In this world we have to keep loving each other for make the peacfull, don't make fighting.
Sabtu, 25 Desember 2010
ANALISIS TUGAS DAN PENGANGKATAN PADA MISI DIPLOMATIK SERTA HAK LEGASI DALAM HUBUNGAN DIPLOMATIK BERDASARKAN KONVENSI WINA 1961
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Praktik pengiriman duta atau utusan perwakilan telah dilaksanakan sejak bentuk negara belum lahir dan sistem kekuasaan masih berbentuk kerajaan dimana yang menjadi utusan adalah para keluarga raja, kaisar atau keturunan bangsawan saja. Para bangsa Romawi dan Yunani-lah yang mengenal pertama kali praktik pengiriman duta untuk membangun kerjasama atau menyampaikan pesan dari penguasa. Sedangkan pengiriman duta ke negara asing juga sudah dikenal di Indonesia dan negara-negara Asia, serta Arab sejak sebelum negara-negara barat mengetahuinya. Bangsa India kuno telah mengenal istilah duta bagi seseorang yang mewakili kerajaan untuk menyampaikan pesan-pesan bagi kerajaan lain. Kemudian pada abad ke 16 di Eropa masalah pengiriman dan penempatan duta telah diatur menurut hukum kebiasaan yang kemudian dikodifikasikan pada tahun 1815 melalui Kongres Wina yang dihadiri oleh Raja-Raja Eropa, kodifikasi tersebut menghasilkan The Final Act of the Congress of Vienna on Diplomatic Ranks.
Tujuan dari pengiriman utusan atau perwakilan diplomatik pada dasarnya untuk membangun hubungan negara yang baik sehingga dapat terjalin kerjasama yang dapat menguntungkan keduabelah pihak. Agar tujuan tersebut dapat tercapai maka harus dilaksanakan melalui diplomasi. Pengertian diplomasi menurut salah satu ahli Hukum Internasional, Sumaro Suryokusumo yaitu :
Diplomasi merupakan suatu cara komunikasi yang dilakukan antara berbagai pihak termasuk negosiasi antara wakil-wakil yang sudah diakui. Praktik-praktik negara semacam itu sudah melembaga sejak dahulu dan kemudian menjelma sebagai aturan-aturan hukum internasional.
Diplomasi telah menjadi satu bagian yang sangat penting dalam kehidupan negara dan merupakan sarana utama guna menangani masalah-masalah internasional agar dapat dicapai suatu perdamaian dunia. Dengan sarana diplomasi itu pemerintah menjalankannya dalam rangka mencapai tujuannya dan mendapatkan dukungan dari prinsip-prinsip yang dianutnya. Diplomasi yang merupakan proses politik itu terutama dimaksudkan untuk memelihara kebijakan luar negeri suatu pemerintah dalam mempengaruhi kebijakan dan sikap pemerintah negara lainnya.
Perkembangan dunia pada abad ke 20 turut berpengaruh terhadap hubungan diplomasi dan praktik pengiriman duta. Sebelumnya, pada masa dimana dunia masih berbentuk kerajaan dan belum mengenal bentuk negara para utusan perwakilan diplomatik hanya diutus secara sementara kemudian setelah tugas mereka selesai dilaksanakan maka mereka kembali lagi ke wilayahnya. Praktik seperti itu tentu tidak efisien dan efektif untuk menjalin kerjasama karena suatu kerjasama dibutuhkan proses negosiasi atau pertemuan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, setelah dunia mengenal bentuk negara dan telah lahir negara-negara didunia khususnya dibagian Benua Eropa maka pada saat itu berkembang prinsip hukum internasional dalam berdiplomasi. Salah satu perkembangannya, yaitu terbentuk praktik pengiriman duta atau utusan perwakilan dengan bentuk perwakilan tetap dan istilah bagi utusan diplomatik disebut dengan Duta Besar (Ambassadors). Jadi walaupun tugas Duta Besar telah selesai perwakilan tetap dibuka dan diganti dengan Duta Besar yang baru. Jadi hubungan antar negara pengirim dan negara penerima tetap terjalin dan kerjasama kedua negara tetap berjalan.
Perwakilan diplomatik yang tetap (Resident Ambassador) mulai berkembang di City-States Italia pada abad ke 15 seperti di Genoa, Florence dan Milan yang juga memiliki Resident Ambassador di luar Italia seperti di Spanyol dan Inggris mulai tahun 1490-an. Venesia yang juga memiliki perwakilan tetap di luar Italia yaitu di Perancis mulai tahun 1478.
Menurut Boer Mauna, negara dalam hubungannya satu sama lain mengirim utusannya untuk berunding dengan negara lain dalam rangka memperjuangkan dan mengamankan kepentingannya masing-masing disamping mengupayakan terwujudnya kepentingan bersama. Pembukaan dan pemeliharaan hubungan diplomasi dengan negara lain atas dasar kesamaan hak merupakan manifestasi nyata dari kedaulatan suatu negara. Sebagai entitas yang merdeka dan berdaulat, negara-negara saling mengirim wakilnya ke ibu kota negara lain, merundingkan hal-hal yang merupakan kepentingan bersama, mengembangkan hubungan, mencegah kesalahpahaman ataupun menghindari terjadinya sengketa.
Perjanjian Internasional yang mengatur mengenai hubungan diplomatik antar negara adalah Konvensi Wina tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatik dengan Prtokol Tambahan-nya tentang Perolehan Kewarganegaraan dan Keharusan Menyelesaikan Sengketa. Dalam Konvensi tersebut diatur hal-hal mengenai tata cara melaksanakan hubungan diplomatik, seperti pembentukan perwakilan diplomatik, perlindungan bagi para utusan perwakilan diplomatik, hak dan kewajiban negara pengirim serta negara penerima, dan sebagainya. Terkait dengan pelaksanaan hubungan diplomatik penulis teratrik untuk membahas masalah mengenai praktik pelaksanaan misi diplomatik dan hak legasi serta klasifikasi kepangkatan pejabat diplomatik.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dan untuk memfokuskan makalah ini, maka permasalahn di rumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana tugas pada misi diplomatik berdasarkan Konvensi Wina 1961?
2. Bagaimana hubungan antara hak legasi (right of legation) dan pembukaan hubungan diplomatik ?
3. Bagaimana peraturan mengenai pengangkatan kepala misi diplomatik dan struktur kepangkatan pejabat perwakilan diplomatik berdasarkan Konvensi Wina 1961?
1.3. Tujuan Penulisan
1. Untuk menjelaskan tugas pada misi diplomatik berdasarkan Konvensi Wina 1961.
2. Untuk menjelaskan hubungan antara hak legasi (right of legation) dan pembukaan hubungan diplomatik.
3. Untuk menjelaskan peraturan pengangkatan kepala misi diplomatik dan struktur kepangkatan pejabat perwakilan diplomatik berdasarkan Konvensi Wina 1961.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1. Tugas Pada Misi Diplomatik Berdasarkan Konvensi Wina 1961
Seorang utusan perwakilan atau Duta Besar yang diutus oleh Kepala Negara tentu memiliki tugas dan tujuan dari penugasan tersebut. Pengangkatan seorang diplomat menjadi duta atau wakil dari negara pengirim kepada negara penerima tidak hanya mengangkat begitu saja. Kepala Negara dari negara pengirim akan melihat kepribadian dan latar belakang dari calon duta tersebut karena seorang duta besar merupakan cerminan representasi dari negara pengirim dan juga karena negara penerima tentu tidak akan begitu saja menerima utusan yang di pilih oleh negara pengirim, jangan sampai hubungan diplomatik antar negara pengirim dan negara penerima terganggu karena utusan yang di pilih oleh negara pengirim terkena persona non grata dari negara penerima.
Tugas atau fungsi dari pelaksanaan misi diplomatik atau tugas bagi utusan wakil diplomatik secara konvensional yaitu melakukan negosiasi dengan negara penerima terkait dengan kepentingan kedua negara, melakukan pengamatan atas kebijakan-kebijakan nasional maupun internasional yang dikeluarkan oleh negara penerima yang terkait dengan kepentingan negaranya dan melaporkannya kepada negara yang diwakilinya, serta mengembangkan hubungan yang baik antara negara pengirim dan negara penerima.
Tugas untuk misi diplomatik juga diuraikan oleh para penulis diplomatic handbook, seperti Genet dan Oppenheim. Mereka menguraikan bahwa terdapat tiga fungsi yang berisfat konvensional bagi suatu misi dpilomatik yaitu melindungi kepentingan dari negara pengirim, negosiasi dan pengamatan. Satow dalam buku Diplomatic Practice mengatakan bahwa fungsi dari misi diplomatik adalah untuk mewakili negara pengirim, melindungi kepentingan dan warga negara, melakukan negosiasi dengan negara yang diakreditasikan, melaporkan berbagai informasi kepada negara pengirim mengenai hal-hal yang penting, dan untuk mengembangkan hubungan yang baik secara umum antara kedua negara. Kemudian semua fungsi-fungsi tadi harus diiringi dengan usaha yang terus dikembangkan sesuai dengan instruksi yang diterima, kerjasama sangat penting untuk kedua pemerintah dalam hal perdagangan, keuangan, ekonomi, perburuhan, penelitian ilmu pengetahuan dan pertahanan.
Merujuk kepada Pasal 3 Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik 1961, dijelaskan bahwa fungsi dari misi diplomatik terdiri atas 5 fungsi yaitu:
1. Mewakili negara pengirim di negara penerima;
2. Melindungi kepentingan negara dan para warga negara sendiri di negara penerima;
3. Menyelenggarakan perundingan dengan pihak pemerintah dari negara penerima
4. Mengenal, mengamati dan menilai situasi negara penerima dan melaporkannya kepada pemerintah dari negara pengirim;
5. Mengembangkan hubungan baik antara negara pengirim dan negara penerima, dan mengembangkan ekonomi kedua negara, kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Berdasarkan uraian fungsi dari misi diplomatik dalam Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik 1961 dapat ditarik kesimpulan bahwa tugas bagi para wakil diplomatik yang diberi kepercayaan untuk menjalankan misi diplomatik sangatlah beragam. Sebelum dunia berkembang, tugas dair misi diplomatik hanya terkait dengan negosiasi, pengamatan kebijakan dan melindungi kepentingan negara, namun seiring perkembangan dunia dan lahirnya negara-negara baru serta terbentuknya Konvensi Wina 1961 maka tugas bagi utusan diplomatik untuk misi diplomatik semakin kompleks pula. Seperti melindungi warga negara dari negara pengirim dan kepentingan negaranya serta mengembangkan hubungan baik antara kedua negara.
2.1.1. Mulai Berfungsinya Misi Diplomatik
Secara umum, biasanya para utusan diplomatik mulai bertugas setelah diterima oleh Kepala Negara dari negara penerima dan menyerahkan surat kepercayaan dari Kepala Negara dari negara pengirim. Berdasarkan penjelasan pada Pasal 16 ayat 1 Konvensi Wina 1961, kepala misi diplomatik dianggap mulai melaksanakan fungsinya dapat ditentukan dengan 2 hal, yaitu:
1. Pada saat penyerahan surat kepercayaan (letter of credence) kepala negara dalam suatu upacara penerimaan resmi;
2. Pada saat ia memberitahukan kedatangannya di negara penerima sambil menyerahkan salinan surat keprcayaan yang sesuai dengan asilnya kepada kementerian luar negeri negara penerima atau kementerian lain yang ditunjuk.
2.1.2. Berakhirnya Misi Diplomatik
Setiap tugas diplomatik yang diakreditasikan kepada seorang utusan diplomatik biasanya memiliki batas waktu atau tidak selamanya dipegang oleh utusan diplomatik tersebut. Berbeda dengan seorang diplomat tidak tetap (ad hoc) yang bersifat sementara artinya fungsi diplomatiknya berakhir pada saat tugas yang dilaksanakannya telah tercapai atau berdasar pada ketentuan dari full power yang dimiliki diplomat yang bersangkutan, selain itu bisa pula karena kegaiatan yang diikutinya telah berakhir.
Berdasarkan Pasal 43 Kovensi Wina 1961 bahwa terdapat dua sebab berakhirnya fungsi diplomatik tetap (permanen), yaitu :
1. Atas pemberitahuan negara pengirim pada negara penerima bahwa fungsi agen politik yang dikirim pada negara penerima telah berakhir;
2. Atas pemberitahuan negara penerima kepada negara pengirim bahwa negara penerima menolak mengakui agen diplomatik yang dikirim oleh negara pengirim sebagai anggota misi diplomatik (persona non grata).
Terdapat beberapa hal yang menjadi penyebab berakhirnya misi diplomatik selain penjelasan dari Konvensi Wina 1961 yaitu penyebab yang telah menjadi hukum kebiasaan negara-negara di dunia, yakni :
1. Wakil diplomatik berhenti menjadi wakil dari negara pengirim, wakil diplomatik meninggal dunia, habis masa baktinya, mengundurkan diri dari jabatan diplomatik, ditarik oleh negaranya.
2. Pejabat utama pemegang pemerintahan negara pengirim mengalami perubahan atau susunan ketatanegaraan negara pengirim mengalami perubahan yang mendasar.
3. Negara penerima dan /atau negara pengirim musnah.
4. Negara penerima dan negara pengirim terlibat dalam konflik bersenjata (peperangan).
2.2. Hubungan antara Hak Legasi (Right Of Legation) dan Pembukaan Hubungan Diplomatik
Hak legasi atau right of legation (Ius Legationis) adalah hak keterwakilan. Hak keterwakilan atau hak legasi ini ada dua, yaitu hak legasi aktif yang mempunyai pengertian hak suatu negara untuk mengakreditasi wakilnya ke negara lain dan hak legasi pasif, yaitu kewajiban untuk menerima wakil-wakil dari negara lainnya. Menurut Grotius dalam bukunya De Iure Belli ac Pacis bahwa hak legasi adalah atribut dari kedaulatan negara. Hak leagasi ini diakui dalam Konvensi Havana 1928 dalam Pasal 1. Namun seiring dengan perkembangan zaman dan praktik negara-negara, maka hak legasi ini mulai berangsur-angsur ditinggalkan. Hukum internasional juga mengatur bahwa suatu negara tidak diharuskan untuk membuka hubungan diplomatik dengan negara lain, dan juga tidak ada keharusan untuk menerima misi diplomatik dari negara asing. Demikian juga suatu negara tidak mempunyai hak untuk meminta negara lain menerima wakil-wakilnya. Penerapan hak legasi juga bertentangan dengan hak negara penerima untuk mengenakan persona non grata bagi pejabat diplomatik yang tidak disukainya yang diakreditasikan oleh negara pengirim.
Pasal 2 Konvensi Wina 1961 menegaskan bahwa pembukaan hubungan diplomatik antara negara-negara dan pembukaan perwakilan tetap diplomatik dilakukan atas dasar saling kesepakatan. Kesepakatan ini biasanya diumumkan dalam bentuk resmi seperti komunike bersama, perjanjian persahabatan, dan lain-lain.
Kesepakatan pembukaan hubungan diplomatik dan pembukaan perwakilan tetap diplomatik merupakan suatu hal yang berbeda dalam hubungan diplomatik dan dalam hukum internasional. Suatu negara dapat saja memiliki hubungan diplomatik tetapi tidak diikuti dengan pembukaan perwakilan tetap. Contohnya antara Indonesia dan Taiwan, dimana Indonesia memiliki hubungan diplomatik dalam hal perdagangan dengn Taiwan namun tidak memiliki perwakilan tetap diantara kedua negara karena bila Indonesia membuka perwakilan diplomatik tetap maka Cina akan memutuskan hubungan dipomatik dengan Indonesia. Di Indonesia pembukaan hubungan diplomatik dan perwakilan tetap ditetapkan dengan Keputusan Presiden berdasarkan peraturan dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 Tentang Hubungan Luar Negeri.
2.3. Pengangkatan Kepala Misi Diplomatik dan Struktur Kepangkatan Pejabat Perwakilan Diplomatik Berdasarkan Konvensi Wina 1961
2.3.1. Pengangkatan Kepala Misi Diplomatik Berdasarkan Konvensi Wina 1961
Pengangkatan Kepala misi diplomatik beserta anggota misi diplomatik pada praktiknya diiringi dengan penentuan syarat-syarat karena seorang perwakilan diplomatik harus memiliki kepribadian yang baik dan tidak pernah terakit dengan tindakan pelanggaran hukum sebab negara penerima akan melihat cerminan negara pengirim melalui pejabat diplomatik yang diakreditasikan kepada negaranya.
Sesuai dengan Pasal 7 Konvensi Wina 1961, negara pengirim dapat dengan bebas mengangkat anggota-anggota staf perwakilan. Ketentuan pasal ini merupakan penekanan terhadap prinsip umum bahwa pengangkatan staf perwakilan kecuali duta besar tidak memerlukan persetujuan negara penerima. Pengangkatan seorang duta besar biasanya silakukan atas nama kepala negara. Calon-calon duta besar diajukan oleh menteri luar negeri kepada kepala negara untuk mendapatkan persetujuannya. Cara pemilihan calon-calon tidak selalu sama sesuai dengan bergantung pada sistem dan praktik yang berlaku di suatu negara, dapat juga terjadi calon ditentukan oleh kabinet atau hanya kementerian luar negeri saja setelah memperhatikan berbagai faktor. Berdasarkan pasal 29 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 seorang Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh adalah pejabat negara yang diangakat dan diberhentikan oleh presiden selaku kepala negara.
2.3.2. Struktur Kepangkatan Pejabat Perwakilan Diplomatik
Meskipun dalam Konvensi Wina 1961 tidak mengatur mengenai penggolongan Pangkat bagi pejabat diplomatik namun dalam praktik atau kebiasaan yang berkembang di negara-negara penggolongan atau klasifikasi kepangkatan pejabat diplomatik telah diatur dan menjadi hal yang penting dalam menjalankan tugas karena untuk melihat kewenangan masing-masing pejabat diplomatik. Berikut adalah urutan penggolongan pangkat bagi para pejabat diplomatik :
1. Duta Besar
2. Minister
3. Minister Counsellor
4. Counsellor
5. Sekretaris Pertama
6. Sekretaris Kedua
7. Sekretaris Ketiga
8. Atase
Namun mengenai klasifikasi dalam perwakilan diplomatik, Pasal 14 Konvensi Wina 1961 membagi Kepala Misi Diplomatik menjadi 3 klasifikasi yaitu :
1. Duta-duta Besar dan para Utusan (Ambassadors and Legates) yang diangkat oleh Kepala Negara
Tingkatan ini adalah tingkatan paling tinggi di dalam perwakilan diplolmatik. Di tempat mana duta besar diakreditasikan, maka ia mempunyai kedudukan lebih tinggi dari duta-duta. Duta besar mewakili kepala negaranya, memberikan perlindungan terhadap kepentingan dan nama baik negaranya. Duta besar biasanya dikirim oleh negara besar yang sebaliknya juga menerima duta besar di negaranya. Duta besar dapat langsung bernegosiasi dengan kepala negara, sedangkan perwakilan diplomatik lainnya, melalui perantaraan menteri luar negeri.
2. Menteri Berkuasa Penuh dan Duta Luar Biasa (Minister Plenipotentiary and Envoys Extraordinary) yang diangkat oleh Kepala Negara
Duta istimewa dan Menteri Berkuasa Penuh lebih tepat dikatakan Duta Biasa, mempunyai kedudukan yang dapat disamakan dengan Internuntius dari Vatikan. Praktiknya pun tidak banyak berbeda dengan ambassador atau duta besar.
3. Kuasa Usaha (Charge d’affaires) yang diangkat oleh Menteri Luar Negeri
Kuasa Usaha untuk sementara dapat memimpin kedutaan, apabila dutanya sedang tidak berada pada posnya. Seorang kuasa usaha dapat diangkat untuk satu negara saja (charges d’affaires en pied). Kuasa usaha juga dapat mempunyai kedudukan lebih dari satu kota, karena kuasa usaha ditugaskan untuk negara-negara itu.
Kuasa Usaha dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu :
1. Kuasa Usaha Tetap (Charge d’Affaires en pied)
2. Kuasa Usaha Sementara (Charge d’ Affaires ad interim)
BAB 3
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1. Berdasarkan uraian fungsi dari misi diplomatik dalam Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik 1961 dapat ditarik kesimpulan bahwa tugas bagi para wakil diplomatik yang diberi kepercayaan untuk menjalankan misi diplomatik sangatlah beragam. Sebelum dunia berkembang, tugas dair misi diplomatik hanya terkait dengan negosiasi, pengamatan kebijakan dan melindungi kepentingan negara, namun seiring perkembangan dunia dan lahirnya negara-negara baru serta terbentuknya Konvensi Wina 1961 maka tugas bagi utusan diplomatik untuk misi diplomatik semakin kompleks pula. Seperti melindungi warga negara dari negara pengirim dan kepentingan negaranya serta mengembangkan hubungan baik antara kedua negara.
2. Hak legasi atau right of legation (Ius Legationis) adalah hak keterwakilan. Hak keterwakilan atau hak legasi ini ada dua, yaitu hak legasi aktif yang mempunyai pengertian hak suatu negara untuk mengakreditasi wakilnya ke negara lain dan hak legasi pasif, yaitu kewajiban untuk menerima wakil-wakil dari negara lainnya. Hukum internasional mengatur bahwa suatu negara tidak diharuskan untuk membuka hubungan diplomatik dengan negara lain, dan juga tidak ada keharusan untuk menerima misi diplomatik dari negara asing. Demikian juga suatu negara tidak mempunyai hak untuk meminta negara lain menerima wakil-wakilnya. Penerapan hak legasi juga bertentangan dengan hak negara penerima untuk mengenakan persona non grata bagi pejabat diplomatik yang tidak disukainya yang diakreditasikan oleh negara pengirim.
3. Sesuai dengan Pasal 7 Konvensi Wina 1961, negara pengirim dapat dengan bebas mengangkat anggota-anggota staf perwakilan. Ketentuan pasal ini merupakan penekanan terhadap prinsip umum bahwa pengangkatan staf perwakilan kecuali duta besar tidak memerlukan persetujuan negara penerima. Pengangkatan seorang duta besar biasanya silakukan atas nama kepala negara. Calon-calon duta besar diajukan oleh menteri luar negeri kepada kepala negara untuk mendapatkan persetujuannya.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur
Boer Mauna. 2005. Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. Alumni. Bandung
Budiono Kusumohamidjojo, -----, Hubungan Internasional, Binacipta, Bandung
Eileen Denza. 1998. Diplomatic Law, Commentary on the Vienna Convention on Diplomatic Relation. Oxford University Press. New York
John M Echols, Hassan Shadily.2003. Kamus Inggris-Indonesia. Gramedia. Jakarta
Sumaryo Suryokusumo. 2004. Praktik Diplomasi. Penerbit STIH IBLAM. Jakarta
--------------------------.2005. Hukum Diplomatik, Teori dan Kasus.Alumni. Bandung
Widodo. 2009. Hukum Diplomatik dan Konsuler. Laksabang Justitia. Surabaya
Undang-Undang
Vienna Convention on Diplomatic Relations and Optional Protocol 1961
Minggu, 29 Agustus 2010
ANALISIS KASUS THE TABION V . MUFTI (FILIPINA V. YORDANIA) TERKAIT KEKEBALAN BAGI PEJABAT DIPOMATIK BERDASARKAN KONVENSI WINA 1961
Pelaksanaan tugas-tugas dari misi diplomatik yang dibebankan kepada seorang pejabat diplomatik di negara penerima akan selalu diiringi dengan pemberian kekebalan (imunitas). Hal ini bertujuan untuk memudahkan pelaksanaan tugas-tugas diplomasi yang diberikan kepada pejabat diplomatik sehingga tugas-tugasnya dapat berhasil dilaksanakan. Kekebalan (imunitas) diberikan hanya untuk hal-hal yang terkait dengan pelaksanaan tugas diplomasi. Pemberian kekebalan (imunitas) dalam Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik dapat dikategori dalam beberapa hal yaitu:
1. Kekebalan diri pribadi (pasal 29 dan 37 ayat 1)
2. Kekebalan yurisdiksional (pasal 31 ayat 1 dan 2, pasal 41 ayat 1 Junctis
Pasal 9)
3. Kekebalan dari kewajiban untuk menjadi saksi (pasal 31 ayat 2)
4. Kekebalan kantor perwakilan dan tempat kediaman (pasal 22, pasal 30 ayat 1)
5. Kekebalan korespondensi (pasal 27)
6. Kekebalan dan keistimewaan diplomatik di negara ketiga (pasal 40 ayat 1)
7. Penanggalan kekebalan diplomatik (pasal 32)
8. Pembebasan terhadap pajak dan bea cukai/ bea masuk (pasal 34 dan 36)
Pada praktiknya, untuk melaksanakan tugas-tugas diplomasi tidak dapat dihindarkan dari permasalahan, pada umumnya permasalahan terjadi karena kepentingan-kepentingan yang saling berbenturan antara para pihak. Berdasarkan teori, terdapat 3 landasan hukum pemberian keistimewaan dan kekebalan bagi pejabat diplomatik di negara tempat bertugas, yaitu:
1. Teori Eksterritorialitas (Exterritoriality Theory)
Bahwa seorang pejabat diplomatik dianggap seolah-olah tidak meninggalkan negaranya, ia berada di luar wilayah negara penerima, walaupun kenyataannya ia sudah jelas berada di luar negeri dan sedang menjalankan tugas-tugasnya.
2. Teori Representatif
Karena fungsi dari pejabat diplomatik adalah mewakili negara pengirim dan kepala negaranya maka dalam kapasitas itulah pejabat dan perwakilan diplomatik asing menikmati hak-hak istimewa dan kekebalan. Memberikan hak istimewa dan kekebalan berarti menghormati negara pengirim, kebesaran dan kedaulatan dan kepala negaranya.
3. Teori Kebutuhan Fungsional (Functional Necessity Theory)
Didasarkan bahwa pemberian hak istimewa dan kekebalan merupakan suatu kebutuhan-kebutuhan fungsional agar para pejabat diplomatik dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan lancar. Dengan memberikan tekanan pada kepentingan fungsi, terbuka jalan bagi pembatasan hak-hak istimewa dan kekebalan sehingga dapat diciptakan keseimbangan antara kebutuhan negara pengirim dan hak-hak negara penerima. Teori ini menjadi ketentuan dalam Konvensi Wina 1961.
Terkait dengan kekebalan dalam tugas-tugas diplomasi, maka penulisan karya ilmiah ini akan menganalisis mengenai kasus Tabion v. Mufti yang merupakan suatu kasus pemberian kekebalan diplomatik dimana melibatkan warga negara Filipina dan Yordania di Amerika Serikat.
KETENTUAN DALAM KONVENSI WINA 1961 YANG MENGATUR MENGENAI KASUS TABION V. MUFTI (FILIPINA V. YORDANIA)
Kasus ini berawal dari gugatan yang diajukan oleh seorang warga negara Filipina bernama Corazon Tabion, yang merupakan pembantu rumah tangga bagi pasangan suami istri Yordania, Faris dan Lana Mufti. Faris Mufti adalah seorang pejabat konsuler Yordania untuk Distrik TS Ellis Amerika Serikat. Gugatan diajukan Tabion pada bulan Februari tahun 1996 ke Pengadilan Distrik TS Ellis Amerika Serikat. Tabion melaporkan bahwa selama dua tahun ia bekerja bagi keluarga Mufti dengan hanya dibayar sekitar $ 50 per minggu selama lebih dari 60 jam kerja.
Mufti menyatakan bahwa ia dan istrinya tidak dapat digugat karena ia memiliki kekebalan diplomatik sebagai seorang pejabat diplomatik, sehingga pengadilan Distrik TS Ellis Amerika Serikat mengentikan proses kasus ini. Namun kemudian pengacara dari Tabion membawa kasus ini ke Pengadilan Banding Amerika Serikat, yang kemudian menyatakan bahwa kontrak kerja antara warga negara Filipina tersebut dengan seorang diplomat mengenai pemberian pelayanan domestik dan bantuan tidak terkait dengan pengecualian penghapusan kekebalan, berdasarkan Pasal 31 (1) Bagian C mengenai Kekebalan dari Kekuasaan Hukum, Konvensi Wina 1961, menyatakan bahwa:
Pejabat diplomatik harus kebal dari kekuasaan hukum pidana negara penerima. Ia juga kebal dari kekuasaaan hukum perdata dan acara, kecuali dalam hal:
a) Suatu tindakan nyata yang berhubungan dengan harta milik pribadi tidak bergerak yang terletak di wilayah negara penerima, kecuali harta milik tersebut ia kuasai atas nama negara pengirim untuk keperluan perwakilan;
b) Suatu tindakan yang berhubungan dengan suksesi, dimana pejabat diplomatik tersebut terlibat sebagai penyita, penguasa, pewaris atau ahli waris sebagai perorangan dan tidak atas nama negara pengirim;
c) Suatu tindakan yang berhubungan dengan setiap kegiatan profesi dan niaga yang dilakukan oleh pejabat diplomatik di negara penerima diluar kedudukan resminya.
Berdasarkan ketentuan diatas maka perbuatan yang dilakukan oleh diplomat tersebut dilindungi oleh kekebalan diplomatik sehingga tidak dapat digugat secara hukum. Karena pengadilan banding mendasarkan kegiatan dari kontrak kerja tidak termasuk dalam kegiatan profesi dan niaga, pada pasal 31 (1) bagian c Konvensi Wina 1961. Sementara itu, Denza dalam bukunya Diplomatic Law menjelaskan bahwa:
“Ordinary contracts incidental to live in the receiving State, such as purchase goods, medical, legal or educational services or agreements to rent accommodation do not constitute “commercial activities.”
Pernyataan Denza dapat dijelaskan bahwa kontrak biasa yang merupakan pembayaran langsung untuk hidup di negara penerima, seperti pembelian barang-barang, obat-obatan, layanan pendidikan atau hukum atau perjanjian sewa-menyewa akomodasi tidak termasuk dalam kegiatan niaga. (terjemahan lepas)
Departemen Dalam Negeri Amerika Serkat memberikan pernyataan bahwa:
“Commercial activities focuses on the pursuit of trade or business activity; it does not encompass contractual relationship for goods and services incidental to the daily life of the diplomat and family in the receiving States.”
Berarti bahwa kegiatan niaga bertujuan untuk aktivitas bisnis dan perdagangan; itu tidak terkait dengan hubungan kontrak barang-barang dan layanan insidental untuk kebutuhan hidup diplomat dan keluarga di negara penerima. (terjemahan lepas).
Maka dari itu berdasarkan penjelasan diatas maka kontrak kerja dan pelayanan yang diberikan oleh Tabion bagi seorang diplomat tidak terkait dengan penghapusan kekebalan karena pelayanan dan bantuan yang diberikan Tabion termasuk dalam kegiatan yang memudahkan pelaksanaan tugas-tugas diplomatik pejabat diplomatik dan juga tidak terkait dengan kegiatan niaga dalam Konvensi Wina, hukum kebiasaaan menginterpretasikan kegiatan niaga adalah kegiatan yang terkait dengan aktivitas bisnis dan perdagangan bukan kontrak kerja.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur
Eileen Denza. 2002. Diplomatic Law, Commentary on the Vienna Convention on Diplomatic Relation. Oxford University Press. New York
John M Echols, Hassan Shadily.2003. Kamus Inggris-Indonesia. Gramedia. Jakarta
Sumaryo Suryokusumo. 2004. Praktik Diplomasi. Penerbit STIH IBLAM. Jakarta
Syahmin, AK. 2008. Hukum Diplomatik, Dalam Kerangka Studi Analisis. Rajawali Pers. Jakarta
Undang-Undang
Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik 1961
Website
Honey Martha, Capital Slaves, http://www.washingtoncitypaper.com/articles/6480/capital-slaves. [12 Mei 1995]
Jacob Wolf, It's Just been Revoked, http://lawlib.wlu.edu/works/612-1.pdf&ei
Martina E. Vandenberg, Testimony of Martina E. Vandenberg http://judiciary.senate.gov/hearings/testimony.cfm?id=2613&wit_id=6203.
[26 Maret 2007]
Selasa, 28 April 2009
RINGKASAN Metode Pendekatan Dua Tahap (Two-Stage Approach)Sebagai Upaya Penyelesaian Batas Laut Teritorial Indonesia dan Timor Leste
RINGKASAN
“Metode Pendekatan Dua Tahap (Two-Stage Approach)Sebagai Upaya Penyelesaian Batas Laut Teritorial Indonesia dan Timor Leste”Karya Minarti, Okky Nur Irmanita dan Andi Kurniawati dibawah bimbingan
Prof. Dr. Alma Manuputty, SH., MH.
Disintegerasi Timor Leste pada tanggal 20 Mei 2002 dari Negara Kesatuan Republik Indonesia menimbulkan konsekuensi yuridis karena sebagai negara baru, Timor Leste dihadapkan pada kewajiban internasional, salah satunya adalah penetapan perbatasan antara negara yang berseberangan (opposite) wilayah lautnya atau yang berdampingan (adjacent) dalam satu daratan. Adapun salah satu negara yang wilayah darat dan lautnya berbatasan dengan Timor Leste adalah Indonesia. Penentuan batas laut teritorial Indonesia dengan Timor Leste merupakan hal yang rumit untuk diselesaikan, sebab wilayah Timor Leste terdiri atas dua bagian, yaitu Oekussi-Ambeno di bagian barat yang dilewati oleh Selat Ombai dengan lebar laut 48 mil serta Timor-Timur di bagian timur yang dilewati oleh Selat Wetar, dengan lebar laut 35 mil, kedua bagian wilayah tersebut dipisahkan oleh wilayah darat dan wilayah laut Indonesia. Sedangkan dibagian selatan perairan Timor Leste terdapat Laut Timor. Berdasarkan latar belakang di atas dan untuk memfokuskan penulisan ini, maka permasalahan dirumuskan sebagai berikut : Bagaimana urgensi dan dampak dari penentuan batas laut teritorial antara Indonesia-Timor Leste Dan Bagaimana prinsip delimitasi laut teritorial Indonesia-Timor Leste di Selat Ombai dan Selat Wetar melalui metode pendekatan dua tahap (two-stage approach). Untuk mnenjelaskan urgensi dan dampak dari penentuan batas laut teritorial antara Indonesia-Timor Leste dan menjelaskan prinsip delimitasi laut teritorial Indonesia-Timor Leste di Selat Ombai dan Selat Wetar melalui metode pendekatan dua tahap (two-stage approach).
Landasan teori yang menjadi dasar dalam karya tulis ini adalah, pengertian laut teritorial menurut Pasal 2 Konvensi Hukum Laut Internasional (KHLI) 1982, Pengertian Pendekatan Dua Tahap (Two-Stage Approach),macam-macam metode delemitasi batas laut teritorial, pengertian titik pangkal (titik dasar) dan garis pangkal, faktor yang mempengaruhi delimitasi batas maritim.
Teknik penulisan dalam karya tulis ini adalah metode deskriptif. Metode ini digunakan untuk menjelaskan penentuan titik dasar dan garis pangkal serta metode delimitasi laut territorial Indonesia-Timor Leste di Selat Ombai dan Selat Wetar serta urgensi dan dampak dari penentuan tersebut. Dari analisis yang dilakukan dibuat suatu solusi berupa saran. Sedangkan Sistematika Penulisannya adalah Bab 1 pendahuluan, yang menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan. Bab 2 membahas mengenai pengertian-pengertian dasar, pendapat para pakar, dan materi-materi terkait yang berasal dari literatur yang ada. Bab 3 metode penulisan, menguraikan teknik penulisan, sistematika penulisan, teknik pengumpulan dan pengolahan data. Bab 4 Pembahasan, berisi analisis masalah berdasarkan data dan telaah pustaka yang diuraikan secara runtut. Bab 5 Penutup, memaparkan kesimpulan dan saran yang diselaraskan dengan kerangka pemikiran sebelumnya. Mengenai teknik pengumpulan dan pengolahan data, Penulis menggunakan teknik pengumpulan data dengan metode penelitian kepustakaan (library reseach), buku-buku, jurnal-jurnal ilmiah, media massa, dan situs-situs internet yang sesuai dengan masalah yang dibahas. Data yang diperoleh disebut data sekunder, diolah dengan teknik content analysis untuk menghasilkan kesimpulan.
Pembahasan dalam karya tulis ini terbagi atas dua, yaitu urgensi dan dampak dari penentuan batas laut teritorial Indonesia dan Timor Leste. Pentingnya kejelasan batas maritim sangat berkaitan dengan keamanan, transportasi, dan pengelolaan sumber daya laut, serta penyeimbangan antara hak dan kewajiban negara pantai yang bersangkutan selain itu penentuan batas maritim menjadi salah satu cara yang efektif bagi negara baru untuk menegaskan kedaulatan, kekuasaan hukum, dan legitimasi negara tersebut, dan mengurangi zona pertampalan (tumpang tindih) klaim maritim yang berpotensial menimbulkan konflik antar negara tetangga. Perbatasan Indonesia dan Timor Leste memiliki peluang timbulnya konflik jika pemerintah kedua negara tidak berinisiatif untuk bernegosiasi dan membuat perjanjian mengenai perbatasan, khusunya batas maritim bagian Selat Wetar dan Selat Ombai karena letak geografis dan pengaruh pulau-pulau kecil menyebabkan sulitnya penentuan batas laut sehingga menyebabkan timbulnya klaim-kalim batas maritim yang saling tumpang tindih, terkecuali Laut Timor yang sudah jelas penentuan garis pangkalnya karena posisi geografisnya yang tidak terlalu rumit.
Dampak Penentuan Batas Laut Teritorial Indonesia-Timor Leste dipastikan akan ada kejelasan batas-batas laut teritorial kedua negara khususnya di Selat Ombai dan Selat Wetar yang cukup rumit untuk ditentukan, serta untuk mewujudkan rasa aman bagi masyarakat disekitar perbatasan sehingga akhirnya dapat terwujud suatu hubungan sosial yang baik dan perekonomian yang maju melalui pemanfaatan sumber daya laut disekitar perairan selain itu kerja sama dan hubungan bilteral kedua negara pasti akan berjalan dengan baik sehingga konflik-konflik perbatasan yang dikhawatirkan tidak akan muncul, maka cita-cita dalam Pasal 1 Piagam PBB untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional dapat tercapai yang akhirnya dapat menaikan wibawa Negara Kesatuan Republik Indonesia.Dalam hal prinsip delimitasi batas laut teritorial antara dua negara atau lebih yang berseberangan, praktik negara menunjukkan bahwa garis tengah, yang merupakan garis sama jarak dari titik-titik terdekat dua negara telah diterima sebagai garis batas maritim. Dalam kasus dua atau lebih negara yang berdampingan yaitu digunakannya prinsip sama jarak yang merupakan perpanjangan garis batas darat di pantai. Meski demikian adanya beberapa unsur lepas pantai seperti pulau-pulau besar dan kecil dapat mengakibatkan dipilihnya metode lain menurut kesepakatan. Berdasarkan metode–metode delimitasi yang dijelasakan dalam telaah pustaka maka metode yang sesuai dengan letak geografis wilayah yang akan dijadikan perbatasan Indonesia dan Timor Leste adalah metode sama jarak yang menghasilkan garis tengah (equidistan line/median line) dimodifikasi (modified equidistant) namun agar metode tersebut dapat direalisasikan maka harus ada negosiasasi atau perundingan di kedua belah pihak. Pemerintah Indonesia wajib menegosiasikannya ke forum bilateral, karena berada di forum negosiasi hampir semua faktor bisa dikemukan sebab inti dari delimitasi adalah dicapainya solusi yang adil (equitable solution) dan dapat diterima kedua belah pihak melalui kesepakatan, sepanjang salah satu pihak bisa meyakinkan pihak lain, inilah yang disebut dengan metode pendekatan dua tahap (two-stage approach).
Adapun saran yang penulis rekomendasikan berdasarkan pembahsan yang ada antara lain:
1. Memprioritaskan penyelesaian batas maritim dengan melakukan perundingan secara komprehensif, terkoordinasi dengan mekanisme lebih sederhana dan bisa diterima kedua pihak menyangkut batas laut teritorial antara pemerintah Indonesia-Timor Leste untuk menjamin kedaulatan dan menghindari ketidakjelasaan batas negara.
2. Meratifikasi perjanjian batas darat Indonesia-Timor Leste kedalam bentuk undang-undang agar terdapat kekuatan hukum untuk mewadahi penentuan batas laut teritorial kedua negara sebab batas laut pada dasarnya merupakan perpanjangan dari batas darat.
3. Pemerintah membentuk komisi khusus yang bertugas mengurus kejelasan batas maritim kedua negara dengan meninjau lokasi perairan yang akan dijadikan perbatasan secara periodik sehingga bisa ditentukan metode delimitasi yang sesuai dengan keadaan geografis wilayah tersebut.
4. Pemerintah Indonesia dan Timor Leste melakukan konsultasi ditingkat masyarakat untuk mengakomodsi aspirasi masyarakat di sekitar perbatasan yang akan secara langsung meraskan dampak adanya batas maritim tersebut.
5. Meninjau kembali titk-titik koordinat dan garis-garis pangkal laut serta menyesuaikannya dengan ketentuan dalam Konvensi Hukum Laut Internasional (KHLI) 1982 tentang laut wilayah dan negara kepulauan.
6. Mendepositkan peta-peta dan titik-titik koordinat dari garis-garis batas tersebut kepada Persatuan Bangsa- Bangsa (PBB) sesuai dengan pasal 16 (2) KHLI 1982.
STUDI KASUS I CONGRESO DEL PARTIDO (KUBA VS. CHILI)
DALAM PRESPEKTIF IMUNITAS TERBATAS (RESTRICTIVE IMMUNITY)
TUGAS HUKUM INTERNASIONAL
DISUSUN OLEH :
MINARTI (B11107165)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2009
Studi Kasus I Congreso Del Partido
Dalam Prespektif Imunitas Terbatas (Restrictive Immunity)
Menganalisis kasus diatas dapat menimbulkan pertanyaan yaitu mengenai imunitas negara dalam pengadilan asing, khususnya dalam konteks apakah imunitas terbatas (restrictive immunity) berlaku dalam kasus tersebut.
Berdasarkan teori imunitas negara, terdapat dua doktrin imunitas yaitu imunitas mutlak (absolut immuity) dan imunitas terbatas (restrictive immunity). Imunitas mutlak berkembang pada abad ke-18 dimana negara sepenuhnya kebal atau memilki kekebalan penuh dari yurisdiksi negara lain dalam semua perkara tanpa melihat dan memperhatikan adanya keadaan-keadaan tertentu. Namun timbul masalah ketika negara mulai masuk ke dalam kegiatan-kegiatan komersial sehingga banyak negara melakukan modifikasi terhadap prinsip imunitas mutlak. Adanya sejumlah badan-badan pemerintah dan perusahaan-perusahaan negara, industri-industri yang dinasionalisasi serta organ-organ negara lainnya merupakan reaksi terhadap prinsip imunitas mutlak, sebagian disebabkan karena hal seperti ini memungkinkan perusahaan negara (state enterprises) untuk mendapat keuntungan melebihi perusahaan swasta. Dari masalah ini lahirlah prinsip imunitas terbatas (restrictive immunity) yang pertama kali dipraktekan di negara Eropa pada tahun 1982 dan sampai sekarang hampir seluruh negara sosialis telah menganut doktrin ini. Doktrin imunitas terbatas ( restrictive immunity) adalah imunitas yang tetap mengakui atau memberikan kekebalan apabila menyangkut kegiatan pemerintahan (governmental activity), tetapi apabila negara melakukan kegiatan komersial (commercial activity) maka kekebalan tersebut tidak dapat diberikan. Tindakan pemerintah yang dilakukan untuk kepentingan publik dan membuat kekebalan tetap diberikan disebut dengan istilah acts jure imperii, sementara tindakan pemerintah yang berkaitan dengan komersial disebut dengan istilah acts jure gestionis.
Minggu, 15 Maret 2009
Imunitas (Immunity) mengecualikan dan membebaskan mereka dari penerapan atau pelaksanaan yurisdiksi territorial Negara setempat sehingga disebut juga pengecualian atau pembebasan dari azas yurisdiksi territorial (exemption from territorial jurisdiction).
=è State immunity atau souvereign immunity (melekat pada Negara, Kepala Negara, Kepala Pemerintahan (termasuk pejabat tinggi Negara atau pemerintahan). Azas-azas yang melandasi Souvereign Immunity : 1) Par in parem non habet imperium (suatu Negara berdaulat tidak dapat mdenjalankan kedaulatan terhadap Negara berdaulat lain; 2) Azas Resiprositas atau azas timbal balik (Reciprocity principle); Kasus Sultan Johor pada abad 19 : Pengadilan Inggeris menyatakan tidak berwenang untuk mengadili Sultan Johor yang digugat oleh seorang wanita Inggeris karena tergugat adalah seorang Sultan atau Raja atau Kepala Negara (memiliki kekebalan kedaulatan atau kekebalan sebagai kepala Negara) : a) Kerajaan Inggeris mengakui kerajaan Malaka sebagai Negara berdaulat (Par in parem non habet imperium); b) Raja Malaka (termasuk Sultan Johor) serta keluarganya menikmati kekebalan ketika berada di negeri Inggeris, sebagaimana halnya Raja Inggeris serta keluarganya menikmati kekebalan di negeri Malaka (Azas Resiprositas). Kasus Sultan Johor adalah kasus kekebalan dari yurisdiksi territorial yang menyangkut kekebalan dari proses hukum di Negara setempat.
=èNamun kekebalan dari yurisdiksi territorial tidak hanya menyangkut kekebalan dari proses hukum setempat, tetapi juga kekebalan dari eksekusi keputusan pengadilan setempat (harta kekayaan/ asset Negara asing tidak bisa disita atau dieksekusi oleh aparat hukum Negara setempat). Kasus klasik yang dapat menjelaskan hubungan antara yurisdiksi territorial dan kekebalan kedaulatan adalah the Schooner Exchange v. Mc Faddon yang diputuskan oleh the US Supreme Court. Chief Justice Marshall menyatakan bahwa yurisdiksi suatu Negara di dalam wilayahnya sendiri bersifat eksklusif dan mutlak, tetapi tidak mencakup Negara asing (foreign sovereigns). Dia menyatakan bahwa kesamaan penuh (perfect equality) dan kemerdekaan mutlak (absolute independence) Negara-negara menimbulkankan sekumpulan kasus-kasus di mana setiap Negara berdaulat dianggap melepaskan pelaksanaan sebagian yurisdiksi territorial yang penuh dan eksklusif yang dinyatakan sebagai atribut setiap Negara. Dengan demikian kapal perang yang memasuki pelabuhan dari Negara sahabat, harus dianggap dikecualikan atau dibebaskan dari yurisdiksi negara sahabat. Aturan-aturan ini tidak akan berlaku pada kapal swasta (private ships) yang mudah tunduk pada yurisdiksi Negara lain ketika berada di luar negeri.
=è Pada abad 18 dan 19, berlaku konsep kekebalan mutlak (absolute immunity) di mana Negara sepenuhnya kebal atau memiliki kekebalan penuh dari yurisdiksi Negara lain dalam semua perkara tanpa melihat dan memperhatikan adanya keadaan-keadaan tertentu. Namun timbul masalah ketika Negara mulai terjun dalam kegiatan-kegiatan komersial sehingga banyak Negara melakukan modifikasi terhadap prinsip kekebalan mutlak. Adanya sejumlah badan-badan pemerintah dan perusahaan-perusahaan negara, industri-industri yang dinasionalisasi serta organ-organ negara lainnya merupakan reaksi terhadap prinsip kekebalan mutlak, sebagian disebabkan karena hal seperti ini memungkinkan perusahaan Negara (state enterprises) untuk mendapat keuntungan melebihi perusahaan swasta. Dengan demikian banyak Negara mulai menganut doktrin kekebalan terbatas (the restrictive immunity) yang tetap mengakui atau memberikan kekebalan apabila menyangkut kegiatan pemerintahan (governmental activity), tetapi apabila Negara melakukan kegiatan komersial (commercial activity) maka kekebalan tersebut tidak dapat diberikan. Tindakan pemerintah yang dilakukan demi untuk kepentingan public dan membuat kekebalan tetap diberikan disebut dengan istilah acts jure imperii, sementara tindakan pemerintah yang berkaitan dengan komersial disebut dengan istilah acts jure gestionis.
Negara yang pada waktu tertentu menerapkan prinsip kekebalan absolute adalah Inggeris (United Kingdom), hal ini terbukti dalam sejumlah kasus penting, seperti the Parlement Belge Case. Dalam kasus ini the Court of Appeal menekankan bahwa prinsip yang dapat ditarik dari semua kasus sebelumnya adalah bahwa setiap Negara melalui pengadilan menolak menjalankan yurisdiksi teritorialnya terhadap pribadi dari setiap penguasa atau Duta Besar dari setiap Negara lain ataupun terhadap harta kekayaan dari setiap Negara yang digunakan bagi kepentingan public… meskipun pribadi penguasa, duta besar ataupun harta kekayaan itu berada di dalam yurisdiksi atau kekuasaan hukumnya. Contoh paling ekstrim mengenai doktrin kekebalan absolute adalah kasus Porto Alexandre. Sebuah kapal Portugis yang diambilalih berdasarkan surat perintah yang dikeluarkan oleh pengadilan Inggeris karena tidak membayar yuran atas pelayanan kapal penyeret (tug) dekat Liverpool. Kapal ini semata-mata melakukan private trading operations atau kegiatan dagang, tetapi pengadilan merasa terpaksa atas syarat-syarat dari prinsip the Parlement Belge untuk menolak kasus itu mengingat adanya kepentingan pemerintah Portugis.
=èDalam kasus Duff Development Company v. Kelantan
=è Sejumlah negara ternyata mulai mengadopsi pendekatan imunitas yang bersifat terbatas dengan memperkenankan adanya yurisdiksi terhadap tindakan-tindakan yang non-sovereign pada tahap yang relatif awal. Mahkamah Agung Austria pada tahun 1950 dalam sebuah survei yang bersifat komprehensif atas praktek negara- negara mengenai kekebalan terbatas berkesimpulan bahwa mengingat meningkatnya kegiatan negara-negara dalam bida ng komersial, maka doktrin klasik tentang kekebalan mutlak kehilangan maknanya dan tidak lagi menjadi kaidah hukum internasional. Pada tahun 1952 di dalam Tate letter, Departemen Luar Negeri AS menyatakan bahwa meningkatnya keterlibatan pemerintah dalam kegiatan komersial seiring dengan berubahnya pandangan negara-negara asing terhadap absolute immunity berkontribusi terhadap perlunya sebuah perubahan dan bahwa Deplu AS akan mengikuti teori kekebalan kedaulatan yang bersifat terbatas (the restrictive theory of sovereign immunity). Doktrin kekebalan terbatas ini juga sudah diadopsi oleh pengadilan-pengadilan di AS, terutama sekali dalam kasus Victory Transport Inc.v. Comisaria General de Abasteciementos y Transportes. Dalam kasus ini, pengadilan, dalam hal Departemen Luar Negeri tidak memberikan saran mengenai imunitas para tergugat, suatu unit dari Kementerian Perdagangan Spanyol menegaskan adanya yurisdiksi karena pencarteran atau penyewaan (the chartering) sebuah kapal untuk mengangkut gandum tidak mutlak merupakan suatu tindakan politik atau publik. Pendekatan teori restriktif didukung oleh empat hakim Supreme Court dalam Alfred Dunhill of London Inc. v. Republic of Cuba.
*****Diplomatic Immunity….. Vienna Convention on Diplomatic Relations, 1961
=èKekebalan diplomatik melekat pada : diri pribadi pejabat diplomatik serta keluarganya, gedung perwakilan diplomatik, tempat kediaman pejabat diplomatik, arsip, surat menyurat, tas serta paket diplomatik.
=è Pribadi pejabat diplomatik memiliki kekebalan dari penerapan yurisdiksi teritorial negara penerima (the receiving state) dalam perkara pidana, administratif maupun perkara perdata. Namun kekebalan seorang pejabat diplomatik dapat dibatalkan, dihapuskan atau ditarik kembali oleh Pemerintah negara pengirim (the sending state) atau Kepala Perwakilan Diplomatik. Kekebalan diplomatik bukan merupakan hak istimewa atau hak prerogatif (praerogative right) dari pejabat diplomatik ybs, melainkan sesuingguhnya merupakan kekebalan negara pengirim atau kekebalan pemerintahnya sehingga kekebalan tersebut hanya dapat dibatalkan oleh Pemerintah negara pengirim dan tidak mungkin dapat dibatalkan sendiri oleh pejabat diplomatik ybs tanpa persetujuan negara pengirimnya.
=è Fungsi Perwakilan Diplomatik / Pejabat Diplomatik: representing, negotiating,protecting, promoting, reporting and ascertaining;
=è Kewajiban pejabat diplomatik :a) mematuhi peraturan-peraturan hukum di negara penerima; b) tidak mencampuri urusan dalam negeri negara penerima.
=è Pelanggaran oleh pejabat diplomatik terhadap peraturan-peraturan hukum setempat, termasuk melakukan tindak pidana berat ataupun mengganggu ketertiban serta membahayakan keamanan negara penerima tetap membebaskan pejabat ybs dari pelaksanaan yurisdiksi teritorial atau kekuasaan hukum negara penerima. Namun pejabat diplomatik ybs dapat dikenai pernyataan persona non grata oleh Pemerintah negara penerima walaupun pernyataan persona non grata dapat dilakukan sebelum ybs menjalankan tugasnya di negara penerima. Pernyataan Persona non grata merupakan terobosan terhadap kekebalan diplomatik yang dapat dilakukan oleh negara penerima dalam usaha menghormati dan mematuhi azas kekebalan diplomatik yang membebaskan pejabat diplomatik ybs dari yurisdiksi teritorial dan sekaligus juga memulihkan serta mempertahankan martabat (dignity) atau kedaulatan negara penerima.
=è Pernyataan persona non grata membawa konsekuensi bahwa orang ybs harus meninggalkan negara penerima dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh Pemerintah negara setempat dan dia harus kembali ke negara asalnya, negara penerima.
=è Walaupun kekebalan diplomatik membebaskan pejabat diplomatik dari pelaksanaan kekuasaan hukum setempat (yurisdiksi teritorial negara penerima) ketika terlibat dalam tindak pidana berat, namun setelah dipersonanongratakan oleh negara penerima dan kembali ke negara pengirim, dia tidak dibebaskan dari tanggungjawab hukum (legal liability) di negara asalnya atau di negara pengirim. Negara pengirim wajib menuntut pertanggungjawaban dari orang ybs atas kesalahan yang dilakukannya di negara penerima.
=è Berbagai kasus persona non grata :
1) Pejabat diplomatik asing yang dipersonanongratakan oleh Pemerintah RI :
*** Kasus Diplomat Uni Soviet (SP Egorov) 9 Januari 1982 …Mencampuri urusan domestik Indonesia.
*** Kasus dua Diplomat AS tahun 1994… tindak pidana berat (sindikat narkoba);
*** Bagaimana dengan Kasus Namru (Naval American Medical Research Unit) yang ditempatkan sebagai bagian dari Kedubes AS dan diakui kekebalannya oleh Pemerintah RI ?
2) Pejabat diplomatik Indonesia yang dipersonanongratakan di negara lain (negara penerima) :
*** Kasus Leo Lopulisa (Dubes RI untuk Philipina pada tahun 1980-an);…mencampuri urusan domestik Philipina);
*** Kasus Gading Gajah …tindak pidana penyelundupan gading gajah;
*** Kasus Nana Sutresna (Dubes RI untuk Kerajaan Inggeris)…puteranya tersangkut dalam tindak pidana narkoba… persona non grata terselubung. Walaupun Konvensi Wina 1961 mengenai hubungan diplomatik tidak menyebut mengenai persona non grata yang bersifat terselubung (implied) karena persona non grata harus dinyatakan secara tegas, hal seperti ini dapat dikemas dalam cara dan alasan yang legal terkait dengan penarikan kembali Dubes Nana Sutresna dari Inggeris beberapa tahun lalu.
=è Seorang pejabat diplomatik dapat dilepaskan kekebalannya dalam hal ybs tersangkut perkara perdata akibat tindakan yang dilakukannya bersifat pribadi dan untuk kepentingan pribadinya dan bukan dalam kapasitasnya sebagai pejabat diplomatik. Wanprestasi ataupun perbuatan melawan hukum yang dilakukan dapat dipakai sebagai alasan oleh siapapun yang merasa dirugikan untuk mengajukan gugatan perdata serta menuntut gantirugi dari pejabat diplomatik ybs. Namun gugatan perdata hanya dapat diproses oleh pengadilan setempat apabila sudah terjadi penghapusan kekebalan (waiver of immunity). Waiver of immunity atau penghapusan kekebalan terhadap diplomat ybs harus dilakukan secara tegas atau tertulis sebab hanya dengan cara seperti itu proses pemeriksaan perkara perdata dapat dijalankan oleh pengadilan setempat sebagai pelaksanaan yurisdiksi teritorial negara setempat.
=è Putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan setempat tidak langsung dapat dieksekusi sebab untuk mengeksekusi atau melaksanakan putusan pengadilan dibutuhkan penghapusan kekebalan dari eksekusi secara tersendiri. Inilah yang dinamakan separate waiver.
=è Mengenai kekebalan konsuler (Consular Immunity)--- pengaturannya dalam hubungan konsuler 1963 (The Vienna Convention on Consular Relations 1963). Para Konsul mewakili negaranya dalam banyak bidang administratif, misalnya mengeluarkan visa dan paspor (visas and passports) dan pada umumnya mempromosikan kepentingan negara pengirimnya dalam bidang komersial. Mereka ditempatkan tidak hanya di ibukota negara penerima, tetapi juga di banyak kota besar penting dari suatu provinsi. Fungsi politiknya hanya sedikit sehingga konsul tidak diberikan tingkat kekebalan yang sama terhadap yurisdiksi seperti pejabat diplomatik (diplomatic harus mempunyai sebuah komisi yang berasal dari negara pengirim serta negara penerima. Konsul berhak atas pengecualian sama dari kewajiban dalam bidang pajak serta bea cukai sebagaimana halnya dengan diplomat.
***Pasal 31 dari Konvensi Wina 1963 menekankan bahwa gedung-gedung perwakilan konsuler (consular premises) tidak dapat diganggugugat (inviolable) serta tidak dapat dimasuki oleh otoritas negara penerima tanpa persetujuan dari Kepala perwakilan konsuler. Sebagaimana dengan gedung perwakilan diplomatik (diplomatic premises), maka gedung konsuler harus dilindungi melawan serangan dan gangguan atas martabat (dignity); arsip dan dokumen juga memiliki kekebalan serupa serta gedung konsuler dibebaskan dari pajak.
*** Pasal 41 menetapkan bahwa para petugas konsuler tidak dapat ditangkap atau ditahan kecuali terbukti terlibat dalam tindak pidana berat yang diputuskan oleh pengadilan yang berwenang. Jika proses pemeriksaan kasus kriminal ini mulai berjalan, maka konsul itu harus tampil di depan otoritas yang berwenang. Proses persidangan tersebut harus dilakukan dengan cara yang menghormati kedudukannya sebagai seorang konsul (official position) serta memperkecil hal-hal yang dapat mengganggu pelaksanaan tugas-tugas konsuler. Berdasarkan ketentuan pasal 43 kekebalannya dari yurisdiksi dibatasi baik dalam masalah pidana maupun perdata pada tindakan-tindakan atau perbuatan-perbuatan yang dilakukan dalam menjalankan tugas-tugas resmi sebagai konsul.
=è Mengenai kekebalan dari Misi Khusus (Special Missions) terdapat pengaturannya dalam The Convention on Special Missions 1969. Dalam banyak hal negara-negara akan atau dapat mengirim dan mengutus misi khusus atau misi ad hoc ke negara-negara tertentu untuk membicarakan suatu isu yang telah ditentukan di samping mempercayakannya kepada staff perwakilan diplomatik dan konsuler yang sifatnya permanen. Dalam keadaan demikian utusan khusus (special missions) entah semata-mata bersifat teknis atau secara politis penting dapat mengandalkan adanya kekebalan-kekebalan tertentu yang pada dasarnya berasal (derived from) dari Konvensi-Konvensi Wina dengan cara menggunakan analogi disertai modifikasi seperlunya. Berdasarkan ketentuan pasal 8 dari the Convention on Special Missions 1969, negara pengirim harus membiarkan negara penerima (the host state) mengetahui besarnya (size) serta komposisi dari misi tersebut, sementara menurut pasal 17 misi tadi harus hadir di suatu tempat yang disetujui oleh negara-negara yang bersangkutan atau di Kementerian Luar Negeri dari negara penerima.
Berdasarkan ketentuan pasal 31 para anggota dari special missions tidak memiliki imunitas menyangkut klaim yang timbul dari suatu kecelakaan akibat suatu kendaraan yang digunakan di luar tugas resmi dari orang ybs dan berdasarkan ketentuan pasal 27 maka kebebasan bergerak dan bepergian yang diperkenankan hanyalah kebebasan bergerak dan bepergian yang diperlukan untuk menjalankan fungsi-fungsi dari misi khusus.
=è Mengenai kekebalan perwakilan negara-negara pada suatu Organisasi Internasional, dapat dilihat dalam the Vienna Convention on the Representation of States in their Relations with International Organizations, 1975. Perjanjian ini berlaku terhadap perwakilan negara-negara pada suatu organisasi internasional yang bersifat universal tanpa memperhatikan ada tidaknya hubungan diplomatik antara negara pengirim (sending state) dengan negara setempat (host state). Terdapat banyak kemiripan (similarities) antara Konvensi Wina 1975 dengan Konvensi Wina 1961. Misalnya berdasarkan pasal 30 staff diplomatik menikmati kekebalan penuh (complete immunity) dari yurisdiksi kriminal dan kekebalan dari yurisdiksi sipil dan administratif dalam semua hal (in all cases), terkecuali untuk kekecualian yang sama yang ditentukan dalam pasal 31 dari Konvensi Wina 1961. Staff bidang administratif, teknis dan dinas pelayanan (service) posisinya sama sebagaimana diatur dalam Vienna Convention 1961. Gedung perwakilan (the mission premises) negara pengirim pada suatu organisasi internasional yang berada di negara setempat tidak bisa diganggugugat (inviolable) serta dibebaskan dari kewajiban perpajakan oleh negara setempat, sementara arsip, dokumen serta korespondensi juga tidak bisa diganggugugat oleh aparat negara setempat.
=è Mengenai kekebalan dari Organisasi Internasional, dapat dikemukakan sebagai berikut. Sejauh menyangkut kaidah-kaidah kebiasaan posisi organisasi internasional jauh dari jelas dan diatur melalui perjanjian yang mengatur imunitas bagi lembaga-lembaga internasional yang ditempatkan di dalam wilayah negara setempat. Kekebalannya dapat diatur melalui perjanjian apabila secara fungsional kekebalan tersebut diperlukan untuk mewujudkan tujuan-tujuan dari organisasi atau lembaga internasional itu. Agaknya contoh paling penting di dalam konvensi yang bersifat umum mengenai kekebalan dan hak-hak istimewa PBB tahun 1946, yang menetapkan kekebalan PBB serta para personilnya dan menekankan prinsip inviolability pada gedung organisasi internasional, arsip dan dokumen.
=è Mengenai penghapusan kekebalan (waiver of immunity), berdasarkan ketentuan pasal 32 dari Vienna Convention 1961, negara pengirim dapat menghapuskan kekebalan yurisdiksi dari orang yang berhak atas kekebalan meskipun penghapusan itu harus selalu dilakukan secara tegas. Apabila seseorang yang mempunyai kekebalan memulai suatu perkara (initiates proceedings), dia tidak bisa mengklaim kekebalan menyangkut suatu tuntutan balik (any counterclaim) yang terkait langsung dengan tuntutan pokok (the principal claim). Penghapusan kekebalan yurisdiksi menyangkut perkara perdata atau administratif tidak boleh dilakukan sehingga memuat penghapusan kekebalan menyangkut pelaksanaan putusan (the execution of the judgment). Penghapusan kekebalan eksekusi putusan memerlukan penghapusan tersendiri (separate waiver).
=è Kekebalan kedaulatan (sovereign immunity) juga dapat dihapuskan. Section 2 dari the State Immunity Act of 1978 menetapkan hilangnya kekebalan (the loss of immunity) atas dasar penyerahan sengketa kepada yurisdiksi pengadilan baik melalui perjanjian tertulis yang dibuat sebelum timbulnya sengketa maupun sesudahnya. Suatu negara dianggap sudah menyerahkan kepada yurisdiksi pengadilan kalau negara ybs memulai atau campur tangan dalam perkara di pengadilan (terkecuali dia mengklaim kekebalan semata-mata). Jika suatu negara menyerahkan sengketa kepada yurisdiksi pengadilan, maka dia dianggap telah menyerahkan kepada yurisdiksi pengadilan setiap tuntutan balik (any counter claim) yang timbul dari hubungan atau fakta hukum yang sama dengan tuntutan atau gugatan tersebut. Suatu ketentuan dalam suatu persetujuan bahwa hal itu harus diatur dengan hukum Inggeris tidak boleh dianggap sebagai suatu penyerahan sengketa kepada pengadilan (submission).
Berdasarkan section 9 dari the State Immunity Act of1978, apabila suatu negara sepakat secara tertulis untuk menyerahkan kepada sebuah arbitrasi suatu persengketaan (tetapi bukan sengketa antarnegara, inter-state dispute) yang sudah timbul atau mungkin timbul, maka negara ybs tidak kebal apabila menyangkut sidang perkara di pengadilan Inggeris terkait dengan arbitrasi.
YURISDIKSI NEGARA (STATE JURISDICTION)
- TIDAK DAPAT DIPISAHKAN DARI AZAS KEDAULATAN NEGARA (STATE SOUVEREIGNTY)
- KONSEKUENSI LOGIS DARI AZAS KEDAULATAN NEGARA
- NEGARA MEMILIKI KEDAULATAN ATAU KEKUASAAN TERTINGGI DALAM BATAS-BATAS TERITORIALNYA (TERRITORIAL SOUVEREIGNTY) -à yurisdiksi territorial (territorial jurisdiction)
- Sesungguhnya pengertian YURISDIKSI NEGARA jauh lebih luas daripada pengertian KEDAULATAN NEGARA sebab tidak hanya terbatas pada apa yang dinamakan yurisdiksi territorial sebagai konsekuensi adanya kedaulatan territorial, tetapi juga mencakup yurisdiksi Negara yang bukan yurisdiksi territorial (yurisdiksi ekstra territorial atau extra territorial jurisdiction) yang eksistensinya bersumber dari hukum internasional, seperti yurisdiksi negara di jalur tambahan, di zee, di landas kontinen, di laut bebas, di ruang angkasa etc.
- Ada berbagai macam yurisdiksi Negara. Selain yang baru dikemukakan di atas, ada yang dinamakan y. legislative, executive, administrative, judicative, y. kriminal dan sipil, y. personal, y. universal etc.
- Namun dari berbagai macam yurisdiksi Negara, maka yang paling menonjol dan significant adalah y. territorial (territorial jurisdiction). Mengapa ?
- Karena yurisdiksi seperti inilah yang pada akhirnya dapat dilaksanakan oleh suatu negara terkait dengan siapapun dan apapun yang berada di dalam batas-batas wilayahnya.
- Menurut Starke, yurisdiksi territorial dapat diartikan sebagai hak, kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki oleh Negara untuk membuat peraturan-peraturan hukum, melaksanakan dan memaksakan berlakunya peraturan-peraturan tersebut dalam hubungan dengan orang, benda, hal atau masalah yang berada dan atau terjadi di dalam batas-batas wilayah dari Negara yang bersangkutan.
Dalam hukum internasional dikenal apa yang disebut perluasan yurisdiksi territorial (the extention of territorial jurisdiction).
- Timbul akibat kemajuan iptek, khususnya teknologi transportasi, komunikasi dan informasi serta hasil-hasilnya.
- Kemajuan iptek ini ditampung dan diakomodasi oleh masyarakat dan hukum internasional guna mengantisipasi pemanfaatan dan penyalahgunaan hasil-hasil iptek ini oleh mereka yang terlibat dalam pelanggaran hukum maupun tindak pidana di dalam wilayah suatu Negara.
- Perluasan yurisdiksi teritorial mempergunakan dua pendekatan ;
1) Prinsip territorial subyektif (the subjective territorial principle);
2) Prinsip territorial obyektif (the objective territorial principle);
Prinsip pertama memperkenankan suatu Negara untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya terhadap suatu tindak pidana yang mulai dilakukan atau terjadi di dalam wilayah negaranya walaupun berakhir atau diselesaikan di Negara lain. Penerapannya dapat ditemukan antara lain dalam beberapa perjanjian internasional, seperti Geneva Convention on the Suppression of Counterfeiting Currency, 1929; Geneva Convention on the Suppression of the Illicit Drug Traffic, 1936, etc).
Prinsip kedua memperkenankan suatu Negara untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya terhadap suatu tindak pidana yang terjadi di luar negeri (Negara lain), tetapi berakhir atau diselesaikan dan membahayakan negaranya sendiri. Penerapan prinsip territorial obyektif ini, selain dapat ditemukan dalam kedua perjanjian atau konvensi tersebut di atas, juga dalam konvensi-konvensi atau perjanjian-perjanjian lainnya. Kedua prinsip yang digunakan dalam memperluas yurisdiksi territorial tersebut sudah pasti membawa dan menimbulkan apa yang dinamakan persaingan yurisdiksi (concurrent jurisdiction), yaitu antara Negara tempat terjadinya suatu tindak pidana dengan Negara yang menerima akibatnya ataupun dengan Negara tempat pelakunya berada atau melarikan diri etc.
Prinsip territorial obyektif selain dapat dilihat atau ditemukan dalam berbagai perjanjian internasional, juga dapat ditemukan dalam putusan Mahkamah Internasional Permanen terkait dengan kasus Lotus (the Lotus Case). Kasus atau perkara ini melibatkan Perancis dan Turki yang timbul akibat peristiwa tubrukan kapal kedua Negara di laut bebas di luar perairan territorial Turki. Turki melalui pengadilannya menerapkan aturan hukum pidananya yang di dalamnya memuat azas perlindungan (jurisdiction according the protective principle) di mana tindak pidana yang terjadi di luar wilayah Turki menimbulkan kerugian bagi Turki atau warganya. Karena kapten kapal Perancis (MV Lotus) dihukum, lalu Pemerintah Perancis melakukan protes terhadap Turki. Sengketa kedua Negara diajukan ke depan Mahkamah Internasional Permanen yang pada akhirnya menyatakan bahwa tidak ada larangan dalam hukum kebiasaan internasional bagi suatu Negara untuk menjalankan yurisdiksinya atas suatu tindak pidana yang terjadi di luar negeri, tetapi merugikan Negara tersebut. Putusan Mahkamah ini di samping mengakui azas perlindungan sebagai landasan dalam menjalankan yurisdiksi, juga terutama menerapkan azas territorial obyektif, di mana tindak pidana tersebut terjadinya dimulai dari kapal Perancis, tetapi membawa akibat yang merugikan kapal Turki yang dianggap sebagai bagian integral dari wilayah Turki sehingga yang berlaku adalah hukum Negara ini.
Selanjutnya di dalam hukum internasional diakui atau dikenal apa yang dinamakan yurisdiksi personal atau yurisdiksi perseorangan (personal jurisdiction). Suatu Negara dapat mengklaim yurisdiksinya berdasarkan azas personalitas (jurisdiction according to personality principle atau disingkat dengan personal jurisdiction). Yurisdiksi personal adalah yurisdiksi terhadap seseorang, apakah dia adalah warganegara atau orang asing. Hanya saja orang yang bersangkutan tidak berada dalam wilayahnya atau dalam batas-batas territorial dari Negara yang mengklaim yurisdiksi seperti ini. Negara yang mengklaim atau menyatakan yurisdiksinya baru dapat menjalankan yurisdiksi atau kekuasaan hukumnya apabila orang yang bersangkutan sudah datang dan berada dalam batas-batas teritorialnya, entah dia datang secara suka rela ataukah datang secara terpaksa, misalnya melalui proses ekstradisi.
Yurisdiksi personal dapat digunakan berdasarkan dua macam azas, yaitu azas atau prinsip nasionalitas aktif (active nationality principle) serta prinsip nasionalitas pasif (passive nationality principle).
Yurisdiksi Negara berdasarkan prinsip nasionalitas aktif atau disingkat saja prinsip nasionalitas aktif memperkenankan suatu Negara untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya terhadap suatu tindak pidana apabila orang yang melakukan tindak pidana atau orang yang bersalah adalah warganegaranya sendiri. Hal ini disebabkan karena hukum nasional dari suatu Negara akan selalu mengikuti warganegaranya dimanapun dia berada dan kemanapun dia bepergian. Orang Indonesia membunuh seseorang di Philipina. Hukum Indonesia mengikuti, melekat dan berlaku pada pelakunya, tetapi pada saat bersamaan juga berlaku hukum Filipina sehingga terjadi persaingan yurisdiksi (concurrent jurisdiction). Namun dari persaingan ini, Negara yang efektif menjalankan yurisdiksinya adalah Filipina. Filipina dapat secara efektif menjalankan yurisdiksinya berdasarkan azas territorialitas terkait dengan tempat kejadian dan terutama pelakunya. Sebaliknya Indonesia tidak mungkin efektif menjalankan yurisdiksinya, sekalipun Indonesia berkepentingan dan dapat saja mengklaim yurisdiksinya berdasarkan azas personalitas, dalam hal ini prinsip nasionalitas aktif. Kalau Filipina menjalankan yurisdiksi teritorialnya dengan melakukan proses hukum terhadap warganegara Indonesia, maka Indonesia wajib menghormatinya. Kasus pembunuhan oleh Harmoko (Oki), warganegara Indonesia dengan korbannya dua orang Indonesia dan seorang warganegara India yang terjadi dalam wilayah hukum AS pada tahun 1994 menimbulkan persaingan yurisdiksi di antara kedua Negara. AS mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya berdasarkan azas territorialitas (territorial jurisdiction) karena tempat kejadian, alat bukti, barang bukti termasuk para korban terjadi dan berada di dalam wilayah AS (di Los Angeles). Sedangkan Indonesia juga mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya berdasarkan azas personalitas karena pelaku kejahatan di AS adalah warganegara Indonesia (azas nasionalitas aktif) dan korbannya adalah juga warganegaranya (azas nasionalitas pasif). Selain azas personalitas, maka klaim dan pernyataan yurisdiksi Indonesia atas kasus pembunuhan di AS juga didasarkan atas azas territorialitas karena pelakunya sudah terlanjur masuk ke dalam wilayah Indonesia sebelum kasus itu berhasil dibongkar oleh aparat hukum AS.
Selanjutnya apa yang dinamakan prinsip nasionalitas pasif (passive nationality principle) memperkenankan suatu Negara untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya terhadap suatu tindak pidana yang terjadi di luar negeri apabila pelakunya adalah orang asing, tetapi korbannya adalah warganegaranya sendiri. Orang asing yang melakukan tindak pidana di luar negeri dan merugikan warganegara dari suatu Negara, maka Negara korban dapat mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya berdasarkan azas personalitas, dalam hal ini azas nasionalitas pasif. Negara yang bersangkutan baru dapat menjalankan yurisdiksinya secara efektif apabila pelakunya sudah datang dan berada di dalam wilayahnya. Ada tindakan-tindakan tertentu yang bagi suatu Negara dikategorikan sebagai tindak pidana, tetapi bagi Negara lain bukan tindak pidana atau bukan perbuatan melawan hukum. Misalnya pencemaran nama baik seseorang dikategorikan sebagai tindak pidana dalam hukum Indonesia, tetapi dalam hukum AS bukan tindak pidana. Hal seperti ini yang antara lain melatarbelakangi timbulnya azas personalitas yang memungkinkan atau memperkenankan suatu Negara mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya terhadap suatu tindak pidana yang dilakukan oleh orang asing di luar negeri, namun merugikan warganegaranya sendiri. Dalam hubungan ini, persaingan yurisdiksi tentu saja terjadi dan tidak terhindarkan di antara beberapa Negara yang mempunyai kepentingan. Negara mana yang pada akhirnya dapat menjalankan yurisdiksinya secara efektif, tergantung pada Negara tempat pelakunya berada. Kasus pencemaran nama baik mantan Presiden Soeharto oleh majalah Time secara implisit mengandung persaingan yurisdiksi antara Indonesia dan AS, di mana pihak Indonesia berkepentingan untuk mengklaim dan menyatakan kewenangannya berdasarkan azas personalitas pasif, sementara pihak AS berkepentingan untuk tidak mengklaim dan untuk tidak menyatakan kewenangannya berdasarkan azas territorialitas.
Hukum internasional juga mengakui apa yang dinamakan yurisdiksi berdasarkan azas universal atau disingkat yurisdiksi universal (universal jurisdiction). Semua Negara tanpa terkecuali dapat mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya berdasarkan azas universal. Terdapat tindak-tindak pidana tertentu yang karena sifat atau karakternya memun gkinkan atau memperkenankan semua Negara tanpa terkecuali untuk mengklaim dan menyatakan kewenangannya atas suatu tindak pidana yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan tanpa menghiraukan siapa pelakunya (warganegaranya sendiri atau orang asing), siapa korbannya (warganegaranya sendiri atau orang asing), juga tanpa menghiraukan tempat terjadinya maupun waktu terjadinya. Tindak-tindak pidana yang dimaksudkan antara lain adalah kejahatan perang (war crimes), kejahatan terhadap perdamaian dunia (crimes against international peace), kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity), perompakan laut (piracy), pembajakan udara (hijacking), kejahatan terorisme (terrorism) dan berbagai kejahatan kemanusiaan lainnya yang dinilai dapat membahayakan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Dalam hubungan ini sering tidak dapat dihindari adanya persaingan yurisdiksi di antara berbagai Negara yang mempunyai kepentingan, yaitu antara Negara tempat terjadinya suatu tindak pidana seperti itu dengan Negara Negara korban, dengan Negara tempat pelakunya berada atau melarikan diri etc. Untuk dapat mengklaim dan menyatakan yurisdiksi terhadap tindak pidana seperti itu, maka Negara-negara yang berkepentingan masing-masing seharusnya telah membuat peraturan-peraturan hukum nasional yang dapat digunakan untuk menangani tindak pidana seperti itu. Kasus Eichmann (Eichmann Case) dipandang sebagai tonggak awal lahirnya yurisdiksi universal. Sebagai Negara korban pada masa Perang Dunia II, Israel membuat Undang-Undang yang mengatur mengenai kejahatan perang, kejahatan terhadap perdamaian dunia dan kejahatan terhadap kemanusiaan, terutama terhadap bangsa Yahudi. Dengan menerapkan undang-undang ini, Pengadilan Israel berhasil membuktikan kesalahan Eichman sehingga pengadilan menjatuhkan putusan hukuman mati atas diri Eichman yang kemudian menimbulkan kecaman dari berbagai kalangan soal keabsahan tindakan pengadilan dari Negara Yahudi yang baru bereksistensi beberapa tahun usai Perang Dunia II Mereka ini mengatakan tindakan atau putusan pengadilan itu bertentangan dengan azas legalitas atau azas nullum delictum sebagai azas hukum pidana yang bersifat universal. =è Mahkamah Kriminal Internasional atau pengadilan internasional di Nuremberg dan Tokyo
(lazimnya dinamakan Peradilan Nuremberg serta Peradilan Tokyo) yang dibentuk oleh Negara-negara sekutu sebagai pemenang PD II berdasarkan perjanjian London (the London Agreement) tahun 1942. Tujuannya untuk mengadili serta menghukum mereka yang terbukti bersalah melakukan kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan terhadap perdamaian dunia, tanpa memperhatikan apapun kedudukan mereka. Mereka yang terbukti bersalah harus bertanggungjawab secara individual dan tidak dimungkinkan untuk berlindung di belakang Tanggungjawab Negara (State Responsibility). Namun demikian tidak sedikit dari mereka yang diadili serta dihukum oleh pengadilan nasional dari Negara setempat.
=è Selain perjanjian London, maka Genocide Convention thun 1948 juga memuat yurisdiksi Negara menurut azas universal atau yurisdiksi universal (universal jurisdiction). Genocide Convention mengatur tentang pembunuhan missal atau sekelompok masyarakat atas dasar ras, etnis, warna kulit, keyakinan agama maupun politiknya. Mereka yang bersalah harus bertanggungjawab secara individual dan tidak boleh berlindung di belakang tanggungjawab Negara.
=è Pembentukan ICC (International Criminal Court) berdasarkan Statuta Roma tahun 1998 dan mulai berlaku sejak 1 Juli 2002. Yurisdiksinya mencakup pelanggaran HAM berat (gross violation of Human Rights), seperti kejahatan genosida, kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, kejahatan agresi dan berbagai bentuk kejahatan kemanusiaan lainnya, seperti kejahatan terorisme etc. Mereka yang bersalah harus bertanggungjawab secara individual dan tidak bias berlindung di balik tanggungjawab Negara (state responsibility) tanpa memperhatikan kedudukan atau jabatan yang mereka emban. ICC pada instansi pertama (the first resort), melainkan pengadilan terakhir dari instansi terakhir (the last of the last resort) sehingga system peradilannya tidak menggerogoti kedaulatan dari Negara peserta ICC atau Negara peserta Statuta Roma. ICC hanya berfungsi sebagai pengadilan pelengkap terhadap pengadilan nasional atau pengadilan domestic sebab ICC mengutamakan penerapan upaya-upaya hokum setempat (exhaustion of local remedies). Selama Negara peserta ICC masih mau dan mampu menyelesaikan kasus kejahatan kemanusiaan tersebut, maka ICC tidak memiliki yurisdiksi untuk mengadili kasus kejahatan HAM berat yang terjadi di Negara yang bersangkutan. Yurisdiksi ICC juga hanya mencakup kasus kejahatan HAM berat yang terjadi setelah 1 Juli 2002 dan bukan sebelumnya.