Sabtu, 25 Desember 2010

ANALISIS TUGAS DAN PENGANGKATAN PADA MISI DIPLOMATIK SERTA HAK LEGASI DALAM HUBUNGAN DIPLOMATIK BERDASARKAN KONVENSI WINA 1961

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Praktik pengiriman duta atau utusan perwakilan telah dilaksanakan sejak bentuk negara belum lahir dan sistem kekuasaan masih berbentuk kerajaan dimana yang menjadi utusan adalah para keluarga raja, kaisar atau keturunan bangsawan saja. Para bangsa Romawi dan Yunani-lah yang mengenal pertama kali praktik pengiriman duta untuk membangun kerjasama atau menyampaikan pesan dari penguasa. Sedangkan pengiriman duta ke negara asing juga sudah dikenal di Indonesia dan negara-negara Asia, serta Arab sejak sebelum negara-negara barat mengetahuinya. Bangsa India kuno telah mengenal istilah duta bagi seseorang yang mewakili kerajaan untuk menyampaikan pesan-pesan bagi kerajaan lain. Kemudian pada abad ke 16 di Eropa masalah pengiriman dan penempatan duta telah diatur menurut hukum kebiasaan yang kemudian dikodifikasikan pada tahun 1815 melalui Kongres Wina yang dihadiri oleh Raja-Raja Eropa, kodifikasi tersebut menghasilkan The Final Act of the Congress of Vienna on Diplomatic Ranks.

Tujuan dari pengiriman utusan atau perwakilan diplomatik pada dasarnya untuk membangun hubungan negara yang baik sehingga dapat terjalin kerjasama yang dapat menguntungkan keduabelah pihak. Agar tujuan tersebut dapat tercapai maka harus dilaksanakan melalui diplomasi. Pengertian diplomasi menurut salah satu ahli Hukum Internasional, Sumaro Suryokusumo yaitu :
Diplomasi merupakan suatu cara komunikasi yang dilakukan antara berbagai pihak termasuk negosiasi antara wakil-wakil yang sudah diakui. Praktik-praktik negara semacam itu sudah melembaga sejak dahulu dan kemudian menjelma sebagai aturan-aturan hukum internasional.
Diplomasi telah menjadi satu bagian yang sangat penting dalam kehidupan negara dan merupakan sarana utama guna menangani masalah-masalah internasional agar dapat dicapai suatu perdamaian dunia. Dengan sarana diplomasi itu pemerintah menjalankannya dalam rangka mencapai tujuannya dan mendapatkan dukungan dari prinsip-prinsip yang dianutnya. Diplomasi yang merupakan proses politik itu terutama dimaksudkan untuk memelihara kebijakan luar negeri suatu pemerintah dalam mempengaruhi kebijakan dan sikap pemerintah negara lainnya.

Perkembangan dunia pada abad ke 20 turut berpengaruh terhadap hubungan diplomasi dan praktik pengiriman duta. Sebelumnya, pada masa dimana dunia masih berbentuk kerajaan dan belum mengenal bentuk negara para utusan perwakilan diplomatik hanya diutus secara sementara kemudian setelah tugas mereka selesai dilaksanakan maka mereka kembali lagi ke wilayahnya. Praktik seperti itu tentu tidak efisien dan efektif untuk menjalin kerjasama karena suatu kerjasama dibutuhkan proses negosiasi atau pertemuan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, setelah dunia mengenal bentuk negara dan telah lahir negara-negara didunia khususnya dibagian Benua Eropa maka pada saat itu berkembang prinsip hukum internasional dalam berdiplomasi. Salah satu perkembangannya, yaitu terbentuk praktik pengiriman duta atau utusan perwakilan dengan bentuk perwakilan tetap dan istilah bagi utusan diplomatik disebut dengan Duta Besar (Ambassadors). Jadi walaupun tugas Duta Besar telah selesai perwakilan tetap dibuka dan diganti dengan Duta Besar yang baru. Jadi hubungan antar negara pengirim dan negara penerima tetap terjalin dan kerjasama kedua negara tetap berjalan.

Perwakilan diplomatik yang tetap (Resident Ambassador) mulai berkembang di City-States Italia pada abad ke 15 seperti di Genoa, Florence dan Milan yang juga memiliki Resident Ambassador di luar Italia seperti di Spanyol dan Inggris mulai tahun 1490-an. Venesia yang juga memiliki perwakilan tetap di luar Italia yaitu di Perancis mulai tahun 1478.

Menurut Boer Mauna, negara dalam hubungannya satu sama lain mengirim utusannya untuk berunding dengan negara lain dalam rangka memperjuangkan dan mengamankan kepentingannya masing-masing disamping mengupayakan terwujudnya kepentingan bersama. Pembukaan dan pemeliharaan hubungan diplomasi dengan negara lain atas dasar kesamaan hak merupakan manifestasi nyata dari kedaulatan suatu negara. Sebagai entitas yang merdeka dan berdaulat, negara-negara saling mengirim wakilnya ke ibu kota negara lain, merundingkan hal-hal yang merupakan kepentingan bersama, mengembangkan hubungan, mencegah kesalahpahaman ataupun menghindari terjadinya sengketa.

Perjanjian Internasional yang mengatur mengenai hubungan diplomatik antar negara adalah Konvensi Wina tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatik dengan Prtokol Tambahan-nya tentang Perolehan Kewarganegaraan dan Keharusan Menyelesaikan Sengketa. Dalam Konvensi tersebut diatur hal-hal mengenai tata cara melaksanakan hubungan diplomatik, seperti pembentukan perwakilan diplomatik, perlindungan bagi para utusan perwakilan diplomatik, hak dan kewajiban negara pengirim serta negara penerima, dan sebagainya. Terkait dengan pelaksanaan hubungan diplomatik penulis teratrik untuk membahas masalah mengenai praktik pelaksanaan misi diplomatik dan hak legasi serta klasifikasi kepangkatan pejabat diplomatik.













1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dan untuk memfokuskan makalah ini, maka permasalahn di rumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana tugas pada misi diplomatik berdasarkan Konvensi Wina 1961?
2. Bagaimana hubungan antara hak legasi (right of legation) dan pembukaan hubungan diplomatik ?
3. Bagaimana peraturan mengenai pengangkatan kepala misi diplomatik dan struktur kepangkatan pejabat perwakilan diplomatik berdasarkan Konvensi Wina 1961?

1.3. Tujuan Penulisan
1. Untuk menjelaskan tugas pada misi diplomatik berdasarkan Konvensi Wina 1961.
2. Untuk menjelaskan hubungan antara hak legasi (right of legation) dan pembukaan hubungan diplomatik.
3. Untuk menjelaskan peraturan pengangkatan kepala misi diplomatik dan struktur kepangkatan pejabat perwakilan diplomatik berdasarkan Konvensi Wina 1961.












BAB 2
PEMBAHASAN
2.1. Tugas Pada Misi Diplomatik Berdasarkan Konvensi Wina 1961
Seorang utusan perwakilan atau Duta Besar yang diutus oleh Kepala Negara tentu memiliki tugas dan tujuan dari penugasan tersebut. Pengangkatan seorang diplomat menjadi duta atau wakil dari negara pengirim kepada negara penerima tidak hanya mengangkat begitu saja. Kepala Negara dari negara pengirim akan melihat kepribadian dan latar belakang dari calon duta tersebut karena seorang duta besar merupakan cerminan representasi dari negara pengirim dan juga karena negara penerima tentu tidak akan begitu saja menerima utusan yang di pilih oleh negara pengirim, jangan sampai hubungan diplomatik antar negara pengirim dan negara penerima terganggu karena utusan yang di pilih oleh negara pengirim terkena persona non grata dari negara penerima.

Tugas atau fungsi dari pelaksanaan misi diplomatik atau tugas bagi utusan wakil diplomatik secara konvensional yaitu melakukan negosiasi dengan negara penerima terkait dengan kepentingan kedua negara, melakukan pengamatan atas kebijakan-kebijakan nasional maupun internasional yang dikeluarkan oleh negara penerima yang terkait dengan kepentingan negaranya dan melaporkannya kepada negara yang diwakilinya, serta mengembangkan hubungan yang baik antara negara pengirim dan negara penerima.

Tugas untuk misi diplomatik juga diuraikan oleh para penulis diplomatic handbook, seperti Genet dan Oppenheim. Mereka menguraikan bahwa terdapat tiga fungsi yang berisfat konvensional bagi suatu misi dpilomatik yaitu melindungi kepentingan dari negara pengirim, negosiasi dan pengamatan. Satow dalam buku Diplomatic Practice mengatakan bahwa fungsi dari misi diplomatik adalah untuk mewakili negara pengirim, melindungi kepentingan dan warga negara, melakukan negosiasi dengan negara yang diakreditasikan, melaporkan berbagai informasi kepada negara pengirim mengenai hal-hal yang penting, dan untuk mengembangkan hubungan yang baik secara umum antara kedua negara. Kemudian semua fungsi-fungsi tadi harus diiringi dengan usaha yang terus dikembangkan sesuai dengan instruksi yang diterima, kerjasama sangat penting untuk kedua pemerintah dalam hal perdagangan, keuangan, ekonomi, perburuhan, penelitian ilmu pengetahuan dan pertahanan.

Merujuk kepada Pasal 3 Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik 1961, dijelaskan bahwa fungsi dari misi diplomatik terdiri atas 5 fungsi yaitu:
1. Mewakili negara pengirim di negara penerima;
2. Melindungi kepentingan negara dan para warga negara sendiri di negara penerima;
3. Menyelenggarakan perundingan dengan pihak pemerintah dari negara penerima
4. Mengenal, mengamati dan menilai situasi negara penerima dan melaporkannya kepada pemerintah dari negara pengirim;
5. Mengembangkan hubungan baik antara negara pengirim dan negara penerima, dan mengembangkan ekonomi kedua negara, kebudayaan dan ilmu pengetahuan.

Berdasarkan uraian fungsi dari misi diplomatik dalam Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik 1961 dapat ditarik kesimpulan bahwa tugas bagi para wakil diplomatik yang diberi kepercayaan untuk menjalankan misi diplomatik sangatlah beragam. Sebelum dunia berkembang, tugas dair misi diplomatik hanya terkait dengan negosiasi, pengamatan kebijakan dan melindungi kepentingan negara, namun seiring perkembangan dunia dan lahirnya negara-negara baru serta terbentuknya Konvensi Wina 1961 maka tugas bagi utusan diplomatik untuk misi diplomatik semakin kompleks pula. Seperti melindungi warga negara dari negara pengirim dan kepentingan negaranya serta mengembangkan hubungan baik antara kedua negara.

2.1.1. Mulai Berfungsinya Misi Diplomatik
Secara umum, biasanya para utusan diplomatik mulai bertugas setelah diterima oleh Kepala Negara dari negara penerima dan menyerahkan surat kepercayaan dari Kepala Negara dari negara pengirim. Berdasarkan penjelasan pada Pasal 16 ayat 1 Konvensi Wina 1961, kepala misi diplomatik dianggap mulai melaksanakan fungsinya dapat ditentukan dengan 2 hal, yaitu:
1. Pada saat penyerahan surat kepercayaan (letter of credence) kepala negara dalam suatu upacara penerimaan resmi;
2. Pada saat ia memberitahukan kedatangannya di negara penerima sambil menyerahkan salinan surat keprcayaan yang sesuai dengan asilnya kepada kementerian luar negeri negara penerima atau kementerian lain yang ditunjuk.
2.1.2. Berakhirnya Misi Diplomatik
Setiap tugas diplomatik yang diakreditasikan kepada seorang utusan diplomatik biasanya memiliki batas waktu atau tidak selamanya dipegang oleh utusan diplomatik tersebut. Berbeda dengan seorang diplomat tidak tetap (ad hoc) yang bersifat sementara artinya fungsi diplomatiknya berakhir pada saat tugas yang dilaksanakannya telah tercapai atau berdasar pada ketentuan dari full power yang dimiliki diplomat yang bersangkutan, selain itu bisa pula karena kegaiatan yang diikutinya telah berakhir.

Berdasarkan Pasal 43 Kovensi Wina 1961 bahwa terdapat dua sebab berakhirnya fungsi diplomatik tetap (permanen), yaitu :
1. Atas pemberitahuan negara pengirim pada negara penerima bahwa fungsi agen politik yang dikirim pada negara penerima telah berakhir;
2. Atas pemberitahuan negara penerima kepada negara pengirim bahwa negara penerima menolak mengakui agen diplomatik yang dikirim oleh negara pengirim sebagai anggota misi diplomatik (persona non grata).

Terdapat beberapa hal yang menjadi penyebab berakhirnya misi diplomatik selain penjelasan dari Konvensi Wina 1961 yaitu penyebab yang telah menjadi hukum kebiasaan negara-negara di dunia, yakni :
1. Wakil diplomatik berhenti menjadi wakil dari negara pengirim, wakil diplomatik meninggal dunia, habis masa baktinya, mengundurkan diri dari jabatan diplomatik, ditarik oleh negaranya.
2. Pejabat utama pemegang pemerintahan negara pengirim mengalami perubahan atau susunan ketatanegaraan negara pengirim mengalami perubahan yang mendasar.
3. Negara penerima dan /atau negara pengirim musnah.
4. Negara penerima dan negara pengirim terlibat dalam konflik bersenjata (peperangan).

2.2. Hubungan antara Hak Legasi (Right Of Legation) dan Pembukaan Hubungan Diplomatik
Hak legasi atau right of legation (Ius Legationis) adalah hak keterwakilan. Hak keterwakilan atau hak legasi ini ada dua, yaitu hak legasi aktif yang mempunyai pengertian hak suatu negara untuk mengakreditasi wakilnya ke negara lain dan hak legasi pasif, yaitu kewajiban untuk menerima wakil-wakil dari negara lainnya. Menurut Grotius dalam bukunya De Iure Belli ac Pacis bahwa hak legasi adalah atribut dari kedaulatan negara. Hak leagasi ini diakui dalam Konvensi Havana 1928 dalam Pasal 1. Namun seiring dengan perkembangan zaman dan praktik negara-negara, maka hak legasi ini mulai berangsur-angsur ditinggalkan. Hukum internasional juga mengatur bahwa suatu negara tidak diharuskan untuk membuka hubungan diplomatik dengan negara lain, dan juga tidak ada keharusan untuk menerima misi diplomatik dari negara asing. Demikian juga suatu negara tidak mempunyai hak untuk meminta negara lain menerima wakil-wakilnya. Penerapan hak legasi juga bertentangan dengan hak negara penerima untuk mengenakan persona non grata bagi pejabat diplomatik yang tidak disukainya yang diakreditasikan oleh negara pengirim.

Pasal 2 Konvensi Wina 1961 menegaskan bahwa pembukaan hubungan diplomatik antara negara-negara dan pembukaan perwakilan tetap diplomatik dilakukan atas dasar saling kesepakatan. Kesepakatan ini biasanya diumumkan dalam bentuk resmi seperti komunike bersama, perjanjian persahabatan, dan lain-lain.

Kesepakatan pembukaan hubungan diplomatik dan pembukaan perwakilan tetap diplomatik merupakan suatu hal yang berbeda dalam hubungan diplomatik dan dalam hukum internasional. Suatu negara dapat saja memiliki hubungan diplomatik tetapi tidak diikuti dengan pembukaan perwakilan tetap. Contohnya antara Indonesia dan Taiwan, dimana Indonesia memiliki hubungan diplomatik dalam hal perdagangan dengn Taiwan namun tidak memiliki perwakilan tetap diantara kedua negara karena bila Indonesia membuka perwakilan diplomatik tetap maka Cina akan memutuskan hubungan dipomatik dengan Indonesia. Di Indonesia pembukaan hubungan diplomatik dan perwakilan tetap ditetapkan dengan Keputusan Presiden berdasarkan peraturan dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 Tentang Hubungan Luar Negeri.

2.3. Pengangkatan Kepala Misi Diplomatik dan Struktur Kepangkatan Pejabat Perwakilan Diplomatik Berdasarkan Konvensi Wina 1961
2.3.1. Pengangkatan Kepala Misi Diplomatik Berdasarkan Konvensi Wina 1961
Pengangkatan Kepala misi diplomatik beserta anggota misi diplomatik pada praktiknya diiringi dengan penentuan syarat-syarat karena seorang perwakilan diplomatik harus memiliki kepribadian yang baik dan tidak pernah terakit dengan tindakan pelanggaran hukum sebab negara penerima akan melihat cerminan negara pengirim melalui pejabat diplomatik yang diakreditasikan kepada negaranya.
Sesuai dengan Pasal 7 Konvensi Wina 1961, negara pengirim dapat dengan bebas mengangkat anggota-anggota staf perwakilan. Ketentuan pasal ini merupakan penekanan terhadap prinsip umum bahwa pengangkatan staf perwakilan kecuali duta besar tidak memerlukan persetujuan negara penerima. Pengangkatan seorang duta besar biasanya silakukan atas nama kepala negara. Calon-calon duta besar diajukan oleh menteri luar negeri kepada kepala negara untuk mendapatkan persetujuannya. Cara pemilihan calon-calon tidak selalu sama sesuai dengan bergantung pada sistem dan praktik yang berlaku di suatu negara, dapat juga terjadi calon ditentukan oleh kabinet atau hanya kementerian luar negeri saja setelah memperhatikan berbagai faktor. Berdasarkan pasal 29 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 seorang Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh adalah pejabat negara yang diangakat dan diberhentikan oleh presiden selaku kepala negara.

2.3.2. Struktur Kepangkatan Pejabat Perwakilan Diplomatik
Meskipun dalam Konvensi Wina 1961 tidak mengatur mengenai penggolongan Pangkat bagi pejabat diplomatik namun dalam praktik atau kebiasaan yang berkembang di negara-negara penggolongan atau klasifikasi kepangkatan pejabat diplomatik telah diatur dan menjadi hal yang penting dalam menjalankan tugas karena untuk melihat kewenangan masing-masing pejabat diplomatik. Berikut adalah urutan penggolongan pangkat bagi para pejabat diplomatik :
1. Duta Besar
2. Minister
3. Minister Counsellor
4. Counsellor
5. Sekretaris Pertama
6. Sekretaris Kedua
7. Sekretaris Ketiga
8. Atase

Namun mengenai klasifikasi dalam perwakilan diplomatik, Pasal 14 Konvensi Wina 1961 membagi Kepala Misi Diplomatik menjadi 3 klasifikasi yaitu :
1. Duta-duta Besar dan para Utusan (Ambassadors and Legates) yang diangkat oleh Kepala Negara
Tingkatan ini adalah tingkatan paling tinggi di dalam perwakilan diplolmatik. Di tempat mana duta besar diakreditasikan, maka ia mempunyai kedudukan lebih tinggi dari duta-duta. Duta besar mewakili kepala negaranya, memberikan perlindungan terhadap kepentingan dan nama baik negaranya. Duta besar biasanya dikirim oleh negara besar yang sebaliknya juga menerima duta besar di negaranya. Duta besar dapat langsung bernegosiasi dengan kepala negara, sedangkan perwakilan diplomatik lainnya, melalui perantaraan menteri luar negeri.

2. Menteri Berkuasa Penuh dan Duta Luar Biasa (Minister Plenipotentiary and Envoys Extraordinary) yang diangkat oleh Kepala Negara
Duta istimewa dan Menteri Berkuasa Penuh lebih tepat dikatakan Duta Biasa, mempunyai kedudukan yang dapat disamakan dengan Internuntius dari Vatikan. Praktiknya pun tidak banyak berbeda dengan ambassador atau duta besar.

3. Kuasa Usaha (Charge d’affaires) yang diangkat oleh Menteri Luar Negeri
Kuasa Usaha untuk sementara dapat memimpin kedutaan, apabila dutanya sedang tidak berada pada posnya. Seorang kuasa usaha dapat diangkat untuk satu negara saja (charges d’affaires en pied). Kuasa usaha juga dapat mempunyai kedudukan lebih dari satu kota, karena kuasa usaha ditugaskan untuk negara-negara itu.
Kuasa Usaha dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu :
1. Kuasa Usaha Tetap (Charge d’Affaires en pied)
2. Kuasa Usaha Sementara (Charge d’ Affaires ad interim)




BAB 3
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1. Berdasarkan uraian fungsi dari misi diplomatik dalam Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik 1961 dapat ditarik kesimpulan bahwa tugas bagi para wakil diplomatik yang diberi kepercayaan untuk menjalankan misi diplomatik sangatlah beragam. Sebelum dunia berkembang, tugas dair misi diplomatik hanya terkait dengan negosiasi, pengamatan kebijakan dan melindungi kepentingan negara, namun seiring perkembangan dunia dan lahirnya negara-negara baru serta terbentuknya Konvensi Wina 1961 maka tugas bagi utusan diplomatik untuk misi diplomatik semakin kompleks pula. Seperti melindungi warga negara dari negara pengirim dan kepentingan negaranya serta mengembangkan hubungan baik antara kedua negara.
2. Hak legasi atau right of legation (Ius Legationis) adalah hak keterwakilan. Hak keterwakilan atau hak legasi ini ada dua, yaitu hak legasi aktif yang mempunyai pengertian hak suatu negara untuk mengakreditasi wakilnya ke negara lain dan hak legasi pasif, yaitu kewajiban untuk menerima wakil-wakil dari negara lainnya. Hukum internasional mengatur bahwa suatu negara tidak diharuskan untuk membuka hubungan diplomatik dengan negara lain, dan juga tidak ada keharusan untuk menerima misi diplomatik dari negara asing. Demikian juga suatu negara tidak mempunyai hak untuk meminta negara lain menerima wakil-wakilnya. Penerapan hak legasi juga bertentangan dengan hak negara penerima untuk mengenakan persona non grata bagi pejabat diplomatik yang tidak disukainya yang diakreditasikan oleh negara pengirim.
3. Sesuai dengan Pasal 7 Konvensi Wina 1961, negara pengirim dapat dengan bebas mengangkat anggota-anggota staf perwakilan. Ketentuan pasal ini merupakan penekanan terhadap prinsip umum bahwa pengangkatan staf perwakilan kecuali duta besar tidak memerlukan persetujuan negara penerima. Pengangkatan seorang duta besar biasanya silakukan atas nama kepala negara. Calon-calon duta besar diajukan oleh menteri luar negeri kepada kepala negara untuk mendapatkan persetujuannya.

DAFTAR PUSTAKA
Literatur
Boer Mauna. 2005. Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. Alumni. Bandung
Budiono Kusumohamidjojo, -----, Hubungan Internasional, Binacipta, Bandung
Eileen Denza. 1998. Diplomatic Law, Commentary on the Vienna Convention on Diplomatic Relation. Oxford University Press. New York
John M Echols, Hassan Shadily.2003. Kamus Inggris-Indonesia. Gramedia. Jakarta
Sumaryo Suryokusumo. 2004. Praktik Diplomasi. Penerbit STIH IBLAM. Jakarta
--------------------------.2005. Hukum Diplomatik, Teori dan Kasus.Alumni. Bandung
Widodo. 2009. Hukum Diplomatik dan Konsuler. Laksabang Justitia. Surabaya

Undang-Undang
Vienna Convention on Diplomatic Relations and Optional Protocol 1961

Tidak ada komentar: