Rabu, 25 Mei 2011

Pengaruh Letter of Intent Indonesia dan Norwegia tentang Cooperation on Reducing Greenhouse Gas Emissions from Deforestation and Forest Degradation

ABSTRAK

Minarti (B111 07 165), Pengaruh Letter of Intent Indonesia dan Norwegia tentang Cooperation on Reducing Greenhouse Gas Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) Terhadap Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Hutan Alam dan Gambut di Indonesia. Dibawah Bimbingan Laode Muhammad Syarif dan Birkah Latif.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh Letter of Intent (LoI) Indonesia dan Norwegia tentang Cooperation on Reducing Greenhouse Gas Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) Terhadap Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Hutan Alam dan Gambut di Indonesia, serta untuk mengetahui bagaimana mekanisme pendanaan dan pengawasan LoI tersebut.
Penelitian ini dilaksanakan di Kementerian Luar Negeri RI, Kementerian Kehutanan RI, Sekretariat Negara RI, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dan Perpustakaan Pusat Universitas Hasanuddin. Metode penelitian dilakukan melalui field research atau penelitian lapangan (melakukan wawancara dengan narasumber terkait) dan library research atau telaah kepustakaan terhadap literatur-literatur yang relevan.
Hasil yang diperoleh dari penelitian adalah: (1) Penandatanganan (signature) LoI memberikan pengaruh terhadap hukum dan kebijakan pengelolaan hutan alam dan gambut di Indonesia. Pada segi hukum, Pemerintah menyusun Instruksi Presiden (Inpres) yang mengatur mengenai moratorium konversi hutan alam dan gambut selama dua tahun. Sedangkan dari segi kebijakan, beberapa instansi pemerintahan seperti Kementerian Kehutanan RI dan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) berkewajiban untuk menyusun kebijakan terkait implementasi tiga tahapan program REDD+ di Indonesia dalam LoI dan merancang draft Inpres terkait dengan moratorium konversi hutan alam dan gambut. (2) Mekanisme pendanaan dan pengawasan REDD+ dilakukan sesuai dengan Strategi Nasional REDD+ yang sedang dalam penyusunan. Pemerintah pada tahun 2011 akan membentuk Badan REDD+ (REDD+ Agency) yang didalamnya terdapat bagian Dana Kemitraan REDD+ Indonesia (Indonesian REDD+ Partnership Fund) dan Lembaga MRV (Monitoring, Reporting, Verification). Dana Kemitraan REDD+ Indonesia akan mengelola dana tahap kedua pada tahun 2012 dari Pemerintah Norwegia. Sedangkan untuk mekanisme pengawasan, Lembaga MRV akan mengatur sistem pengawasan dan pengamanan (safeguard) REDD+. Adapun beberapa kegiatan yang akan dilakukan untuk mencapai Peningkatan Pengawasan dan Pemantauan (Control and Monitoring), yaitu; penyempurnaan data dan informasi, pengembangan alat ukur pemantauan dan evaluasi, dan penyusunan standar nasional pengukuran emisi GRK yang sejalan dengan mekanisme internasional untuk mengukur perubahan stok karbon di dalam dan di luar kawasan hutan, termasuk lahan gambut.

Kata Kunci: Letter of Intent, REDD+, Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Hutan Alam dan Gambut.

Kamis, 30 Desember 2010

Letter Of Intent Between Indonesia and Norwegia about Cooperation on REDD+ (Translate to Bahasa by Author)

Letter of Intent antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Norwegia
Mengenai “Kerjasama mengurangi emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi”


I. PEMBUKAAN
Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Norwegia, (selanjutnya disebut sebagai “peserta”)
Mengakui bahwa pengurangan kemiskinan dan peningkatan ekonomi adalah tujuan seluruh hajat umat manusia;
Memperhatikan bahwa perubahan iklim adalah salah satu tantangan terbesar yang kini dihadapi oleh dunia.
Mengingat bahwa Indonesia dan Norwegia adalah pihak-pihak dalam UNFCC, Kyoto Protokol dan CBD;mempertimbangkan bahwa pembukaan dari UNFCC yang menyatakan bahwa perubahan iklim global membuat kerjasama yang luas antar Negara-negara didunia menjadi memungkinkan;
Mengakui hubungan antara Indonesia’Mid Term Development Stratgey (RPJM);
Mencatat bahwa tujuan utama kebijakan iklim Indonesia dan Norwegia adalah untuk untuk membatasi kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2 dibandingkan dengan pra-industri
dan untuk menetapkan kebijakan nasional yang menjamin bahwa mereka berkontribusi untuk mencapai tujuan ini;
Dengan ini meningkatkan mitra kerjasama kebijakan nasional, focus pada REDD (selanjutnya dikenal sebagai “kerjasama”)

II. TUJUAN DAN SASARAN KERJASAMA
Tujuan dari kerjasama adalah untuk berkontribusi untuk mengurangi secara signifikan emisi gas rumah kaca dari deforestasi, degradasi hutan dan konversi hutan gambut melalui:
a. Melakukan pembicaraan kebijakan tentang kebijakan perubahan iklim internasional, khususnya kebijakan internasional mengenai REDD+.
b. Kolaborasi untuk mendukung pengembangan dan implementasi pada Indonesia REDD+ strategy.

III. PENDEKATAN UMUM DAN PRINSIP-PRINSIP
Pada kerjasama ini, masing-masing pihak, bersungguh-sungguh:
a. Menjamin bahwa kerjasama ini berdasarkan pada, dan kerjasama ini tidak atau harus bertolak belakang pada UNFCC dan Kerjasama Global REDD+.
b. Memberikan semua stakeholder yang relevan, termasuk indegious people,masyarakat adat dan masyarakat sipil, subjek legislative nasional dan memenuhi syarat yang berlaku, insturmen internasional, kesempatan penuh dan partisipasi aktif pada Rencana REDD+ dan implementasi.
c. Mencari skala proporsional dan progresif dengan pembiayaan , tindakan dan hasil dari waktu ke waktu berdasarkan prinsip kontribusi untuk pengiriman
d. Sepenuhnya transparan tentang pembiayaan, tindakan dan hasil
e. Mendorong partisipasi mitra pembangunan lainnya
f. Menjamin koordinasi dengan semua langkah awal REDD+, termasuk program UN-REDD, fasilitas kerjasama karbon hutan, program investasi hutan dan kerjasama langkah awal bilateral serta multilateral REDD lainnya di Indonesia
g. Mencari jaminan ekonomi, social dan lingkungan yang berkelanjutan dan integritas pada usaha REDD+ kita

IV. TAHAPAN KERJASAMA
Kerjasama akan disusun dalam 3 tahap. Tujuannya adalah untuk mecapai dua tahap pertama pada skop 3-4 tahun. Peninjauan tahunan independen akan dibutuhkan sebagai pertimbangan sebelum menuju ke tahap ketiga.

V. TAHAP 1 :PERSIAPAN
Pada tahap ini, langkah persiapan utama untuk implementasi dari Indonesia strategi REDD+ akan dilaksanakan, termasuk:
a. Melengkapi strategi REDD+ nasional yang termasuk menangani semua driver utama dari hutan dan emisi terkait lahan gambut
b. Mendirikan agen khusus yang melaporkan secara langsung kepada Presiden untuk mengkoordinasikan usaha-usaha yang menyinggung untuk implementasi dan perkembangan REDD+
c. Mengembangkan strategi dan mendirikan bentuk kerja awal dari institusi independen untuk monitoring nasional, melapor dan system verifikasi (pembuktian) untuk hutan antropogenik dan gambut yang berhubungan dengan emisi gas rumah kaca melalui sumber daya dan menghilangkan sinks, persediaan karbon hutan dan perubahan area hutan alam
d. Merancang dan membentuk dengan cepat sesuai dengan kemungkinan sebuah insturmen pembiayaan, pada kolaborasi dengan pihak donor yang relevan dan pengaturannya berdasarkan institusi keuangan internasional yang telah bereputasi. Instrument harus :
i. Harus berdasarkan pada “contributions for deliverables”, mengadaptasi setiap waktu sebagai “deliverables” yang dikembangkan dari kebijakan yang memungkinkan untuk verifikasi pengurangan emisi pada level nasional ;
ii. Harus mengatur berdasarkan bentuk standar internasional- termasuk fidusia (gadai), pemerintahan, lingkungan dan usaha perlindungan sosial;
iii. Menjamin transparansi disemua aspek dari pembiayaan dan operasi;
iv. Termasuk bertanggung jawab pada pemerintahan pusat, pemerintahan daerah, masyarakat sipil dan masyarakat asli (adat) dan mayarakat local pada struktur pemerintahan dari insturmen pembiayaan, subjek legislasi nasional, dan dimana yang dapat dipakai, insturmen internasional;
v. Hubungan pada sumber keuangan semata-mata untuk impelmentasi dari Indonesia REDD+ dan strategi pengembangan karbon rendah yang berkualifikasi sebagai ODA (Official Development Assistance);
vi. Mengalami audit (pemeriksaan keuangan) tahunan yang independen;
vii. Harus ada persetujuan melalui Mitra kerjasama (partners) sebelum dibentuk.


e. Memlih provinsi-besar yang memandu REDD+. Provinsi harus memiliki intact tracts dari hutan hujan dan menghadapi rencana proyek deforestasi dan degradasi hutan dari skala yang akan memiliki dampak signifikan pada level emisi nasional jika diimpelementasikan. Sebuah strategi REDD+ untuk provinsi yang memandu, dikembangkan melalui transparansi dan sampai dengan proses pada multistakeholder dan mengamanatkan pada semua key drivers dari kehutanan dan hutan gambut terkait dengan emisi yang akan dikembangkan.

VI. TAHAP 2 : TRANSFORMASI
Tahapan kedua akan diresmikan (dimulai) pada Januari 2011, dengan berbagi aspirasi untuk melengkapi hal tersebut pada akhir 2013. Pada tahapan ini, usaha Indonesia dan dukungan Norwegia akan focus pada:
• Kapasitas pembangunan level nasional, perkembangan kebijakan dan impelementasi serta pembaharuan peraturan (legal reform) dan penegakan hukum;
• Skala lebih dari satu (one or more full scale) level provinsi percontohan REDD+.
Tujuan dari tahap ini adalah untuk membuat Indonesia siap untuk Contributions for Verified Emission Reductions Phase ( Tahap Kontribusi Verifikasi Pengurangan Emisi) yang juga akan dimulai dengan aksi mitigasi dalam skala besar, sebagai berikut :
a. Aspirasi para pihak untuk memiliki rancangan insturmen keuangan pada tahap persiapan operasional penuh yang tidak sampai pada 1 januari 2011.
b. Pada Desember 2013, sebua Negara yang luas mengkonfirmasi MRV system ke IPCC Tier 2 atau yang lebih baik, yang dijalankan melalui institusi MRV independen yang digambarkan pada Tahap 1 diatas, termasuk verifikasi independen internasional dan mampu untuk menilai ketidaktentuan jarak akan berdampak pada mekansime Contributions for Verified Emission Reductions pada Tahap 3. Pada waktu yang sama, strategi untuk meningkatkan system MRV pada Tier 3 ketelitian (precision) dan ketepatan/kecermatan (accuracy) akan dibuat.
c. Identifikasi, pengembangan dan impelmentasi yang tepat pada kebijakan peraturan Indonesia-wide dan kapabilitas penegakan, termasuk tetapi tidak terlalu diperlukan/dibatasi untuk :
I. Setahun pengskorsan (penyekoresan) pada semua kelonggaran baru dari konversi dari hutan alam dan gambut;
II. Mengadakan database tanah yang degradasi, dimulai pada satu atau lebih provinsi yang cocok untuk memfasilitasi pembentukan aktivitas ekonomi seperti pada tanah daripada mengubah (converted) hutan alam atau hutan gambut.
III. Penegakkan hukum yang terkait dengan perlawanan illegal logging dan perdagangan kayu-kayuan (timber) dan yang terkait dengan kejahatan hutan dan pengaturan unit khusus untuk memecahkan permasalahan (tackle the problem).
IV. Mengambil tindakan pendekatan untuk menghadapi konflik pertanahan (land tenure) dan klaim kompensasi.
d. Provinsi percontohan besar pertama akan diimpelementasikan dari awal Januari 2011. Provinsi percontohan tersebut harus menyampaikan (deliveriables):
i. Impelmentasi strategi dari Prosvinsi REDD+ digambarkan berdasarkan Tahap 1 diatas, mengikutsertakan (engaging) semua relevan stakeholders,termasuk penduduk asli, masyarakat setempat dan masyarakat sipil subjek dari legislasi nasional dan memenuhi syarat yang berlaku, insturmen internasional.
ii. Provinsi MRV system menkonfirmasikan kepada IPCC Tier 2 atau yang lebih baik dan mampu untuk menilai ketidaktentuan jarak pada perkiraan (estimates) yang akan disepakati ditempat pada Desember 2011. Contributions for Verified Emission Reductions Mechanism akan dibuat pada dasar ini pada tiga bulan setelah verifikasi lengkap; menyediakan deskripsi instumen pembiayaan mengenai operasional dan portofolio proyek yang terimplementasi di tempat. Sebuah strategi untuk meningkatkan MRV system untuk ketelitian dan kecermatan Tier 3 yang akan dibentuk.
iii. Tindakan yang tepat untuk menghadapi konflik pertanahan dan klaim kompensasi harus diambil pada awal 2011
e. Provinsi percontohan kedua, subjek untuk criteria yang sama sebagai provinsi percontohan pertama, harus dipilih pada akhir 2011 dan implementasinya pada awal 2012.

Alokasi pembiayaan untuk Tahap 1 dan 2 akan disediakan oleh Norwegia dengan berdasar pada kiriman yang disalurkan melalui mekanisme persetujuan keuangan. Pengiriman kontribusi untuk 2010 akan fokus semata-mata pada hasil dalam jangka kebijakan yang memungkinan dan tindakan. Proposi dari kontirbusi dihubungkan melalui kontribusi untuk Verified Emission Reductions Mechanism (yang berhubungan dengan provinsi percontohan pada tahap 2, nasionalitas pada tahap 3) akan meningkat signifikan untuk kontribusi 2012 dan tahunan sesudah itu.

VII. TAHAP 3 : KONTRIBUSI UNTUK VERIFIKASI PENGURANGAN EMISI
Pembagian aspirasi para pihak adalah untuk memulai Tahap 3 dari 2014, berdasarkan pada pengurangan emisi 2013. Pada tahap ini, kontribusi nasional untuk verifikasi mekanisme pengurangan emisi akan diimplementasi, termasuk :
a. Indonesia menerima kontribusi tahunan untuk secara bebas memverifikasi pengurangan emisi nasional yang berhubungan pada level referensi UNFCC (atau sebuah referensi level pengaturan oleh Indonesia dan mitra-mitranya berdasarkan pada janji pengurangan emisi Indonesia dan Pedoman metodelogi UNFCC(4/CP 15) menyesuaikan dengan keputusan yang relevan dari Konferensi Para Pihak, jika tidak terdapat level referensi UNFCC yang diatur untuk Indonesia)
b. Norwegia (dan pihak-pihak potensial lainnya yang telah bergabung dengan mitra kerjasama) kontribusi jaringan keuangan kedalam instrument keuangan yang dijelaskan pada Tahap 1 diatas.

VIII. KONTRIBUSI KEUANGAN NORWEGIA
Norwegia telah memulai mengkontribusikan dana untuk usaha REDD+ Indonesia pada urutan besaran 1 miliar USD (memberikan tingkat kurs 6 Kroners Norwegia per USD). Seperti kontribusi akan dikenakan untuk membentuk mekanisme keuangan yang dijelaskan pada Letter of Intent ini dan telah disetujui oleh Para Pihak, serta kiriman yang memadai pada Letter of Intent ini. Istilah yang lebih detail dan kondisi untuk sejenis dukungan akan diatur bagian Keempat pada perjanjian kontribusi yang akan dimasukan antara Norwegia dan Manajer (Pelaksana) pembiayaan. Jumlah tahunan yang konkret akan dikenakan pada pencadangan dari Parlement Norwegia.

IX. PERINCIAN DAN AMANDEMEN KEPADA PARA PIHAK
Perincian pada mitra kerjasama ini akan dijelaskan selanjutnya pada dokumen yang terpisah, termasuk :
Dokumen yang terpisah, untuk dikembangkan bersama melalui mitra kerjasama sementara pada Oktober 2010, yang merincikan kiriman pada LoI ini kecuali instrument pembiayaan.
Dokomen–dokumen dibutuhkan untuk mengatur insturmen pembiayaan.
Mitra Kerjasama ini tidak akan efektif hingga dokumen disetujui. Amandemen dokumen dapat disetujui melalui kedua pihak dan dapat ditambahkan setiap waktu.

X. KELOMPOK KONSULTASI BERSAMA
Kelompok konsultasi bersama akan dibentuk untuk berkontribusi pada implementasi yang efektif pada mitra kerjasama ini. Kelompok akan terdiri atas titik kontak untuk Indonesia dan Norwegia.

XI. TINJAUAN TAHUNAN
Kelompok tinjauan tahunan telah disetujui oleh Indonesia dan Norwegia, akan melaksanakan tinjauan tahunan pada kiriman indikator yang disetujui. Kelompok akan melaporkan pada Kelompok Konslutasi Bersama. Laporan akan dipublikasikan.

XII. WAKTU BERLAKUNYA, PENGAKHIRAN DAN PERTIMBANGAN LAINNYA
LoI ini akan efektif berlaku sejak ditanda tangani dan akan berkahir hingga akhir 2016, dan secara otomatis akan diperbaharui setelah itu untuk jangka waktu 4 tahun kecuali sebaliknya jka ada pemberitahuan yang diajukan oleh tiap-tiap pihak melalui hubungan diplomatik
Letter of Intent ini dapat diakhiri pada setiap saat oleh tiap-tiap pihak, melalui pemberitahuan tertulis, melalui hubungan diplomatik.

Dibuat dalam bentuk rangkap di Oslo 26 Mei 2010, dalam Bahasa Inggris.


Untuk Pemerintah Kerajaan Norwegia

Erik Solheim
Menteri Lingkungan
dan Perkembangan Internasional


Untuk Pemerintah Republik Indonesia

Marty Natalegawa
Menteri Luar Negeri Indonesia

Minggu, 26 Desember 2010

Cosmos 954 Case (1978-1981)

Para pihak dalam perkara ini adalah Kanada dan Uni Soviet. Perkara ini diselesaikan dengan cara negosiasi (non-litigasi) antara keduabelah pihak karena berdasar pada perjanjian yang sebelumnya telah mereka sepakati yaitu Pasal IX Liability Convention 1972.

Fakta-Fakta Kasus Cosmos-954
Kasus ini berkenaan dengan jatuhnya satelit milik Uni Soviet yang bertenaga nuklir dengan nama Cosmos-954 di Kanada. Satelit tersebut diluncurkan pada tanggal 18 September 1977, Uni soviet menempatkan satelitnya di orbit dan telah memberitahukan kepada Sekretariat Jenderal PBB tanggal 24 Januari 1978. Satelit Cosmos dilengkapi dengan reaktor nuklir seberat 55 Kg dan menggunakan bahan uranium 235 dengan komposisi 90% uranium 235. Beberapa minggu setelah peluncuran satelit yang direncanakan ditempatkan di ketinggian 270 Km diatas permukaan bumi itu mengalami kerusakan dan tidak dapat berfungsi lagi. Sebab-sebab kemorosotan fungsi itu tidak diketahui dengan pasti dan berakhir dengan jatuhnya satelit. Beberapa pendapat menyatakan bahwa Cosmos-954 telah berbenturan dengan serpihan sampah ruang angkasa (space debris).

Fasilitas lacak Uni Soviet yang kurang memadai memuat Uni Soviet kehilangan kemampuan untuk memantau secara akurat gerak dan posisi Cosmos-954. Pada tanggal 24 Januari 1978 dilaporkan bahwa Cosmos-954 telah memasuki atmosfir bumi dan mengarah ke wilayah Kanada barat Laut. Pada hari yang sama Cosmos 954 telah jatuh di wilayah yang telah diperkirakan, dengan mengakibatkan radiasi radioaktif seluas 600 Km persegi. Meliputi wilayah kanada Utara dan Barat Laut, bagian Utara Queen Chalotte Island, Alberta dan Skatchewan.

Pecahanan Cosmos-954 berbobot sekitar 65 Kg dan mengandung sekitar 3.500 partikel radioaktif. Tingkat raidiasi partikel tersebut sangat bervariasi dari sibuan sampai jutaan dari satu rontgen/jam. Beberapa diantaranya memiliki sifat sangat mematikan. Satu pecahan berukuran tidak terlalu besar, 25 mm x 15 mm x 10 mm, memiliki tingkat radiasi sampai 500 rontgen/jam. Cukup untuk membunuh manusia dalam beberapa jam sejak mengalami kontak pertama, data tersebut hanyalah tentang dampak langsung (acut impact) dari jatuhnya cosmos-954 dan Kanada belum memperhitungkan dampak tidak langsung (cronic impact).

Masalah-Masalah Dalam Kasus Cosmos-954
Pemerintah Uni Soviet menyadari peristiwa yang terjadi telah menyebabkan kerugian bagi Kanada sehingga dalam hal ini tuntutan secara hukum tidak dilakukan, Kanada hanya mengajukan klaim dari segi ganti rugi (Compensation). Sebab untuk melaksanakan operasi pembersihan serta pemulihan kembali lingkungan yang telah tercemar membutuhkan biaya yang banyak dan waktu pula. Dalam kasus ini Uni Soviet menggunakan dua prinsip pencemaran yaitu prinsip good neighboor dan psinisp polutter must pay sebagai prinsip yang telah menjadi hukum kebiasaan internasional.

Persoalan lain yang sangat rumit adalah berkaitan dengan masalah radiasi yang termasuk dampak langsung dan dampak tidak langsung. Pemerintah Kanada dengan bantuan tenaga ahli dari Soviet dan Amerika Serikat membutuhkan waktu yang tidak kurang dari delapan bulan dengan faktor kesulitan yang sangat tinggi. Musim dingin yang telah berlangsung dengan suhu udara -40 sampai -100 derajat Celcius mengakibatkan pembekuan danau dan sebagian besar lahan tertutup salju, sehingga menimbulkan hambatan besar dalam membersihkan lahan dari radiasi.

Kanada telah melakukan dua kali operasi untuk mengatasi pencemaran radioaktif. Pertama dari 24 Januari-20 April 1978 dan yang kedua dari 21 April-15 Oktober 1978. Untuk membiayai keseluruhan fase itu Kanada telah mengahabiskan biaya sebesar telah menghabiskan biaya sebesar $ 12,048,239.11 Kanada untuk fase pertama dan 1,921,904.55 Kanada untuk fase kedua. Total klaim yang diajukan pemerintah Kanada terhadap pemerintah Uni Soviet adalah $ 6,041,174.70 dengan perincian $ 4,414,348.86 berasal dari fase pertama dan $ 1,626,825.84 dari fase kedua. Dalam bagian Reservation dari klaimnya, pemerintah Kanada menyatakan :
The goverment of Canada reserves its right to present aditional claims for compensation to the goverment of the United of Soviet Scialistdetermined or damage which way occur in the future as a result of the instrusion of the Cosmos-954 staellite into Canada’s air space and deposit of hazardous radioactive debris from the satellite on Canadian territory.

Kanada dan Uni Soviet telah memilki cara negosiasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal IX Lability Convention 1972, sebagai cara penyelesaian sengketa. Menurut ketentuan ini klaim dapat diajukan melalui diplomatic channel. Selanjutnya ditentukan bahwa, dalam hal negara-negara bersengketa tidak memiliki hubungan diplomatik maka klaim demikian dapat diajukan melalui Sekjen PBB, sejauh kedua pihak yang bersengketa adalah anggota PBB.

Kesimpulan
Kasus Cosmos-954 menunjukkan bahwa:
1. Suatu kegiatan yang berada di bawah pengawasan negara tertentu yang dilakukan di kawasan yang berada di luar batas-batas wilayah negara tetap merupakan kegiatan yang potensial berdampak bagi lingkungan hidup negara tertentu.
2. Dampak demikian dapat terselesaikan berdasarkan prinsip hukum internasional melalui mekanisme hukum internasional. Dalam kasus ini berlaku prinsip tanggung jawab negara Absolut Liabilty, berarti negara yang melakukan tindak pencemaran lingkungan mutlak bertanggung jawab tanpa perlu adanya pembuktian sebab telah jelas dampak bagi lingkungan karena kekeliruan dalam melaksankan kegiatan yang berkaitan dengan lingkungan.
3. Dampak demikian tidak selalu harus diselesaikan melalui pembayaran ganti rugi tetapi juga dengan bantuan teknis.

Penerapan sistem ganti rugi (Compensation) dalam prinisp tanggung jawab negara demikian masih menunjukkan bahwa lingkungan hidup sebagai objek hukum masih tetap dipersamakan dengan sifat objek hukum lain, seperti benda dan objek-objek kepentingan lainnya. Klaim Kanada menunjukkan bahwa Kanada sama sekali tidak memperhitungkan kerugian lingkungan yang diakibatkan oleh dampak. Jumlah yang diajukan Kanada hanya terbatas pada biaya operasi yang dikeluarkan selama membersihkan lahan dari radiasi. Penerapan sistem demikian juga menunjukkan bahwa penerapan prinsip ganti rugi tidak cukup memadai untuk memenuhi tujuan-tujuan perlindungan lingkungan, karena umumnya hanya mampu memperhitungkan kerugian-kerugian yang ersifat countable dan sulit menjangkau kerugian yang bersifat uncountable, seperti merosotnya daya dukung dan daya tampung lingkungan, fungsi dan kualitas lingkungan pada umumnya.

Kelemahan ini pula yang membuat prinsip ganti rugi dalam kaitan dengan kerugian lingkungan hidup tidak pernah diterapkan secara mandiri melainkan selalu diimbangi dengan kewajiban-kewajiban lain, seperti kewajiban memberikan bantuan teknis, kewajiban untuk ikut serta dalam mengatasi dampak dan kewajiban untuk mencegah serta menghentikan dampak selanjutnya. Namun dalam prakteknya penerapan prinsip demikian tetap belum dapat memenuhi upaya-upaya pemulihan lingkungan ke keadaan semula. Sifat khusus ini segera menunjukkan bahwa terdapat kebutuhan lain terhadap bentuk-bentuk baru penerapan prinsip-prinsip hukum internasional untuk menjamin agar hukum dapat berperan lebih optimal sebagai instrumen utama perlindungan lingkungan. Seperti Pertama, kesadaran terhadap sifat khusus lingkungan hidup sebagai objek hukum. Kedua, implementasi prinsip-prinsip dan ketentuan hukum internasional yang dapat memberikan perlakuan yang wajar terhadap lingkungan hidup dalam sifat dan kedudukan demikian itu.

Sekalipun sangat berorientasi pada perlindungan kepentingan negara, namun hukum internasional sejak permulaan telah menggunakan dua pendekatan untuk menangani kasus-kasus lingkungan, yaitu pendekatan hukum dan pendekatan teknis. Pendekatan hukum berkenaan dengan penerapan prinsip-prinsip pertanggungjawaban negara termasuk ke dalamnya penerapan asas pencegahan dan asas ganti rugi dan pendekata teknis berkenaan dengan kewajiban mencegah emisi, mengurangi emisi dan mengapuskan emisi.
Sumber Bacaan
Ida Agus Wyasa Putra. 2003. Hukum Lingkungan Internasional,Prespektis Bisinis Internasional. Refika Aditama. Bandung
• Kumpulan Materi Kuliah :
 Penyelesaian Sengketa Internasional
 Internasioanl Law and the Environment


























COSMOS 954 CASE
(CANADA & UNI SOVIET 1978)





HUKUM LINGKUNGAN INTERNASIONAL

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 3
MINARTI (B11107165)
JESSE M. WATTIMENA (B11107176)
RANDY RINALDY (B11107194)
ALVI NAREZA (B11107 )





FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2010
INTERNATIONAL LIABILITY FOR DAMAGE CAUSED BY SPACE OBJECTS
By Carl Q. christol ☼

INTRODUCTION
The exploration and use of the space environment, consisting of outer
space per se, the moon, and celestial bodies, may result in harm to persons
and to property. International law and municipal law have focused on
rules allowing for the payment of money damages for harm caused by
space objects and their component parts, including the "payload." Both
forms of law have accepted the basic proposition that money damages
should compensate for harm. Principal attention will be given in this
analysis to the kinds of harm caused by space objects that are considered
to be compensable under international law at the present time. 1
In assessing this problem it must be remembered that international space
law has been constructed on the basis that lawful uses of space objects are
those that are peaceful, i.e., nonaggressive, and beneficial to mankind.
Although access to the space environment for the purposes of exploration
and use has proven beneficial to mankind's important needs and wants, it
has been recognized that space objects also carry the possibility of causing
great harm, as was illustrated by the ill-fated Cosmos954.
On January 23, 1979, Canada presented a claim to the Soviet Union for
damages from the Cosmos mishap in the amount of $6,041,174.70. This
sum, later reduced to $6,026,083.56, represented "those costs in respect
of the operations which would not have been incurred had the satellite
not entered Canadian territory." 2
____________________
1 Articles calling attention to U.S. statutes, such as the Federal Tort Claims Act, 28
U.S.C. §§2671-2680 ( 1970 ), and NASA's authority to dispose of certain classes of
claims, 42 U.S.C. §2473(c) (13) (1970), as amended in 1979, where the amount in
controversy is no more than $25,000, have been written by Dula, Management of Inter-
party and Third-Party Liability for Routine Space Shuttle Operations, 26 DRAKE L.
REV. INS. L. ANN. 741, 746-54 ( 1976-77 ); Hosenball, Space Law, Liability and In-
surable Risks, 12 THE FORUM 141, 153-54 ( 1976 ); Wilkins, Substantive Bases for Re-
covery for Injuries Sustained by Private Individuals as a Result of Fallen Space Objects,
6 J. SPACE L. 164-69 ( 1978 ). The Federal Tort Claims Act, as a waiver by the
United States of its sovereign immunity from suit, is subject to exceptions. One is
that a U.S. district court may not adjudicate in a situation where the tort has occurred
abroad. M. WHITEMAN, 8 DIGEST OF INTERNATIONAL LAW813 ( 1967 ).
2 2 Government of Canada, Department of External Affairs, Communiqué No. 8, Janu-
ary 23, 1979. Canada also indicated that its claim was for compensation and was
11 without prejudice to the right of Canada to make additional claims for compensation
in this matter in respect of damage not yet identified or determined." Letter, Canadian
Secretary of State for External Affairs to the Ambassador of the Soviet Union to Canada,
☼ Professor of International Law and Political Science, University of Southern
California.
-346-

The Canadian claim is based on relevant international agreements and
the 1972 Convention on International Liability for Damage Caused by
Space Objects,3 and will require an assessment of the meaning of "com¬
pensation for damage," both in the indicated agreements and in interna¬
tional law generally. For example, the issue of what constitutes a "taking
of property" as a result of the deposit of Cosmos 954 fragments will have
to be resolved. Undoubtedly, it will be necessary to determine if such taking
includes, in the language of the 1961 Harvard draft convention on respon¬
sibility of states for injuries to aliens,
not only an outright taking of property but also any such unreason¬
able interference with the use, enjoyment, or disposal of property as
to justify an inference that the owner thereof will not be able to use,
enjoy, or dispose of the property within a reasonable period of time
after the inception of such interference.4
However, in an early 1978 assessment of Canada's position, it was observed
that "[n]o physical or property damage had been suffered by Canadian
citizens. It also appeared that no measurable damage had been caused
to the Canadian environment by the nuclear debris of the Cosmos."5
____________________
File No. FLA-268, January 23, 1979. Correspondence between the two states relating
to the claim down to March 15, 1979, is set out in 18 ILM 899 (1979). In its note
of March 15, 1979, ...





















Cosmos 954
by Paulette Weaver
copyright 12-02-2001



This is not a story about 'chicken little', because this is not a fairy tale. This is a true story about a Russian satellite that really did fall from the sky. Here follows my true account to the best of my recollection.

Shuffling through some old boxes tucked away in our back storage shed, I came upon a most startling discovery. Remnants and memories of my assignment to Edmonton, way up in the Northwest Territory of Canada, came pouring out of a well-worn cardboard box that had, for all practical purposes, been left unnoticed for 23 years. The year was 1978. I was working for EG&G, prime contractor for the USDOE, who was responsible for the 'timing and firing' of the above ground nuclear testing at the Nevada Test Site. I was a technical analyst, deciphering data taken from these tests, when we got the word.

On Tuesday, January 24, a surveillance craft fell, entering the atmosphere over the Queen Charlotte Islands off British Columbia. The encrypted message contained classified information regarding Cosmos 954. What in the world was that? It turned out to be a Soviet spy satellite, carrying 100 pounds of fissionable Uranium 235, enough radioactive material to match the payload of a nuclear bomb! It's purpose being designed primarily to monitor United States ship movements and transmit, by radio, its findings to Soviet tracking stations. It had been in the air since 1967. It's normal scenario contained that when its tracking mission was over, and that could vary from one year to many, it split into three components and its own rocket system pushed the nuclear pack into a higher, safe orbit. There it drifts for thousands of years as its radioactivity dissipates.

Almost immediately, military authorities of both Canada and the US began searching for what might remain of Cosmos 954. C130 army aircraft cargo planes began to transport our team, along with our remote sensing equipment. NEST, (Nuclear Emergency Search Team) myself included, began readying for the long journey from Nevada to the Northwest Territory. EG&G's mission was to locate, retrieve and categorize pieces of the satellite and debris left behind in its descent to the earth, and make photographic memory of it.

This couldn't have happened at a worse time. It was winter in that part of the world, where temperatures would drop from between 30 to 60 degrees below zero! Out in the field, our photographers had to literally sleep with their film and equipment, in their specially constructed huts, to prevent their supplies from disintegrating from the extreme cold. My group was based in Edmonton, at a Canadian Air Force Base where our labs were set up. We were outfitted with cold-weather gear and given dosimeters to register and record individual radiation levels, if accumulated. We were there to develop, record and categorize all of the incoming film.

Four days later, two young men, Mike Mobley and John Mordhorst of the US, guided their dogsled around a bend in the Thelon River, approximately 1,000 miles from our basecamp in Edmonton, and came across a mysterious object stuck in the river's ice. It looked as though "an unnatural event had occured here", one of them said. The two men were part of a six-man wildlife survey crew bivouacked near Warden Grove, on assignment from an american geographical magazine. By their own account, they approached with trepidation this mysterious object protruding from the ice. They had seen earlier a low-flying aircraft in the sky that they thought perhaps could have been the result of an air crash, leaving this piece of debris of iron in the ice. Soon, over their two-way radios, they heard of the fallen satellite and promptly relayed a message to Yellowknife, a small Indian village near by, telling them of their find. It was later learned that pieces of this satellite had strewn itself across hundreds of miles along the Northwest Territory! Our team would be there for quite some time. Soon, a Canadian Armed Forces Twin Otter touched down to take the two men to Edmonton for medical examination. Upon completion of extensive testing, they were brought to our base camp where they immediately developed superstar status. These two, unpretentious young men, captured our attention with their accounts of adventure and tests of endurance.

Security restrictions are now telling me to end this account. My tenure with EG&G spanned 15 years and never in my wildest imagination did I ever think I would become a part of this once in a lifetime adventure.

sources: Saint John's Edmonton Report, 1978
DISINTEGRATION OF COSMOS 954 OVER CANADIAN TERRITORY IN 1978

Canadian Department of External Affairs Communique No. 27 Settlement of Claim between Canada and the Union of Soviet Socialist Republics for Damage Caused by Cosmos 954
Released on April 2, 1981: The Secretary of State for External Affairs, Dr. Mark MacGuigan, announced today the signature of the formal Protocol settling Canada's claim for damages caused by the disintegration over Canada of the Soviet satellite 'Cosmos 954'. The Protocol was signed in Moscow by Canada's Ambassador to the USSR, Geoffrey Pearson and, on behalf of the USSR, by N.S. Ryzhov, Deputy Minister, Ministry of Foreign Affairs. The text of the Protocol is attached.
Protocol between the Government of Canada and the Government of the Union of Soviet Socialist Republics
Done on April 2, 1981 With Statement of the Canadian Claim
The Government of Canada and the Government of the Union of Soviet Socialist Republics, have agreed as follows:
Article I
The Government of the Union of Soviet Socialist Republics shall pay to the Government of Canada the sum of three million Canadian dollars (C$ 3,000,000.00) in full and final settlement of all matters connected with the disintegration of the Soviet satellite Cosmos 954 in January 1978.
Article II
The Government of Canada shall accept the payment of the sum of three million Canadian dollars (C$ 3,000,000.00) in full and final settlement of all those matters referred to in Article I hereof, including the claim advanced by Canada in this respect.
Article III
This Protocol shall enter into force on the date of signature.
In witness whereof the undersigned, duly authorized by their respective Governments, have signed this Protocol.
Done in duplicate at Moscow this second day of April 1981, in the English, French and Russian languages, all texts being equally authentic.
For the Government of Canada
For the Government of the Union of Soviet Socialist Republics

STATEMENT OF CLAIM
Introduction
1. This Statement sets forth Canada's claim for compensation for damage the result of the intrusion into Canadian air space of a Soviet space object the Cosmos 954 satellite, and the deposit on Canadian territory of hazardous radioactive debris from the satellite. The claim is presented pursuant to the 1972 Convention on International Liability for Damage caused by Space Objects and the international practice of states. The Statement outlines the facts giving rise to the claim, the legal principles applicable to the claim, the compensation claimed and certain reservations entered by Canada.
The Facts
2. The Soviet space object, the Cosmos 954 satellite, hereinafter also referred to as the satellite, was placed in orbit by the Union of Soviet Socialist Republics on September 18, 1977. The Secretary-General of the United Nations was officially informed of the launching, as reported in United Nations document No. A/AC.105/INF.368 of November 22, 1977. According to the Note of March 21, 1978 of the Embassy of the Union of Soviet Socialist Republics in Ottawa, the satellite carried on board a "... nuclear reactor working on uranium enriched with isotope of uranium-235". On January 24, 1978,the satellite entered the earth's atmosphere intruding into Canadian air space at about 11:53 A.M. Greenwich Mean Time to the north of the Queen Charlotte Islands on the westcoast of Canada. On re-entry and disintegration, debris from the satellite was deposited on Canadian territory, including portions of the Northwest Territories, Alberta and Saskatchewan.
3. Within minutes of the re-entry and the intrusion of the satellite into Canadian airspace the Government of the United States of America made an offer of technical and material assistance to assist Canadian emergency operations. This offer of assistance was accepted immediately by the Government of Canada.
4. In the course of the day January 24, 1978 an official of the Department of External Affairs expressed to the Ambassador of the Union of Soviet Socialist Republics in Ottawa the surprise of the Government of Canada that the Government of the Union of Soviet Socialist Republics had failed to give Canada notice of the possible re-entry of the satellite into the earth's atmosphere in the region of Canada and subsequently, of the imminent re-entry of the satellite. The Canadian official put questions to the Ambassador concerning the satellite and, noting information as to the presence of a nuclear reactor on board the satellite, requested that precise responses be provided urgently. The questions posed on that occasion were reiterated on January 27, 1978 and are recorded in the Department of External Affairs Aide-Memoire of February 8, 1978 presented to the Embassy.
5. Later on January 24, 1978, the Ambassador of the Union of Soviet Socialist Republics advised an official of the Department of External Affairs that the satellite had been expected to enter the dense layers of the atmosphere on January 24, 1978 and, in case it did not burn out completely in the atmosphere, the possibility that some of its parts would fall in the area of the Aleutian Islands was not excluded. The Ambassador asserted that there should not be any sizeable hazard and that in places of impact there could only be insignificant local pollution requiring very limited measures of disactivation. He also stated that the construction of the nuclear reactor on board the satellite envisaged its complete destruction on re-entry of the satellite into the dense layers of the atmosphere. On that occasion, the Ambassador expressed his Government's readiness to render urgent assistance by sending to Canada a group of specialists to ameliorate the possible consequences and evacuate remnants of the satellite. Canadian officials replied that their urgent need was for immediate and complete answers to the questions posed earlier on January 24, 1978.
6. In the Note of March 21, 1978, the Embassy informed the Department of External Affairs that the active zone of the nuclear reactor on board the satellite "... was a set of heat-emitting elements with a beryllium reflector" and that ''The reactor's design provided for destruction of the reflector at the entry into dense layers of the atmosphere to be followed by the total destruction of the reactor's active zone".
7. The Government of the Union of Soviet Socialist Republics failed to provide timely and complete replies to the questions posed by Canada on January 24, 1978 despite the reiteration of the request for information on several occasions, in particular in the Department of External Affairs' Aide-Memoire of February 8, 1978, in its Note of February 28, 1978 to the Embassy and in its Note of April 13, 1978 to the Embassy. The Government of the Union of Soviet Socialist Republics ultimately provided some information in the Notes of the Embassy dated March 21, 1978 and May 31, 1978. This information, particularly that in the latter Note, contributed to the Canadian evaluation of the required course of action.
8. Upon the intrusion of the satellite into Canadian air space and with the apprehension of the deposit of hazardous radioactive debris from the satellite on Canadian territory, the Canadian Armed Forces and the Atomic Energy Control Board of Canada undertook operations directed at locating, recovering, removing and testing the debris and cleaning up the affected areas. The purpose of these operations was to identify the nature and extent of the damage caused by the debris, to limit the existing damage and to minimize the risk of further damage and to restore to the extent possaffected areas to the condition that would have existed if the intrusion of the satellite and the deposit of the debris had not occurred. The operations took place in two phases : Phase I from January 24, 1978 to April 20, 1978 and Phase II from April 21,1978 to October 15, 1978. The total cost incurred by the various Canadian Departments and Agencies involved in Phase I of the operations was $ 12,048,239.11 of which $4,414,348.86 are included in Canada's claim. The total cost incurred during Phase II of the operations was $ 1,921,904.55 of which $ 1,626,825.84 are included in Canada's claim. In sum, Canada claims from the Union of Soviet Socialist Republics payment in the amount of $ 6,041,174.70.
9. During the operations described in paragraph 8, debris from the satellite was found in areas of the Northwest Territories and the Provinces of Alberta and Saskatchewan. Lists describing the location of the debris are set forth in annexes to the Department of External Affairs Notes dated February 8, 1978, March 3, 1978 and December 18, 1978,to the Embassy of the Union of Soviet Socialist Republics. Inscriptions in the Cyrillicalphabet can be distinguished on one of the fragments recovered.
10. The Canadian authorities determined that all but two of the fragments recovered were radioactive. Some fragments located proved to be of lethal radioactivity. It was necessary for the debris to be handled with great care as it is well established that radioactive material can have serious physiological effects and in some cases fatal. The debris recovered was sent to the Canadian Government's Whiteshell Nuclear Research Establishment at Pinawa, Manitoba. There tests were carried out on the debris, the results of which provided valuable information that was of assistance with regard to the operations and confirmed that highly radioactive and dangerous debris from the satellite had been deposited on Canadian territory.
11. The Government of Canada informed the Secretary-General of the United Nations of the discovery of debris from the satellite as is indicated in United Nations documents A/AC.105/214 and 214/Corr. l of February 8, 1978; A/AC.105/217 of March 6, 1978 and A/AC.105/236 of December 22, 1978.
12. In addition to general admissions as to the origin of the Cosmos 954 satellite, the Government of the Union of Soviet Socialist Republics confirmed the Canadian conclusion as to the origin and identity of the recovered debris by admissions contained in the statement made on February 14, 1978 in the Scientific and Technical Subcommittee of the Committee on the Peaceful Uses of Outer Space by Academician Fedorov, a representative of the Union of Soviet Socialist Republics. In addition, the Note from the Embassy of the Union of Soviet Socialist Republics in Ottawa dated May 31, 1978 includes admissions to the effect that debris found in the Northwest Territories of Canada originated from the satellite.
13. It is thus beyond doubt on the basis of the operations described above and on the basis of admissions by representatives of the Union of Soviet Socialist Republics that the debris found in the areas covered by the operations originated from the Soviet space object identified as the Cosmos 954 satellite.
The Law
14. Canada's claim is based jointly and separately on (a) the relevant international agreements and in particular the 1972 Convention on International Liability for Damage caused by Space Objects, to which both Canada and the Union of Soviet Socialist Republics are parties, and (b) general principles of international law.
(a) International Agreements
15. Under Article II of the Convention on International Liability for Damage caused by Space Objects, hereinafter also referred to as the Convention, " A launching State shall be absolutely liable to pay compensation for damage caused by its space object on the surface of the earth ..." The Union of Soviet Socialist Republics, as the launching State of the Cosmos 954 satellite, has an absolute liability to pay compensation to Canada for the damage caused by this satellite. The deposit of hazardous radioactive debris from the satellite throughout a large area of Canadian territory, and the presence of that debris in the environment rendering part of Canada's territory unfit for use, constituted "damage to property" within the meaning of the Convention.
16. The intrusion into Canadian air space of a satellite carrying on board a nuclear reactor and the break-up of the satellite over Canadian territory created a clear and immediate apprehension of damage, including nuclear damage, to persons and property in Canada. The Government of the Union of Soviet Socialist Republics failed to give the Government of Canada prior notification of the imminent re-entry of the nuclear powered satellite and failed to provide timely and complete answers to the Canadian questions of January 24, 1978 concerning the satellite. It thus failed to minimize the deleterious results of the intrusion of the satellite into Canadian air space.
17. Under general principles of international law, Canada had a duty to take the necessary measures to prevent and reduce the harmful consequences of the damage and thereby to mitigate damages. Thus, with respect to the debris, it was necessary for Canada to undertake without delay operations of search, recovery, removal, testing and clean-up. These operations were also carried out in order to comply with the requirements of the domestic law of Canada. Moreover, Article VI of the Convention imposes on the claimant State a duty to observe reasonable standards of care with respect to damage caused by a space object.
18. The operations described in paragraph 8 above would not have been necessary and would not have been undertaken had it not been for the damage caused by the hazardous radioactive debris from the Cosmos 954 satellite on Canadian territory and the reasonable apprehension of further damage in view of the nature of nuclear contamination. As a result of these operations, the areas affected have been restored, to the extent possible, to the condition which would have existed if the intrusion of the satellite and the deposit of the debris had not occurred. The Departments and Agencies of the Government of Canada involved in these operations incurred, as a result, considerable expense, particularly with regard to the procurement and use of services and equipment, the transportation of personnel and equipment and the establishment and operation of the necessary infrastructure. The costs included by Canada in this claim were incurred solely as a consequence of the intrusion of the satellite into Canadian air space and the deposit on Canadian territory of hazardous radioactive debris from the satellite.
19. In respect of compensation for damage caused by space objects, the Convention provides for "... such reparation in respect of the damage as will restore... [the claimant] to the condition which would have existed if the damage had not occurred"(Article XII). In accordance with its Preamble, the Convention seeks to ensure "... the prompt payment... [under its terms] of a full and equitable measure of compensation to victims of such damage" (Fourth preambular paragraph). Canada's claim includes only those costs which were incurred in order to restore Canada to the condition which would have existed if the damage inflicted by the Cosmos 954 satellite had not occurred. The Convention also provides that "The compensation which the launching State shall be liable to pay for damage under this Convention shall be determined in accordance with international law and the principles of justice and equity...” (Article XII). In calculating the compensation claimed, Canada has applied the relevant criteria established by general principles of international law and has limited the costs included in its claim to those costs that are reasonable, proximately caused by the intrusion of the satellite and deposit of debris and capable of being calculated with a reasonable degree of certainty.
20. The liability of the Union of Soviet Socialist Republics for damage caused by the satellite is also founded in Article VII of the Treaty on Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Use of Outer Space, including the Moon and Other Celestial Bodies, done in 1967, and to which both Canada and the Union of Socialist Republics are parties. This liability places an obligation on the Union of Soviet Socialist Republics to compensate Canada in accordance with international law for the consequences of the intrusion of the satellite into Canadian air space and the deposit on Canadian territory of hazardous radioactive debris from the satellite.
(b) General Principles of International Law
21. The intrusion of the Cosmos 954 satellite into Canada's air space and the deposit on Canadian territory of hazardous radioactive debris from the satellite constitutes a violation of Canada's sovereignty. This violation is established by the mere fact of the trespass of the satellite, the harmful consequences of this intrusion, being the damage caused to Canada by the presence of hazardous radioactive debris and the interference with the sovereign right of Canada to determine the acts that will be performed on its territory. International precedents recognize that a violation of sovereignty gives rise to an obligation to pay compensation.
22. The standard of absolute liability for space activities, in particular activities involving the use of nuclear energy, is considered to have become a general principle of international law. A large number of states, including Canada and the Union of Soviet Socialist Republics, have adhered to this principle as contained in the 1972 Convention on International Liability for Damage caused by Space Objects. The principle of absolute liability applies to fields of activities having in common a high degree of risk. It is repeated in numerous international agreements and is one of “the general principles of law recognized by civilized nations” (Article 38 of the Statute of The International Court of Justice). Accordingly, this principle has been accepted as a general principle of international law.
of Canada reserves its right to claim from the Government of the Union of Soviet Socialist Republics all costs that Canada may be obliged to incur in the event of the establishment of a Claims Commission under the provisions of the 1972 Convention on International Liability for Damage caused by Space Objects and the presentation by Canada 23. In calculating the compensation claimed, Canada has applied the relevant criteria established by general principles of international law according to which fair compensation is to be paid, by including in its claim only those costs that are reasonable, proximately caused by the intrusion of the satellite and deposit of debris and capable of being calculated with a reasonable degree of certainty.
Compensation Claimed
24. On the basis of the facts asserted and the legal principles referred to herein, the Government of Canada claims payment from the Government of the Union of Soviet Socialist Republics of the sum of $ 6,041,174.70.
Reservations
25. The Government of Canada hereby enters reservations as follows :
a. The Government of Canada reserves its right to present additional claims for compensation to the Government of the Union of Soviet Socialist Republics in respect of damage not yet identified or determined or damage which may occur in the future as a result of the intrusion of the Cosmos 954 satellite into Canada's air space and the deposit of hazardous radioactive debris from the satellite on Canadian territory;
b. The Government of its claim to such a Claims Commission; and
c. The Government of Canada reserves its right to claim from the Government of the Union of Soviet Socialist Republics payment of interest at an appropriate rate on the amount of compensation declared payable by a Claims Commission, such interest to accrue from the date of the decision or award of the Claims Commission.
When Satellites Fall: On the Trails of Cosmos 954 and USA 193
Lisa Parks / UC Santa Barbara
Posted by Lisa Parks / University of California - Santa Barbara on June 12th, 2009 1 Comment Printer-Friendly
During the past 50 years approximately 17,000 human-made objects have re-entered the earth’s atmosphere. Most of these objects incinerate as they tumble toward the planet, but many fragments fall upon the earth. On a few occasions rogue satellites have fallen, raising concerns about public safety and posing threats to the natural environment. In this essay I discuss two incidents when satellites that were falling back to earth became high-profile media events. The first was a Soviet radar satellite, Cosmos954, in 1978 and the second a US spy satellite, USA193, in 2008. These events are significant moments for media studies for several reasons. First, they draw attention to publicly-funded secret satellites that have historically been used to image the earth and manage geopolitical tensions. Second, they reveal the deeply intertwined relation of satellite media to issues of global security and serve as a reminder, as Jim Schwoch has shown, that the greatest global communication technologies emerged alongside the most dangerous technologies of global destruction.1 Finally, these moments provide an opportunity to contemplate the high costs of satellite failure, which result not only in communication breakdowns and huge financial losses, but can have detrimental effects on the environment as well.
Cosmos 954
On January 24, 1978 a Soviet radar satellite, known as Cosmos 954, plummeted into the Great Slave Lake area of the Northern Territories in Canada (roughly the same area where the television show Ice Road Truckers is now shot). The satellite was launched from a facility in Kazakhstan on September 18, 1977 and by October 29, 1977 NORAD monitors revealed that Cosmos 954 was out of orbit and predicted it would re-enter the earth’s atmosphere sometime in April 1978. The primary concern about Cosmos 954’s tumble back to earth was the nuclear reactor it had on board. Because the satellite was carrying 110 pounds of enriched uranium, some officials predicted Cosmos 954’s crash could result in the “worst nuclear contamination since Hiroshima and Nagasaki.”2 Since US and Canadian officials were uncertain where Cosmos 954 would land, they decided not to issue a public announcement detailing the nuclear concern. When it became clear, however, that Cosmos 954 would fall months earlier than predicted, the US State Department on January 18, 1978 relayed a secret message to its NATO allies and to Australia, Japan and New Zealand informing state diplomats about the matter.
On January 24, 1978 the world’s news agencies sent reporters to the icy tundra near Yellowknife to investigate the “killer satellite.” Journalists reported on the massive size of the debris field, the fragments that had been recovered, the nature of the retrieval mission and the Canadian government’s attempts to communicate with Inuit communities in the vicinity of the crash whose water and food supplies were in danger of exposure to radiation. After the satellite fell, the US Departments of Energy and Defense banded together with Canadian agencies to mount a five-month retrieval mission called Operation Morning Light that utilized U2 and KC-135 aircraft to help locate concentrations of radioactive particulate and recover the satellite’s fragments. Since the Soviets were tight-lipped about the satellite’s composition, some suggest the recovery effort was as much about investigating the current state of Soviet satellite technology as it was about retrieving radioactive debris.
In the months following the crash the Canadian government sought compensation from the Soviet Union in the amount of $3 million (Canadian) under the 1972 Convention on International Liability for Damage caused by Space Objects. This international law holds satellite owners liable for the damages caused when space objects fall back to earth. The Soviets fought this case claiming that Cosmos 954 had broken up by the time it fell to earth and thus could no longer be recognized as a “satellite” when it landed in the Northwest Territories. The fall of Cosmos 954 not only established an occasion to test satellite liability law, but Operation Morning Light became a prototype for future satellite recovery missions.
USA 193
Almost exactly thirty years after Cosmos 954 fell, another satellite drifted out of orbit and began to move toward Earth. USA 193 was a classified spy satellite (also known as NROL-21) that had been launched on December 14, 2006 from Vandenberg Air Force base in California. Communication with the satellite failed shortly after its launch. Rather than allow USA 193 to fall to the earth’s surface, the US government devised an elaborate scheme to intercept and destroy it with an SM-3 missile. US officials expressed concerns about the 1000-pound tank of hydrazine fuel on board the satellite and claimed it could form into a toxic cloud the size of two football fields if the satellite were to crash and pose a serious public health risk. Many were skeptical of this claim and speculated instead that the US did not want this classified satellite to fall into foreign hands because future US spysat fleets were slated to use similar technologies. Still others interpreted the US satellite shoot-down as a geopolitical showdown in which the US set out to demonstrate its anti-satellite (ASAT) missile capabilities following a controversial and high-profile test the Chinese had conducted in 2007.
Despite the various speculations, on Feb 20, 2008 a missile launched from the US Navy vessel USS Lake Erie blasted into USA193 as it passed over an area west of the Hawaiian Islands in the Pacific Ocean. Like Cosmos 954’s crash into the Northwest Territories, the interception of USA 193 became a media event as news agencies emphasized the risky nature of the satellite shoot-down, used Google Earth to predict and map where the fragments would land, and evaluated public health risks. After the strike, the US Defense Department held a press conference and released a video showing the missile strike USA 193 as it turned into an incandescent gaseous blob. Amateur satellite trackers in different parts of the world had also been tracking and photographing the secret satellite (along with many others) since its 2006 deployment.3
Cosmos 954 and USA 193 are just two of hundreds of satellites that have failed since the late 1950s. These failures, I want to suggest, are symptomatic of the kind of dandelion capitalism that underpins the satellite economy. Just as fast as the capital to manufacture, launch and operate a satellite accumulates and the technology takes shape, it can be blown away in a blinding flash, its fragments either floating into the oblivion of space or darting cataclysmically toward the earth. The satellite economy has long been structured around such failures, and, as a result, has one of the most complex and expensive insurance industries on the planet. Insurance premiums are typically a satellite operator’s second largest cost. For any given satellite there can be 10-15 large insurers and 20-30 smaller companies involved in issuing policies for different phases of the satellite’s development, transport, launch and in-orbit operation. In 2003 a basic premium for a satellite worth $250 million cost between $40-55 million.4

While much information about USA 193 remains classified, it is known that the satellite was part of a satellite design scheme called Future Imagery Architecture, involving Boeing and Lockheed Martin, for which the US government paid over $10 billion.5 The shootdown operation for USA 193 alone cost US taxpayers $40-60 million.6 Capitalism operates in the satellite economy such that extremely expensive machines are made and installed in orbit without public knowledge only to be spectacularly blown away and become “total losses” right before our eyes. Given such scenarios the study of satellite failures, finances and futures remains a vital path for further investigation.
Author’s Note: This is an excerpt of a longer essay that will appear in the forthcoming book Down to Earth: Satellite Technologies, Industries and Cultures, co-edited by Lisa Parks and James Schwoch from Rutgers University Press.
Image Credits:
1. Debris from space
2. Fragment of Cosmos 954
3. Operation Morning Light mission logo
4. Screen capture of video showing missile strike USA 193
5. Amateur satellite tracker photograph of USA 193 shot from a rooftop in the Netherlands
6. Dandelion
Please feel free to comment.
NOTES
1. Jim Schwoch, Global TV: New Media and the Cold War, 1946-69, Urbana and Chicago: University of Illinois Press, 2009, p. 130. [↩]
2. C. A. Morrison, Voyage into the Unknown: The Search and Recovery of Cosmos 954, Stittsville, Ontario: Canada’s Wings, Inc., 1982, p. 7. [↩]
3. USA 193,” Sattrackcam Leiden Station Blog, Dec. 26, 2007; John Schwartz, “Satellite Spotters Glimpse Secrets and Tell Them,” The New York Times, Feb. 5, 2008; and Trevor Paglen, Blank Spots on the Map: The Dark Geography of the Pentagon’s Secret World, New York: Dutton, 2009, pp. 97-125. [↩]
4. Andrea Maleter, “Strategies to Mitigate High Satellite Insurance Premiums,” Satellite Finance, Issue 64, Dec. 10, 2003, p. 46. [↩]
5. Noah Schactman, “Rogue Satellite’s Rotten, $10 Billion Legacy,” Wired, Feb. 20, 2008. [↩]
6. Jamie McIntyre and Mike Mount, “Attempt to shoot down spy satellite to cost up to $60 million,” CNN, Feb. 15, 2008. [↩]

KONSEP LANDAS KONTINEN DALAM KONVENSI HUKUM LAUT INTERNASIONAL 1982

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Konvensi Hukum Laut International atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, memberikan kesempatan kepada negara pantai untuk melakukan tinjauan terhadap wilayah landas kontinen hingga mencapai 350 mil laut dari garis pangkal. Berdasarkan ketentuan UNCLOS jarak yang diberikan adalah 200 mil laut, maka sesuai ketentuan yang ada di Indonesia berupaya untuk melakukan submisi (submission) ke PBB mengenai batas landas kontinen Indonesia di luar 200 mil laut.

Konsep landas kontinen ini, pertama kali diajukan oleh Amerika Serikat pada Konvensi Hukum Laut Internasional tahun 1958 yaitu Presiden Amerika Serikat (AS), Harry S. Truman, yang pertama kali memproklamirkan. Tepatnya pasca-Perang Dunia II, pada tanggal 28 September 1945. ”Whereas the Goverment of the United States of America, aware of the long range world wide need for new sources of petroleum and other minerals, holds the view the efforts to discover and make available new supplies of these resources should be encouraged,…” demikian Presiden Truman mengawali proklamasinya.

Tindakan Presiden Truman memproklamirkan konsep landas kontinen adalah bertujuan untuk mencadangkan kekayaan alam pada dasar laut dan tanah dibawahnya yang berbatasan dengan pantai Amerika Serikat untuk kepentingan rakyat dan bangsa Amerikan Serikat, terutama kekayaan mineral khususnya minyak dan gas bumi. Namun konsep ini tidak bertujuan untuk mengurangi hak kebebasan berlayar atas atau melalui perairan yang terdapat di atas landas kontinen karena statusnya tetap sebagai laut lepas.

Konsep landas kontinen dalam hukum laut tidak berhubungan dengan kekayaan mineral dalam dasar laut tetapi berkaitan dengan kekayaan hayati atau perikanan. Pengertian landas kontinen pertama kali diperkenalkan oleh Odon de Buen seorang Spanyol dalam Konferensi Perikanan di Madrid di tahun 1926. Konsepsi landas kontinen dikemukakan dengan perikanan berdasarkan anggapan bahwa perairan diatas dataran kontinen merupakan perairan yang baik sekali untuk kehidupan ikan.

Apabila dianalisis tindakan dari pemerintah Amerika Serikat menganai konsep landas kontinen dapat digolongkan menjadi 4 bentuk yaitu :
1. Tindakan perluasan yurisdiksi yang ditujukan kepada penguasaan kekayaan alam yang terkandung dalam dasar laut dan tanah dibawah laut yang berbatasan dengan pantai.
2. Perluasan yurisdiksi atau dalam beberapa hal kedaulatan atas dasar laut dan tanah dibawahnya.
3. Perluasan kedaulatan atas lautan (dengan atau tanpa menyebut landas kontinen) hingga suatu ukuran jarak tertentu misalnya 200 mil.

Pada 30 April 1987 di New York diadakan Konvensi Hukum Laut PBB Ke-III. Pada konferensi ini telah disepakati pengaturan rejim-rejim hukum laut dan bagi Indonesia pengakuan bentuk negara kepulauan yang diatur hak dan kewajibannya merupakan keputusan terpenting.

Pengakuan dunia internasional ini, ditindaklanjuti dengan diterbitkannya UU No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 1985. Sejak diberlakukannya undang-undang ini pada 31 Desember 1985, Indonesia terikat dalam Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982, dan harus menjadi pedoman dalam pembuatan Hukum Laut Internasional selanjutnya. Hal yang mengatur tentang landas kontinen di atur di dalam Pasal 76 UNCLOS 1982 yang kemudian dituangkan dalam Undang – Undang No. 1 tahun 1973 oleh pemerintah Indonesia.
Berdasarkan posisi geografis dan kondisi geologis, Indonesia kemungkinan memiliki wilayah yang dapat diajukan sesuai dengan ketentuan penarikan batas landas kontinen di luar 200 mil laut. Kenyataan ini menjadi tantangan para pemangku kepentingan dan profesi bidang terkait untuk menelaah secara seksama kemungkinan-kemungkinan wilayah perairan landas kontinen di luar 200 mil laut ini.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dan untuk memfokuskan penulisan ini, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep landas kontinen dalam Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982?
2. Bagaimana kepentingan Indonesia terhadap konsep landas kontinen tersebut ?

Tujuan Penulisan
1. Untuk menjelaskan konsep landas kontinen dalam Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982.
2. Untuk menjelaskan kepentingan Indonesia terhadap konsep landas kontinen tersebut.










BAB II
PEMBAHASAN

Konsep Landas Kontinen dalam Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) 1982
Konsep landas kontinen diatur dalam bab khusus pada UNCLOS 1982, yaitu Bab VI tentang Landas Kontinen dari Pasal 76 hingga Pasal 85. Berdasarkan Pasal 76 ayat (1) UNCLOS 1982, dikatakan bahwa landas kontinen negara pantai terdiri dari dasar laut dan kekayaan alam yang terdapat di bawahnya dari area laut yang merupakan penambahan dari laut teritorialnya, yang mencakup keseluruhan perpanjangan alami dari wilayah teritorial daratnya ke bagian luar yang memagari garis kontinental, atau sejauh 200 mil dari garis pangkal dimana garis territorial diukur jika bagian luar yang memagari garis continental tidak bisa diperpanjang sampai pada jarak tersebut.

Landas kontinen merupakan istilah geologi yang kemudian menjadi bagian dalam istilah hukum. Secara sederhana landas kontinen dapat diartikan sebagai daerah pantai yang tanahnya menurun keadalam laut sampai akhirnya disuatu tempat tanah tersebut jatuh curam di kedalaman laut dan pada umumnya tidak terlalu dalam, agar sumber-sumber alam dari landas kontinen dapat dimanfaatkan dengan teknologi yang ada.

Penjelasan dalam Pasal 76 UNCLOS merupakan pencerminan dari kompromi antara negara-negara pantai yang memiliki landas kontinen luas seperti Kanada yang mendasarkan kriteria eksploitasibiltas sebagaimana termuat dalam UNCLOS 1958 karena penjelasan pada UNCLOS 1958 tentang landas kontinen sangat berbeda dengan pengertian Pasal 76 UNCLOS 1982, sehingga negara-negara pantai dengan landas kontinen yang luas tetap mempertahankan posisi bahwamereka memiliki hak di seluruh landas kontinennya dengan negara-negara yang menginginkan kawasan internasional seluas mungkin.

Pada umumnya, kompromi merupakan masalah yang sulit untuk dicapai. Hal itu terbukti dengan ketentuan-ketentuan konvensi yang menetapkan batas terluar dari tepian kontinen yang terletak di luar jarak 200 mil. Untuk itu, negara-negara pantai dapat memilih satu di antara dua cara penetapan batas tersebut, yaitu :
1. Dengan menarik garis diantara titik-titik dimana ketebalan sedimen karang paling sedikit 1 persen dari jarak terpendek pada titik-titik tersebut ke kaki lereng kontinen; atau
2. Dengan menarik garis di antara titik-titik yang ditetapkan yang panjangnya tidak melebihi 60 mil laut dari kaki lereng kontinen (Pasal 76 (4) UNCLOS 1982)
Selanjutnya ditetapkan bahwa untuk kedua cara tersebut setiap garis yang menghubungkannya antara dua titik tidak boleh melebihi 60 mil laut (Pasal 76 (7) UNCLOS 1982). Kemudian titik-titik untuk penarikan garis tersebut tidak boleh terletak lebih dari 350 mil laut dari garis pangkal untuk mengukur lebar laut teritorial atau tidak boleh terletak lebih dari 100 mil laut dari kedalaman 2500 meter (Pasal 76 (5) UNCLOS 1982).

Para perumus konvensi menyadari bahwa penerapan ketentuan-ketentuan tersebut akan menimbulkan permasalahan. Untuk itu, dibentuklah ketentuan dalam konvensi mengenai Komisi Batas Landas Kontinen (Pasal 76 (8) dan Lampiran II UNCLOS 1982). Suatu negara pantai yang akan menetapkan batas terluar landas kontinennya lebih dari 200 mil laut harus memberitahu komisi yang beranggotakan 21 orang tersebut, mengenai data ilmu pengetahuan dan teknis yang mendasari penetapan batas tersebut. kemudian komisi ini akan mempertimbpangkan serta membuat rekomendasi. Dalam hal ini komisi harus mempertimbangkan Lampiran II apabila terdapat pengecualian terhadap peraturan-peraturan yang dituangkan pada Pasal 76 UNCLOS 1982 jika negara pantai tidak menyetujui rekomendasi dari komisi yang memiliki kewenangan menetapkan pandangnya kepada negara pantai.

Berdasarkan Pasal 77 UNCLOS 1982 negara pantai menikmati hak berdaulat untuk mengeskplorasi dan mengeksploitasi sumber kekayaan alam di landas kontinen yang berada dalam batas 200 mil zona ekonomi eksklusif, hak-hak tersebut bersamaan dengan hak-hak yang dinikmati berdasarkan Pasal 56 UNCLOS 1982 tentang zona eknomi eksklusif. Dengan demikian rezim landas kontinen yang independen hanya yang terletak di luar batas tersebut. Kemudian terkait dengan hak dan penggunaan landas kontinen, negara asing berhak melakukan penanaman kabel dan jalur pipa melalui atau pada landas kontinen sebuah negara pantai, hal tersebut diatur pada Pasal 79 UNCLOS 1982. Negara pantai yang bersangkutan hanya bisa menentukan jalur kabel atau pipa yang akan ditanam tetapi tidak dapat melarang atau mengharuskan ketentuan penanaman kabel dan pipa tersebut. Pada Pasal 83 UNCLOS 1982 mengatur tentang ketentuan penetapan batas landas kontinen antara negara-negara yang pantainya berbatasan dan berhadapan. Dimana ketentuannya sama halnya dengan zona ekonomi eksklusif.

Landas Kontinen Ekstensi
Pasal 76 (4) UNCLOS 1982 menjelaskan bahwa “for teh purposes of this Convention, the coastal State shall esthablish the outer edge of the continental margin wherever the margin extends beyond 200 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured...”. hal tersebut menegaskan bahwa dimungkinkan untuk mengajukan klaim atas landas kontinen yang melebihi 200 mil laut atau disebut dengan Landas Kontinen Ekstensi. Karena banyak kasus dimana kondisi geologi dan geomorfologis suatu negara pantai yang mengharuskan menarik batas landas kontinen melebihi 200 mil atau pada umumnya dimungkinkan sepanjang 350 mil laut.

Berdasarkan UNCLOS 1982 penentuan batas landas kontinen ekstensi dapat dilakukan dengan memperhatikan 4 kriteria yang diatur pada Pasal 76. Dua kriteria pertama adalah yang membolehkan (formulae) sedangkan dua kriteria terakhir adalah yang membatasi (constraints). Berikut syarat yang membolehkan (formulae):
1. Didasarkan pada titik tetap terluar pada titik mana ketebalan batu endapan (sedimentary rock) paling sedikit sebesar 1 persen dari jarak terdekat antara titik tersbeut dengan kaki lereng kontinen. Persentase ini dihitung dengan membandingkan tebalnya batu sedimen di suatu titik terhadap jarak titik tersebut dari kaki lereng.
2. Batas terluar landas kontinen ekstensi juga bisa ditentukan dengan menarik garis berjarak 60 mil laut dari kaki lereng kontinen (hedberg line) ke arah laut lepas.
Pada penerapannya, batas terluar landas kontinen ekstensi merupakan kombinasi dari dua syarat di atas yang dalam hal ini akan dipilih garis terluar yang paling menguntungkan negara yang bersangkutan. Namun demikian, garis terluar ini belumlah merupakan garis batas landas kontinen ekstensi final karena masih harus diuji dan memenuhi dua syarat pembatas (constraints) berikut :
1. Batas terluar dari landas kontinen tidak boleh melebihi 350 mil dari garis pangkal sebagai referensi mengukur batas teritorial; atau
2. Batas terluar dari landas kontinen tidak melebihi 100 mil laut dari kontur kedalaman 2.500 meter isobath.

Kepentingan Indonesia Terhadap Konsep Landas Kontinen
Sebagai negara kepulauan Indoensia mempunyai penguasaan penuh dan hk eksklusif atas kekayaan alam atau milik negara. Akibat adanya penguasaan, maka setiap kegiatan di landas kontinen Indonesia seperti eksplorasi atas daratan kontinen dan eksploitasi sumber-sumber kekayaan alam maupun penyelidikan ilmiah atas kekayaan alam, harus dilakukan sesuai dengan kehijaban yang dikeluarkan pemerintah Indonesia. adanya kehijaban tersebut bagi pemerintah Indonesia merupakan kepentingan untuk dilakukannya pengawasan yang diperlukan, agar hal-hal yang dianggap tidak memadai dapat dilakukan tindakan pengamanan secara dini namun di sisi lain dengan adanya kehijaban tersebut pengurangan kebebasan sekaligus harus diikuti dan tunduk pada segala ketentuan yang ada.

Kemudahan yang diberikan dalam melaksanakan eksplorasi maupun eksploitasi sumber-sumber kekayaan alam dapat diperoleh berupa:
1. Dapat dibangunnya instalasi-instalasi di landas kontinen.
2. Dapat digunakannya kapal-kapal dan/atau alat-alat lainnya untuk kepentingan kegiatan.
3. Dapat dilakukan kegiatan pemeliharaan instalasi-instalasi atau alat-alat yang ada
Pelaksanaan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam di landas kontinen sepenuhnya menjadi wewenang negara pantai dengan memperhatikan batasan-batasan yang dikeluarkan oleh pemerintah negara pantai dan adanya kemungkinan timbulnya salah paham atau salah pengertian yang mengakibatkan perselisihan antar kepentingan-kepentingan dalam pemenfaatan sumber kekayaan alam akan menjadi perhatian yang serius bagi pemerintah untuk menyelesaikannya.

Dalam menghadapi dan menyelesaikan permasalahan tersebut diatas diberlakukan segala peratuan perundang-undangan yang ada dan relevan dengan masalahnya, tindakan sepihak dari pemerintah Indonesia dapat dilakukan dengan mengambil langkah kebijakan sebagai berikut :
1. Menghentikan sementara waktu kegiatannya.
2. Mencabut izin usaha untuk tidak melakukan usahanya di wilayah landas kontinen Indonesia.
Sebagai suatu ketentuan dalam melaksanakan kegiatan di landas kontinen dan kegiatan tersebut diatas harus diindahkan dan dilindungi kepentingan yang berkaitan dengan :
1. Perhatian dan keamanan nasional.
2. Perhubungan.
3. Telekomunikasi dan transmisi listrik dibawah laut.
4. Perikanan.
5. Penyelidikan oceanografi dan penyelidikan ilmiah lainnya.
6. Cagar alam
Untuk saling mengaja kepentingan baik terhadap negara Indonesia selaku negara pantai maupun kepentingan bangsa lain merupakan tindakan dalam menjaga keseimbangan agar tetap terpeliharanya keseimbangan situasi, sehingga terhindar dari timbulnya tabrakan antara kepentingan-kepentingan,sebagai akibat kurangnya informasi atau tidak adanya komunikasi yang lebih jauh dapat menimbulkan keretakan hubungan antar negara.

Bagi Indonesia penentuan batas wilayah kontinen dan yang berkaitan dnegan landas kontinen Indonesia termasuk depresi-depresi yang terdapat di landas kontinen Indonesia berbatasan dengan negara lain telah dikeluarkan keputusan, bahwa penetapan garis batas landas kontinen dengan negara lain dapat dilakukan dengan cara mengadakan perundingan untuk mencapai persetujuan (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973)

Persetujuan yang dilakukan merupakan kesepakatan bersama sebagai perwujudan rasa persahabatan dan saling menegakkan kepentingan masing-masing untuk tidak saling mengganggu serta menghormati kewenangan maupun hal-halnya dalam pergaulan sebagai anggota masyarakat internasional.

Indonesia sebagai negara pantai yang bersinggungan dengan dataran kotinen dapat mempergunakan kewenangnya yang sekaligus bertanggung jawab atas wilayah tersebut. kewenangan yang dimilki negara pantai berupa tindakan –tindakan untuk mengambil kebijakan atas hak-haknya yang digunakan untuk membangun maupun memelihara instalasi-instalasi, tidak akan mempengaruhi adanya:
1. Luasnya lautan bebas yang sah pada perairan itu
Dengan adanya hak-hak negara pantai atas daratan kontinental tidak mempengaruhi akan lautan bebas dan udara diatasnya.
2. Teritorial negara
Instalasi dan alat-alat yang berada dibawah kekuasaan negara pantai, namun instalasi dengan peralatannya ini bukan berstatus sebagai pulau-pulau atau bagian pulau sehingga tidak mempunyai daerah laut teritorial tersendiri, yang berarti luas laut teritorial dari negara pantai tidak mengalami perubahan.
3. Pemasangan saluran pipa
Instalasi-instalasi atau kabel-kabel dibawah laut atau alat-alat lainnya yang berkaitan untuk melakukan eksplorasi dataran kontinental dan melakukan eksploitasi sumber alam tidak merintangi dan dalam pemeliharannya.
4. Melakukan usaha-usaha penyelidikan di dataran kontinental
Memperhatikan bahwa permohonan penyelidikan diajukan oleh suatu lembaga yang memnuhi persyaratan dan penyelidikan dilakukan secara ilmu pengetahuan murni tentang sifat-sifat fisik atau biologi dari dataran kontinental. Dalam penyelidikan ini negara pantai mempunyai hak untuk:
• Ikut serta dalam penyelidikan, atau
• Keikutsertaannya dengan cara mewakilikan

Pemasangan berbagai instalasi dan alat-alat yang digunakan untuk keperluan suatu negara sama seklai tidak mempengaruhi tritorial suatu negara, namun bentuk-bentuk eksplorasi ataupun eksploitasi sumber kekayaan alam harus tetap memperhatikan kondisi lingkungan dengan selalu mengupayakan langkah-langkah berupa:
• Pencegahan terjadinya pencemaran air laut di landas kontinen maupun udara diatasnya
• Pencegahan meluapnya pencemaran apabila telah terjadi pencemaran
Jurisdikasi negara pantai yang berkaitan dengan wilayah Indonesia diberlakukan Hukum Nasional Indonesia sepanjang:
Perbuatan dan persitiwanya terjadi pada diatas atau dibawah instalasi-instalasi atau kapal-kapal yang berada di landas kontinen untuk eksploitasi kekayaan alam
Perbuatan dan peristiwanya terjadi di daerah terlarang dan daerah terbatas dari instalasi-intalasi atau alat-alat dan kapal-kapal.
Untuk instalasi-instalasi maupun alat-alat yang dipergunakan eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber kekayaan alam di landas kontinen Indonesia, merupakan daerah yurisdiksi Indonesia (Pasal 9 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973).
















PENUTUP

Kesimpulan
1. Landas kontinen merupakan istilah geologi yang kemudian menjadi bagian dalam istilah hukum. Secara sederhana landas kontinen dapat diartikan sebagai daerah pantai yang tanahnya menurun keadalam laut sampai akhirnya disuatu tempat tanah tersebut jatuh curam di kedalaman laut dan pada umumnya tidak terlalu dalam, agar sumber-sumber alam dari landas kontinen dapat dimanfaatkan dengan teknologi yang ada.
2. Pasal 76 (4) UNCLOS 1982 menjelaskan bahwa “for teh purposes of this Convention, the coastal State shall esthablish the outer edge of the continental margin wherever the margin extends beyond 200 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured...”. hal tersebut menegaskan bahwa dimungkinkan untuk mengajukan klaim atas landas kontinen yang melebihi 200 mil laut atau disebut dengan Landas Kontinen Ekstensi. Karena banyak kasus dimana kondisi geologi dan geomorfologis suatu negara pantai yang mengharuskan menarik batas landas kontinen melebihi 200 mil atau pada umumnya dimungkinkan sepanjang 350 mil laut.
3. Sebagai negara kepulauan Indoensia mempunyai penguasaan penuh dan hk eksklusif atas kekayaan alam atau milik negara. Akibat adanya penguasaan, maka setiap kegiatan di landas kontinen Indonesia seperti eksplorasi atas daratan kontinen dan eksploitasi sumber-sumber kekayaan alam maupun penyelidikan ilmiah atas kekayaan alam, harus dilakukan sesuai dengan kehijaban yang dikeluarkan pemerintah Indonesia. adanya kehijaban tersebut bagi pemerintah Indonesia merupakan kepentingan untuk dilakukannya pengawasan yang diperlukan, agar hal-hal yang dianggap tidak memadai dapat dilakukan tindakan pengamanan secara dini namun di sisi lain dengan adanya kehijaban tersebut pengurangan kebebasan sekaligus harus diikuti dan tunduk pada segala ketentuan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur
Heru Prijanto.2007. Hukum Laut Internasional. Bayumedia Publishing.Malang
I Made Andi Arsana. 2008. Batas Maritim Antarnegara, Sebuah Tinjauan Teknis dan Yuridis. Yogyakarta
Mochtar Kusumaatmadja. 1986. Hukum Laut Internasional. Binacipta. Bandung
P. Joko Subagyo. 2005. Hukum Laut Indonesia. Rineka Cipta. Jakarta

Perundang-Undangan
United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973

Sabtu, 25 Desember 2010

ANALISIS TUGAS DAN PENGANGKATAN PADA MISI DIPLOMATIK SERTA HAK LEGASI DALAM HUBUNGAN DIPLOMATIK BERDASARKAN KONVENSI WINA 1961

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Praktik pengiriman duta atau utusan perwakilan telah dilaksanakan sejak bentuk negara belum lahir dan sistem kekuasaan masih berbentuk kerajaan dimana yang menjadi utusan adalah para keluarga raja, kaisar atau keturunan bangsawan saja. Para bangsa Romawi dan Yunani-lah yang mengenal pertama kali praktik pengiriman duta untuk membangun kerjasama atau menyampaikan pesan dari penguasa. Sedangkan pengiriman duta ke negara asing juga sudah dikenal di Indonesia dan negara-negara Asia, serta Arab sejak sebelum negara-negara barat mengetahuinya. Bangsa India kuno telah mengenal istilah duta bagi seseorang yang mewakili kerajaan untuk menyampaikan pesan-pesan bagi kerajaan lain. Kemudian pada abad ke 16 di Eropa masalah pengiriman dan penempatan duta telah diatur menurut hukum kebiasaan yang kemudian dikodifikasikan pada tahun 1815 melalui Kongres Wina yang dihadiri oleh Raja-Raja Eropa, kodifikasi tersebut menghasilkan The Final Act of the Congress of Vienna on Diplomatic Ranks.

Tujuan dari pengiriman utusan atau perwakilan diplomatik pada dasarnya untuk membangun hubungan negara yang baik sehingga dapat terjalin kerjasama yang dapat menguntungkan keduabelah pihak. Agar tujuan tersebut dapat tercapai maka harus dilaksanakan melalui diplomasi. Pengertian diplomasi menurut salah satu ahli Hukum Internasional, Sumaro Suryokusumo yaitu :
Diplomasi merupakan suatu cara komunikasi yang dilakukan antara berbagai pihak termasuk negosiasi antara wakil-wakil yang sudah diakui. Praktik-praktik negara semacam itu sudah melembaga sejak dahulu dan kemudian menjelma sebagai aturan-aturan hukum internasional.
Diplomasi telah menjadi satu bagian yang sangat penting dalam kehidupan negara dan merupakan sarana utama guna menangani masalah-masalah internasional agar dapat dicapai suatu perdamaian dunia. Dengan sarana diplomasi itu pemerintah menjalankannya dalam rangka mencapai tujuannya dan mendapatkan dukungan dari prinsip-prinsip yang dianutnya. Diplomasi yang merupakan proses politik itu terutama dimaksudkan untuk memelihara kebijakan luar negeri suatu pemerintah dalam mempengaruhi kebijakan dan sikap pemerintah negara lainnya.

Perkembangan dunia pada abad ke 20 turut berpengaruh terhadap hubungan diplomasi dan praktik pengiriman duta. Sebelumnya, pada masa dimana dunia masih berbentuk kerajaan dan belum mengenal bentuk negara para utusan perwakilan diplomatik hanya diutus secara sementara kemudian setelah tugas mereka selesai dilaksanakan maka mereka kembali lagi ke wilayahnya. Praktik seperti itu tentu tidak efisien dan efektif untuk menjalin kerjasama karena suatu kerjasama dibutuhkan proses negosiasi atau pertemuan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, setelah dunia mengenal bentuk negara dan telah lahir negara-negara didunia khususnya dibagian Benua Eropa maka pada saat itu berkembang prinsip hukum internasional dalam berdiplomasi. Salah satu perkembangannya, yaitu terbentuk praktik pengiriman duta atau utusan perwakilan dengan bentuk perwakilan tetap dan istilah bagi utusan diplomatik disebut dengan Duta Besar (Ambassadors). Jadi walaupun tugas Duta Besar telah selesai perwakilan tetap dibuka dan diganti dengan Duta Besar yang baru. Jadi hubungan antar negara pengirim dan negara penerima tetap terjalin dan kerjasama kedua negara tetap berjalan.

Perwakilan diplomatik yang tetap (Resident Ambassador) mulai berkembang di City-States Italia pada abad ke 15 seperti di Genoa, Florence dan Milan yang juga memiliki Resident Ambassador di luar Italia seperti di Spanyol dan Inggris mulai tahun 1490-an. Venesia yang juga memiliki perwakilan tetap di luar Italia yaitu di Perancis mulai tahun 1478.

Menurut Boer Mauna, negara dalam hubungannya satu sama lain mengirim utusannya untuk berunding dengan negara lain dalam rangka memperjuangkan dan mengamankan kepentingannya masing-masing disamping mengupayakan terwujudnya kepentingan bersama. Pembukaan dan pemeliharaan hubungan diplomasi dengan negara lain atas dasar kesamaan hak merupakan manifestasi nyata dari kedaulatan suatu negara. Sebagai entitas yang merdeka dan berdaulat, negara-negara saling mengirim wakilnya ke ibu kota negara lain, merundingkan hal-hal yang merupakan kepentingan bersama, mengembangkan hubungan, mencegah kesalahpahaman ataupun menghindari terjadinya sengketa.

Perjanjian Internasional yang mengatur mengenai hubungan diplomatik antar negara adalah Konvensi Wina tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatik dengan Prtokol Tambahan-nya tentang Perolehan Kewarganegaraan dan Keharusan Menyelesaikan Sengketa. Dalam Konvensi tersebut diatur hal-hal mengenai tata cara melaksanakan hubungan diplomatik, seperti pembentukan perwakilan diplomatik, perlindungan bagi para utusan perwakilan diplomatik, hak dan kewajiban negara pengirim serta negara penerima, dan sebagainya. Terkait dengan pelaksanaan hubungan diplomatik penulis teratrik untuk membahas masalah mengenai praktik pelaksanaan misi diplomatik dan hak legasi serta klasifikasi kepangkatan pejabat diplomatik.













1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dan untuk memfokuskan makalah ini, maka permasalahn di rumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana tugas pada misi diplomatik berdasarkan Konvensi Wina 1961?
2. Bagaimana hubungan antara hak legasi (right of legation) dan pembukaan hubungan diplomatik ?
3. Bagaimana peraturan mengenai pengangkatan kepala misi diplomatik dan struktur kepangkatan pejabat perwakilan diplomatik berdasarkan Konvensi Wina 1961?

1.3. Tujuan Penulisan
1. Untuk menjelaskan tugas pada misi diplomatik berdasarkan Konvensi Wina 1961.
2. Untuk menjelaskan hubungan antara hak legasi (right of legation) dan pembukaan hubungan diplomatik.
3. Untuk menjelaskan peraturan pengangkatan kepala misi diplomatik dan struktur kepangkatan pejabat perwakilan diplomatik berdasarkan Konvensi Wina 1961.












BAB 2
PEMBAHASAN
2.1. Tugas Pada Misi Diplomatik Berdasarkan Konvensi Wina 1961
Seorang utusan perwakilan atau Duta Besar yang diutus oleh Kepala Negara tentu memiliki tugas dan tujuan dari penugasan tersebut. Pengangkatan seorang diplomat menjadi duta atau wakil dari negara pengirim kepada negara penerima tidak hanya mengangkat begitu saja. Kepala Negara dari negara pengirim akan melihat kepribadian dan latar belakang dari calon duta tersebut karena seorang duta besar merupakan cerminan representasi dari negara pengirim dan juga karena negara penerima tentu tidak akan begitu saja menerima utusan yang di pilih oleh negara pengirim, jangan sampai hubungan diplomatik antar negara pengirim dan negara penerima terganggu karena utusan yang di pilih oleh negara pengirim terkena persona non grata dari negara penerima.

Tugas atau fungsi dari pelaksanaan misi diplomatik atau tugas bagi utusan wakil diplomatik secara konvensional yaitu melakukan negosiasi dengan negara penerima terkait dengan kepentingan kedua negara, melakukan pengamatan atas kebijakan-kebijakan nasional maupun internasional yang dikeluarkan oleh negara penerima yang terkait dengan kepentingan negaranya dan melaporkannya kepada negara yang diwakilinya, serta mengembangkan hubungan yang baik antara negara pengirim dan negara penerima.

Tugas untuk misi diplomatik juga diuraikan oleh para penulis diplomatic handbook, seperti Genet dan Oppenheim. Mereka menguraikan bahwa terdapat tiga fungsi yang berisfat konvensional bagi suatu misi dpilomatik yaitu melindungi kepentingan dari negara pengirim, negosiasi dan pengamatan. Satow dalam buku Diplomatic Practice mengatakan bahwa fungsi dari misi diplomatik adalah untuk mewakili negara pengirim, melindungi kepentingan dan warga negara, melakukan negosiasi dengan negara yang diakreditasikan, melaporkan berbagai informasi kepada negara pengirim mengenai hal-hal yang penting, dan untuk mengembangkan hubungan yang baik secara umum antara kedua negara. Kemudian semua fungsi-fungsi tadi harus diiringi dengan usaha yang terus dikembangkan sesuai dengan instruksi yang diterima, kerjasama sangat penting untuk kedua pemerintah dalam hal perdagangan, keuangan, ekonomi, perburuhan, penelitian ilmu pengetahuan dan pertahanan.

Merujuk kepada Pasal 3 Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik 1961, dijelaskan bahwa fungsi dari misi diplomatik terdiri atas 5 fungsi yaitu:
1. Mewakili negara pengirim di negara penerima;
2. Melindungi kepentingan negara dan para warga negara sendiri di negara penerima;
3. Menyelenggarakan perundingan dengan pihak pemerintah dari negara penerima
4. Mengenal, mengamati dan menilai situasi negara penerima dan melaporkannya kepada pemerintah dari negara pengirim;
5. Mengembangkan hubungan baik antara negara pengirim dan negara penerima, dan mengembangkan ekonomi kedua negara, kebudayaan dan ilmu pengetahuan.

Berdasarkan uraian fungsi dari misi diplomatik dalam Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik 1961 dapat ditarik kesimpulan bahwa tugas bagi para wakil diplomatik yang diberi kepercayaan untuk menjalankan misi diplomatik sangatlah beragam. Sebelum dunia berkembang, tugas dair misi diplomatik hanya terkait dengan negosiasi, pengamatan kebijakan dan melindungi kepentingan negara, namun seiring perkembangan dunia dan lahirnya negara-negara baru serta terbentuknya Konvensi Wina 1961 maka tugas bagi utusan diplomatik untuk misi diplomatik semakin kompleks pula. Seperti melindungi warga negara dari negara pengirim dan kepentingan negaranya serta mengembangkan hubungan baik antara kedua negara.

2.1.1. Mulai Berfungsinya Misi Diplomatik
Secara umum, biasanya para utusan diplomatik mulai bertugas setelah diterima oleh Kepala Negara dari negara penerima dan menyerahkan surat kepercayaan dari Kepala Negara dari negara pengirim. Berdasarkan penjelasan pada Pasal 16 ayat 1 Konvensi Wina 1961, kepala misi diplomatik dianggap mulai melaksanakan fungsinya dapat ditentukan dengan 2 hal, yaitu:
1. Pada saat penyerahan surat kepercayaan (letter of credence) kepala negara dalam suatu upacara penerimaan resmi;
2. Pada saat ia memberitahukan kedatangannya di negara penerima sambil menyerahkan salinan surat keprcayaan yang sesuai dengan asilnya kepada kementerian luar negeri negara penerima atau kementerian lain yang ditunjuk.
2.1.2. Berakhirnya Misi Diplomatik
Setiap tugas diplomatik yang diakreditasikan kepada seorang utusan diplomatik biasanya memiliki batas waktu atau tidak selamanya dipegang oleh utusan diplomatik tersebut. Berbeda dengan seorang diplomat tidak tetap (ad hoc) yang bersifat sementara artinya fungsi diplomatiknya berakhir pada saat tugas yang dilaksanakannya telah tercapai atau berdasar pada ketentuan dari full power yang dimiliki diplomat yang bersangkutan, selain itu bisa pula karena kegaiatan yang diikutinya telah berakhir.

Berdasarkan Pasal 43 Kovensi Wina 1961 bahwa terdapat dua sebab berakhirnya fungsi diplomatik tetap (permanen), yaitu :
1. Atas pemberitahuan negara pengirim pada negara penerima bahwa fungsi agen politik yang dikirim pada negara penerima telah berakhir;
2. Atas pemberitahuan negara penerima kepada negara pengirim bahwa negara penerima menolak mengakui agen diplomatik yang dikirim oleh negara pengirim sebagai anggota misi diplomatik (persona non grata).

Terdapat beberapa hal yang menjadi penyebab berakhirnya misi diplomatik selain penjelasan dari Konvensi Wina 1961 yaitu penyebab yang telah menjadi hukum kebiasaan negara-negara di dunia, yakni :
1. Wakil diplomatik berhenti menjadi wakil dari negara pengirim, wakil diplomatik meninggal dunia, habis masa baktinya, mengundurkan diri dari jabatan diplomatik, ditarik oleh negaranya.
2. Pejabat utama pemegang pemerintahan negara pengirim mengalami perubahan atau susunan ketatanegaraan negara pengirim mengalami perubahan yang mendasar.
3. Negara penerima dan /atau negara pengirim musnah.
4. Negara penerima dan negara pengirim terlibat dalam konflik bersenjata (peperangan).

2.2. Hubungan antara Hak Legasi (Right Of Legation) dan Pembukaan Hubungan Diplomatik
Hak legasi atau right of legation (Ius Legationis) adalah hak keterwakilan. Hak keterwakilan atau hak legasi ini ada dua, yaitu hak legasi aktif yang mempunyai pengertian hak suatu negara untuk mengakreditasi wakilnya ke negara lain dan hak legasi pasif, yaitu kewajiban untuk menerima wakil-wakil dari negara lainnya. Menurut Grotius dalam bukunya De Iure Belli ac Pacis bahwa hak legasi adalah atribut dari kedaulatan negara. Hak leagasi ini diakui dalam Konvensi Havana 1928 dalam Pasal 1. Namun seiring dengan perkembangan zaman dan praktik negara-negara, maka hak legasi ini mulai berangsur-angsur ditinggalkan. Hukum internasional juga mengatur bahwa suatu negara tidak diharuskan untuk membuka hubungan diplomatik dengan negara lain, dan juga tidak ada keharusan untuk menerima misi diplomatik dari negara asing. Demikian juga suatu negara tidak mempunyai hak untuk meminta negara lain menerima wakil-wakilnya. Penerapan hak legasi juga bertentangan dengan hak negara penerima untuk mengenakan persona non grata bagi pejabat diplomatik yang tidak disukainya yang diakreditasikan oleh negara pengirim.

Pasal 2 Konvensi Wina 1961 menegaskan bahwa pembukaan hubungan diplomatik antara negara-negara dan pembukaan perwakilan tetap diplomatik dilakukan atas dasar saling kesepakatan. Kesepakatan ini biasanya diumumkan dalam bentuk resmi seperti komunike bersama, perjanjian persahabatan, dan lain-lain.

Kesepakatan pembukaan hubungan diplomatik dan pembukaan perwakilan tetap diplomatik merupakan suatu hal yang berbeda dalam hubungan diplomatik dan dalam hukum internasional. Suatu negara dapat saja memiliki hubungan diplomatik tetapi tidak diikuti dengan pembukaan perwakilan tetap. Contohnya antara Indonesia dan Taiwan, dimana Indonesia memiliki hubungan diplomatik dalam hal perdagangan dengn Taiwan namun tidak memiliki perwakilan tetap diantara kedua negara karena bila Indonesia membuka perwakilan diplomatik tetap maka Cina akan memutuskan hubungan dipomatik dengan Indonesia. Di Indonesia pembukaan hubungan diplomatik dan perwakilan tetap ditetapkan dengan Keputusan Presiden berdasarkan peraturan dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 Tentang Hubungan Luar Negeri.

2.3. Pengangkatan Kepala Misi Diplomatik dan Struktur Kepangkatan Pejabat Perwakilan Diplomatik Berdasarkan Konvensi Wina 1961
2.3.1. Pengangkatan Kepala Misi Diplomatik Berdasarkan Konvensi Wina 1961
Pengangkatan Kepala misi diplomatik beserta anggota misi diplomatik pada praktiknya diiringi dengan penentuan syarat-syarat karena seorang perwakilan diplomatik harus memiliki kepribadian yang baik dan tidak pernah terakit dengan tindakan pelanggaran hukum sebab negara penerima akan melihat cerminan negara pengirim melalui pejabat diplomatik yang diakreditasikan kepada negaranya.
Sesuai dengan Pasal 7 Konvensi Wina 1961, negara pengirim dapat dengan bebas mengangkat anggota-anggota staf perwakilan. Ketentuan pasal ini merupakan penekanan terhadap prinsip umum bahwa pengangkatan staf perwakilan kecuali duta besar tidak memerlukan persetujuan negara penerima. Pengangkatan seorang duta besar biasanya silakukan atas nama kepala negara. Calon-calon duta besar diajukan oleh menteri luar negeri kepada kepala negara untuk mendapatkan persetujuannya. Cara pemilihan calon-calon tidak selalu sama sesuai dengan bergantung pada sistem dan praktik yang berlaku di suatu negara, dapat juga terjadi calon ditentukan oleh kabinet atau hanya kementerian luar negeri saja setelah memperhatikan berbagai faktor. Berdasarkan pasal 29 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 seorang Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh adalah pejabat negara yang diangakat dan diberhentikan oleh presiden selaku kepala negara.

2.3.2. Struktur Kepangkatan Pejabat Perwakilan Diplomatik
Meskipun dalam Konvensi Wina 1961 tidak mengatur mengenai penggolongan Pangkat bagi pejabat diplomatik namun dalam praktik atau kebiasaan yang berkembang di negara-negara penggolongan atau klasifikasi kepangkatan pejabat diplomatik telah diatur dan menjadi hal yang penting dalam menjalankan tugas karena untuk melihat kewenangan masing-masing pejabat diplomatik. Berikut adalah urutan penggolongan pangkat bagi para pejabat diplomatik :
1. Duta Besar
2. Minister
3. Minister Counsellor
4. Counsellor
5. Sekretaris Pertama
6. Sekretaris Kedua
7. Sekretaris Ketiga
8. Atase

Namun mengenai klasifikasi dalam perwakilan diplomatik, Pasal 14 Konvensi Wina 1961 membagi Kepala Misi Diplomatik menjadi 3 klasifikasi yaitu :
1. Duta-duta Besar dan para Utusan (Ambassadors and Legates) yang diangkat oleh Kepala Negara
Tingkatan ini adalah tingkatan paling tinggi di dalam perwakilan diplolmatik. Di tempat mana duta besar diakreditasikan, maka ia mempunyai kedudukan lebih tinggi dari duta-duta. Duta besar mewakili kepala negaranya, memberikan perlindungan terhadap kepentingan dan nama baik negaranya. Duta besar biasanya dikirim oleh negara besar yang sebaliknya juga menerima duta besar di negaranya. Duta besar dapat langsung bernegosiasi dengan kepala negara, sedangkan perwakilan diplomatik lainnya, melalui perantaraan menteri luar negeri.

2. Menteri Berkuasa Penuh dan Duta Luar Biasa (Minister Plenipotentiary and Envoys Extraordinary) yang diangkat oleh Kepala Negara
Duta istimewa dan Menteri Berkuasa Penuh lebih tepat dikatakan Duta Biasa, mempunyai kedudukan yang dapat disamakan dengan Internuntius dari Vatikan. Praktiknya pun tidak banyak berbeda dengan ambassador atau duta besar.

3. Kuasa Usaha (Charge d’affaires) yang diangkat oleh Menteri Luar Negeri
Kuasa Usaha untuk sementara dapat memimpin kedutaan, apabila dutanya sedang tidak berada pada posnya. Seorang kuasa usaha dapat diangkat untuk satu negara saja (charges d’affaires en pied). Kuasa usaha juga dapat mempunyai kedudukan lebih dari satu kota, karena kuasa usaha ditugaskan untuk negara-negara itu.
Kuasa Usaha dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu :
1. Kuasa Usaha Tetap (Charge d’Affaires en pied)
2. Kuasa Usaha Sementara (Charge d’ Affaires ad interim)




BAB 3
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1. Berdasarkan uraian fungsi dari misi diplomatik dalam Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik 1961 dapat ditarik kesimpulan bahwa tugas bagi para wakil diplomatik yang diberi kepercayaan untuk menjalankan misi diplomatik sangatlah beragam. Sebelum dunia berkembang, tugas dair misi diplomatik hanya terkait dengan negosiasi, pengamatan kebijakan dan melindungi kepentingan negara, namun seiring perkembangan dunia dan lahirnya negara-negara baru serta terbentuknya Konvensi Wina 1961 maka tugas bagi utusan diplomatik untuk misi diplomatik semakin kompleks pula. Seperti melindungi warga negara dari negara pengirim dan kepentingan negaranya serta mengembangkan hubungan baik antara kedua negara.
2. Hak legasi atau right of legation (Ius Legationis) adalah hak keterwakilan. Hak keterwakilan atau hak legasi ini ada dua, yaitu hak legasi aktif yang mempunyai pengertian hak suatu negara untuk mengakreditasi wakilnya ke negara lain dan hak legasi pasif, yaitu kewajiban untuk menerima wakil-wakil dari negara lainnya. Hukum internasional mengatur bahwa suatu negara tidak diharuskan untuk membuka hubungan diplomatik dengan negara lain, dan juga tidak ada keharusan untuk menerima misi diplomatik dari negara asing. Demikian juga suatu negara tidak mempunyai hak untuk meminta negara lain menerima wakil-wakilnya. Penerapan hak legasi juga bertentangan dengan hak negara penerima untuk mengenakan persona non grata bagi pejabat diplomatik yang tidak disukainya yang diakreditasikan oleh negara pengirim.
3. Sesuai dengan Pasal 7 Konvensi Wina 1961, negara pengirim dapat dengan bebas mengangkat anggota-anggota staf perwakilan. Ketentuan pasal ini merupakan penekanan terhadap prinsip umum bahwa pengangkatan staf perwakilan kecuali duta besar tidak memerlukan persetujuan negara penerima. Pengangkatan seorang duta besar biasanya silakukan atas nama kepala negara. Calon-calon duta besar diajukan oleh menteri luar negeri kepada kepala negara untuk mendapatkan persetujuannya.

DAFTAR PUSTAKA
Literatur
Boer Mauna. 2005. Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. Alumni. Bandung
Budiono Kusumohamidjojo, -----, Hubungan Internasional, Binacipta, Bandung
Eileen Denza. 1998. Diplomatic Law, Commentary on the Vienna Convention on Diplomatic Relation. Oxford University Press. New York
John M Echols, Hassan Shadily.2003. Kamus Inggris-Indonesia. Gramedia. Jakarta
Sumaryo Suryokusumo. 2004. Praktik Diplomasi. Penerbit STIH IBLAM. Jakarta
--------------------------.2005. Hukum Diplomatik, Teori dan Kasus.Alumni. Bandung
Widodo. 2009. Hukum Diplomatik dan Konsuler. Laksabang Justitia. Surabaya

Undang-Undang
Vienna Convention on Diplomatic Relations and Optional Protocol 1961