Minggu, 29 Agustus 2010

ANALISIS KASUS THE TABION V . MUFTI (FILIPINA V. YORDANIA) TERKAIT KEKEBALAN BAGI PEJABAT DIPOMATIK BERDASARKAN KONVENSI WINA 1961

PENDAHULUAN
Pelaksanaan tugas-tugas dari misi diplomatik yang dibebankan kepada seorang pejabat diplomatik di negara penerima akan selalu diiringi dengan pemberian kekebalan (imunitas). Hal ini bertujuan untuk memudahkan pelaksanaan tugas-tugas diplomasi yang diberikan kepada pejabat diplomatik sehingga tugas-tugasnya dapat berhasil dilaksanakan. Kekebalan (imunitas) diberikan hanya untuk hal-hal yang terkait dengan pelaksanaan tugas diplomasi. Pemberian kekebalan (imunitas) dalam Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik dapat dikategori dalam beberapa hal yaitu:
1. Kekebalan diri pribadi (pasal 29 dan 37 ayat 1)
2. Kekebalan yurisdiksional (pasal 31 ayat 1 dan 2, pasal 41 ayat 1 Junctis
Pasal 9)
3. Kekebalan dari kewajiban untuk menjadi saksi (pasal 31 ayat 2)
4. Kekebalan kantor perwakilan dan tempat kediaman (pasal 22, pasal 30 ayat 1)
5. Kekebalan korespondensi (pasal 27)
6. Kekebalan dan keistimewaan diplomatik di negara ketiga (pasal 40 ayat 1)
7. Penanggalan kekebalan diplomatik (pasal 32)
8. Pembebasan terhadap pajak dan bea cukai/ bea masuk (pasal 34 dan 36)
Pada praktiknya, untuk melaksanakan tugas-tugas diplomasi tidak dapat dihindarkan dari permasalahan, pada umumnya permasalahan terjadi karena kepentingan-kepentingan yang saling berbenturan antara para pihak. Berdasarkan teori, terdapat 3 landasan hukum pemberian keistimewaan dan kekebalan bagi pejabat diplomatik di negara tempat bertugas, yaitu:
1. Teori Eksterritorialitas (Exterritoriality Theory)
Bahwa seorang pejabat diplomatik dianggap seolah-olah tidak meninggalkan negaranya, ia berada di luar wilayah negara penerima, walaupun kenyataannya ia sudah jelas berada di luar negeri dan sedang menjalankan tugas-tugasnya.
2. Teori Representatif
Karena fungsi dari pejabat diplomatik adalah mewakili negara pengirim dan kepala negaranya maka dalam kapasitas itulah pejabat dan perwakilan diplomatik asing menikmati hak-hak istimewa dan kekebalan. Memberikan hak istimewa dan kekebalan berarti menghormati negara pengirim, kebesaran dan kedaulatan dan kepala negaranya.
3. Teori Kebutuhan Fungsional (Functional Necessity Theory)
Didasarkan bahwa pemberian hak istimewa dan kekebalan merupakan suatu kebutuhan-kebutuhan fungsional agar para pejabat diplomatik dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan lancar. Dengan memberikan tekanan pada kepentingan fungsi, terbuka jalan bagi pembatasan hak-hak istimewa dan kekebalan sehingga dapat diciptakan keseimbangan antara kebutuhan negara pengirim dan hak-hak negara penerima. Teori ini menjadi ketentuan dalam Konvensi Wina 1961.
Terkait dengan kekebalan dalam tugas-tugas diplomasi, maka penulisan karya ilmiah ini akan menganalisis mengenai kasus Tabion v. Mufti yang merupakan suatu kasus pemberian kekebalan diplomatik dimana melibatkan warga negara Filipina dan Yordania di Amerika Serikat.

KETENTUAN DALAM KONVENSI WINA 1961 YANG MENGATUR MENGENAI KASUS TABION V. MUFTI (FILIPINA V. YORDANIA)
Kasus ini berawal dari gugatan yang diajukan oleh seorang warga negara Filipina bernama Corazon Tabion, yang merupakan pembantu rumah tangga bagi pasangan suami istri Yordania, Faris dan Lana Mufti. Faris Mufti adalah seorang pejabat konsuler Yordania untuk Distrik TS Ellis Amerika Serikat. Gugatan diajukan Tabion pada bulan Februari tahun 1996 ke Pengadilan Distrik TS Ellis Amerika Serikat. Tabion melaporkan bahwa selama dua tahun ia bekerja bagi keluarga Mufti dengan hanya dibayar sekitar $ 50 per minggu selama lebih dari 60 jam kerja.
Mufti menyatakan bahwa ia dan istrinya tidak dapat digugat karena ia memiliki kekebalan diplomatik sebagai seorang pejabat diplomatik, sehingga pengadilan Distrik TS Ellis Amerika Serikat mengentikan proses kasus ini. Namun kemudian pengacara dari Tabion membawa kasus ini ke Pengadilan Banding Amerika Serikat, yang kemudian menyatakan bahwa kontrak kerja antara warga negara Filipina tersebut dengan seorang diplomat mengenai pemberian pelayanan domestik dan bantuan tidak terkait dengan pengecualian penghapusan kekebalan, berdasarkan Pasal 31 (1) Bagian C mengenai Kekebalan dari Kekuasaan Hukum, Konvensi Wina 1961, menyatakan bahwa:
Pejabat diplomatik harus kebal dari kekuasaan hukum pidana negara penerima. Ia juga kebal dari kekuasaaan hukum perdata dan acara, kecuali dalam hal:
a) Suatu tindakan nyata yang berhubungan dengan harta milik pribadi tidak bergerak yang terletak di wilayah negara penerima, kecuali harta milik tersebut ia kuasai atas nama negara pengirim untuk keperluan perwakilan;
b) Suatu tindakan yang berhubungan dengan suksesi, dimana pejabat diplomatik tersebut terlibat sebagai penyita, penguasa, pewaris atau ahli waris sebagai perorangan dan tidak atas nama negara pengirim;
c) Suatu tindakan yang berhubungan dengan setiap kegiatan profesi dan niaga yang dilakukan oleh pejabat diplomatik di negara penerima diluar kedudukan resminya.
Berdasarkan ketentuan diatas maka perbuatan yang dilakukan oleh diplomat tersebut dilindungi oleh kekebalan diplomatik sehingga tidak dapat digugat secara hukum. Karena pengadilan banding mendasarkan kegiatan dari kontrak kerja tidak termasuk dalam kegiatan profesi dan niaga, pada pasal 31 (1) bagian c Konvensi Wina 1961. Sementara itu, Denza dalam bukunya Diplomatic Law menjelaskan bahwa:
“Ordinary contracts incidental to live in the receiving State, such as purchase goods, medical, legal or educational services or agreements to rent accommodation do not constitute “commercial activities.”
Pernyataan Denza dapat dijelaskan bahwa kontrak biasa yang merupakan pembayaran langsung untuk hidup di negara penerima, seperti pembelian barang-barang, obat-obatan, layanan pendidikan atau hukum atau perjanjian sewa-menyewa akomodasi tidak termasuk dalam kegiatan niaga. (terjemahan lepas)
Departemen Dalam Negeri Amerika Serkat memberikan pernyataan bahwa:
“Commercial activities focuses on the pursuit of trade or business activity; it does not encompass contractual relationship for goods and services incidental to the daily life of the diplomat and family in the receiving States.”
Berarti bahwa kegiatan niaga bertujuan untuk aktivitas bisnis dan perdagangan; itu tidak terkait dengan hubungan kontrak barang-barang dan layanan insidental untuk kebutuhan hidup diplomat dan keluarga di negara penerima. (terjemahan lepas).
Maka dari itu berdasarkan penjelasan diatas maka kontrak kerja dan pelayanan yang diberikan oleh Tabion bagi seorang diplomat tidak terkait dengan penghapusan kekebalan karena pelayanan dan bantuan yang diberikan Tabion termasuk dalam kegiatan yang memudahkan pelaksanaan tugas-tugas diplomatik pejabat diplomatik dan juga tidak terkait dengan kegiatan niaga dalam Konvensi Wina, hukum kebiasaaan menginterpretasikan kegiatan niaga adalah kegiatan yang terkait dengan aktivitas bisnis dan perdagangan bukan kontrak kerja.













DAFTAR PUSTAKA

Literatur
Eileen Denza. 2002. Diplomatic Law, Commentary on the Vienna Convention on Diplomatic Relation. Oxford University Press. New York
John M Echols, Hassan Shadily.2003. Kamus Inggris-Indonesia. Gramedia. Jakarta
Sumaryo Suryokusumo. 2004. Praktik Diplomasi. Penerbit STIH IBLAM. Jakarta
Syahmin, AK. 2008. Hukum Diplomatik, Dalam Kerangka Studi Analisis. Rajawali Pers. Jakarta

Undang-Undang
Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik 1961

Website
Honey Martha, Capital Slaves, http://www.washingtoncitypaper.com/articles/6480/capital-slaves. [12 Mei 1995]
Jacob Wolf, It's Just been Revoked, http://lawlib.wlu.edu/works/612-1.pdf&ei
Martina E. Vandenberg, Testimony of Martina E. Vandenberg http://judiciary.senate.gov/hearings/testimony.cfm?id=2613&wit_id=6203.
[26 Maret 2007]

Tidak ada komentar: