum AS.
Selanjutnya apa yang dinamakan prinsip nasionalitas pasif (passive nationality principle) memperkenankan suatu Negara untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya terhadap suatu tindak pidana yang terjadi di luar negeri apabila pelakunya adalah orang asing, tetapi korbannya adalah warganegaranya sendiri. Orang asing yang melakukan tindak pidana di luar negeri dan merugikan warganegara dari suatu Negara, maka Negara korban dapat mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya berdasarkan azas personalitas, dalam hal ini azas nasionalitas pasif. Negara yang bersangkutan baru dapat menjalankan yurisdiksinya secara efektif apabila pelakunya sudah datang dan berada di dalam wilayahnya. Ada tindakan-tindakan tertentu yang bagi suatu Negara dikategorikan sebagai tindak pidana, tetapi bagi Negara lain bukan tindak pidana atau bukan perbuatan melawan hukum. Misalnya pencemaran nama baik seseorang dikategorikan sebagai tindak pidana dalam hukum Indonesia, tetapi dalam hukum AS bukan tindak pidana. Hal seperti ini yang antara lain melatarbelakangi timbulnya azas personalitas yang memungkinkan atau memperkenankan suatu Negara mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya terhadap suatu tindak pidana yang dilakukan oleh orang asing di luar negeri, namun merugikan warganegaranya sendiri. Dalam hubungan ini, persaingan yurisdiksi tentu saja terjadi dan tidak terhindarkan di antara beberapa Negara yang mempunyai kepentingan. Negara mana yang pada akhirnya dapat menjalankan yurisdiksinya secara efektif, tergantung pada Negara tempat pelakunya berada. Kasus pencemaran nama baik mantan Presiden Soeharto oleh majalah Time secara implisit mengandung persaingan yurisdiksi antara Indonesia dan AS, di mana pihak Indonesia berkepentingan untuk mengklaim dan menyatakan kewenangannya berdasarkan azas personalitas pasif, sementara pihak AS berkepentingan untuk tidak mengklaim dan untuk tidak menyatakan kewenangannya berdasarkan azas territorialitas.


Hukum internasional juga mengakui apa yang dinamakan yurisdiksi berdasarkan azas universal atau disingkat yurisdiksi universal (universal jurisdiction). Semua Negara tanpa terkecuali dapat mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya berdasarkan azas universal. Terdapat tindak-tindak pidana tertentu yang karena sifat atau karakternya memun gkinkan atau memperkenankan semua Negara tanpa terkecuali untuk mengklaim dan menyatakan kewenangannya atas suatu tindak pidana yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan tanpa menghiraukan siapa pelakunya (warganegaranya sendiri atau orang asing), siapa korbannya (warganegaranya sendiri atau orang asing), juga tanpa menghiraukan tempat terjadinya maupun waktu terjadinya. Tindak-tindak pidana yang dimaksudkan antara lain adalah kejahatan perang (war crimes), kejahatan terhadap perdamaian dunia (crimes against international peace), kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity), perompakan laut (piracy), pembajakan udara (hijacking), kejahatan terorisme (terrorism) dan berbagai kejahatan kemanusiaan lainnya yang dinilai dapat membahayakan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Dalam hubungan ini sering tidak dapat dihindari adanya persaingan yurisdiksi di antara berbagai Negara yang mempunyai kepentingan, yaitu antara Negara tempat terjadinya suatu tindak pidana seperti itu dengan Negara Negara korban, dengan Negara tempat pelakunya berada atau melarikan diri etc. Untuk dapat mengklaim dan menyatakan yurisdiksi terhadap tindak pidana seperti itu, maka Negara-negara yang berkepentingan masing-masing seharusnya telah membuat peraturan-peraturan hukum nasional yang dapat digunakan untuk menangani tindak pidana seperti itu. Kasus Eichmann (Eichmann Case) dipandang sebagai tonggak awal lahirnya yurisdiksi universal. Sebagai Negara korban pada masa Perang Dunia II, Israel membuat Undang-Undang yang mengatur mengenai kejahatan perang, kejahatan terhadap perdamaian dunia dan kejahatan terhadap kemanusiaan, terutama terhadap bangsa Yahudi. Dengan menerapkan undang-undang ini, Pengadilan Israel berhasil membuktikan kesalahan Eichman sehingga pengadilan menjatuhkan putusan hukuman mati atas diri Eichman yang kemudian menimbulkan kecaman dari berbagai kalangan soal keabsahan tindakan pengadilan dari Negara Yahudi yang baru bereksistensi beberapa tahun usai Perang Dunia II Mereka ini mengatakan tindakan atau putusan pengadilan itu bertentangan dengan azas legalitas atau azas nullum delictum sebagai azas hukum pidana yang bersifat universal. =è Mahkamah Kriminal Internasional atau pengadilan internasional di Nuremberg dan Tokyo
(lazimnya dinamakan Peradilan Nuremberg serta Peradilan Tokyo) yang dibentuk oleh Negara-negara sekutu sebagai pemenang PD II berdasarkan perjanjian London (the London Agreement) tahun 1942. Tujuannya untuk mengadili serta menghukum mereka yang terbukti bersalah melakukan kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan terhadap perdamaian dunia, tanpa memperhatikan apapun kedudukan mereka. Mereka yang terbukti bersalah harus bertanggungjawab secara individual dan tidak dimungkinkan untuk berlindung di belakang Tanggungjawab Negara (State Responsibility). Namun demikian tidak sedikit dari mereka yang diadili serta dihukum oleh pengadilan nasional dari Negara setempat.
=è Selain perjanjian London, maka Genocide Convention thun 1948 juga memuat yurisdiksi Negara menurut azas universal atau yurisdiksi universal (universal jurisdiction). Genocide Convention mengatur tentang pembunuhan missal atau sekelompok masyarakat atas dasar ras, etnis, warna kulit, keyakinan agama maupun politiknya. Mereka yang bersalah harus bertanggungjawab secara individual dan tidak boleh berlindung di belakang tanggungjawab Negara.
=è Pembentukan ICC (International Criminal Court) berdasarkan Statuta Roma tahun 1998 dan mulai berlaku sejak 1 Juli 2002. Yurisdiksinya mencakup pelanggaran HAM berat (gross violation of Human Rights), seperti kejahatan genosida, kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, kejahatan agresi dan berbagai bentuk kejahatan kemanusiaan lainnya, seperti kejahatan terorisme etc. Mereka yang bersalah harus bertanggungjawab secara individual dan tidak bias berlindung di balik tanggungjawab Negara (state responsibility) tanpa memperhatikan kedudukan atau jabatan yang mereka emban. ICC pada instansi pertama (the first resort), melainkan pengadilan terakhir dari instansi terakhir (the last of the last resort) sehingga system peradilannya tidak menggerogoti kedaulatan dari Negara peserta ICC atau Negara peserta Statuta Roma. ICC hanya berfungsi sebagai pengadilan pelengkap terhadap pengadilan nasional atau pengadilan domestic sebab ICC mengutamakan penerapan upaya-upaya hokum setempat (exhaustion of local remedies). Selama Negara peserta ICC masih mau dan mampu menyelesaikan kasus kejahatan kemanusiaan tersebut, maka ICC tidak memiliki yurisdiksi untuk mengadili kasus kejahatan HAM berat yang terjadi di Negara yang bersangkutan. Yurisdiksi ICC juga hanya mencakup kasus kejahatan HAM berat yang terjadi setelah 1 Juli 2002 dan bukan sebelumnya.

Tidak ada komentar: