Minggu, 29 Agustus 2010

ANALISIS KASUS THE TABION V . MUFTI (FILIPINA V. YORDANIA) TERKAIT KEKEBALAN BAGI PEJABAT DIPOMATIK BERDASARKAN KONVENSI WINA 1961

PENDAHULUAN
Pelaksanaan tugas-tugas dari misi diplomatik yang dibebankan kepada seorang pejabat diplomatik di negara penerima akan selalu diiringi dengan pemberian kekebalan (imunitas). Hal ini bertujuan untuk memudahkan pelaksanaan tugas-tugas diplomasi yang diberikan kepada pejabat diplomatik sehingga tugas-tugasnya dapat berhasil dilaksanakan. Kekebalan (imunitas) diberikan hanya untuk hal-hal yang terkait dengan pelaksanaan tugas diplomasi. Pemberian kekebalan (imunitas) dalam Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik dapat dikategori dalam beberapa hal yaitu:
1. Kekebalan diri pribadi (pasal 29 dan 37 ayat 1)
2. Kekebalan yurisdiksional (pasal 31 ayat 1 dan 2, pasal 41 ayat 1 Junctis
Pasal 9)
3. Kekebalan dari kewajiban untuk menjadi saksi (pasal 31 ayat 2)
4. Kekebalan kantor perwakilan dan tempat kediaman (pasal 22, pasal 30 ayat 1)
5. Kekebalan korespondensi (pasal 27)
6. Kekebalan dan keistimewaan diplomatik di negara ketiga (pasal 40 ayat 1)
7. Penanggalan kekebalan diplomatik (pasal 32)
8. Pembebasan terhadap pajak dan bea cukai/ bea masuk (pasal 34 dan 36)
Pada praktiknya, untuk melaksanakan tugas-tugas diplomasi tidak dapat dihindarkan dari permasalahan, pada umumnya permasalahan terjadi karena kepentingan-kepentingan yang saling berbenturan antara para pihak. Berdasarkan teori, terdapat 3 landasan hukum pemberian keistimewaan dan kekebalan bagi pejabat diplomatik di negara tempat bertugas, yaitu:
1. Teori Eksterritorialitas (Exterritoriality Theory)
Bahwa seorang pejabat diplomatik dianggap seolah-olah tidak meninggalkan negaranya, ia berada di luar wilayah negara penerima, walaupun kenyataannya ia sudah jelas berada di luar negeri dan sedang menjalankan tugas-tugasnya.
2. Teori Representatif
Karena fungsi dari pejabat diplomatik adalah mewakili negara pengirim dan kepala negaranya maka dalam kapasitas itulah pejabat dan perwakilan diplomatik asing menikmati hak-hak istimewa dan kekebalan. Memberikan hak istimewa dan kekebalan berarti menghormati negara pengirim, kebesaran dan kedaulatan dan kepala negaranya.
3. Teori Kebutuhan Fungsional (Functional Necessity Theory)
Didasarkan bahwa pemberian hak istimewa dan kekebalan merupakan suatu kebutuhan-kebutuhan fungsional agar para pejabat diplomatik dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan lancar. Dengan memberikan tekanan pada kepentingan fungsi, terbuka jalan bagi pembatasan hak-hak istimewa dan kekebalan sehingga dapat diciptakan keseimbangan antara kebutuhan negara pengirim dan hak-hak negara penerima. Teori ini menjadi ketentuan dalam Konvensi Wina 1961.
Terkait dengan kekebalan dalam tugas-tugas diplomasi, maka penulisan karya ilmiah ini akan menganalisis mengenai kasus Tabion v. Mufti yang merupakan suatu kasus pemberian kekebalan diplomatik dimana melibatkan warga negara Filipina dan Yordania di Amerika Serikat.

KETENTUAN DALAM KONVENSI WINA 1961 YANG MENGATUR MENGENAI KASUS TABION V. MUFTI (FILIPINA V. YORDANIA)
Kasus ini berawal dari gugatan yang diajukan oleh seorang warga negara Filipina bernama Corazon Tabion, yang merupakan pembantu rumah tangga bagi pasangan suami istri Yordania, Faris dan Lana Mufti. Faris Mufti adalah seorang pejabat konsuler Yordania untuk Distrik TS Ellis Amerika Serikat. Gugatan diajukan Tabion pada bulan Februari tahun 1996 ke Pengadilan Distrik TS Ellis Amerika Serikat. Tabion melaporkan bahwa selama dua tahun ia bekerja bagi keluarga Mufti dengan hanya dibayar sekitar $ 50 per minggu selama lebih dari 60 jam kerja.
Mufti menyatakan bahwa ia dan istrinya tidak dapat digugat karena ia memiliki kekebalan diplomatik sebagai seorang pejabat diplomatik, sehingga pengadilan Distrik TS Ellis Amerika Serikat mengentikan proses kasus ini. Namun kemudian pengacara dari Tabion membawa kasus ini ke Pengadilan Banding Amerika Serikat, yang kemudian menyatakan bahwa kontrak kerja antara warga negara Filipina tersebut dengan seorang diplomat mengenai pemberian pelayanan domestik dan bantuan tidak terkait dengan pengecualian penghapusan kekebalan, berdasarkan Pasal 31 (1) Bagian C mengenai Kekebalan dari Kekuasaan Hukum, Konvensi Wina 1961, menyatakan bahwa:
Pejabat diplomatik harus kebal dari kekuasaan hukum pidana negara penerima. Ia juga kebal dari kekuasaaan hukum perdata dan acara, kecuali dalam hal:
a) Suatu tindakan nyata yang berhubungan dengan harta milik pribadi tidak bergerak yang terletak di wilayah negara penerima, kecuali harta milik tersebut ia kuasai atas nama negara pengirim untuk keperluan perwakilan;
b) Suatu tindakan yang berhubungan dengan suksesi, dimana pejabat diplomatik tersebut terlibat sebagai penyita, penguasa, pewaris atau ahli waris sebagai perorangan dan tidak atas nama negara pengirim;
c) Suatu tindakan yang berhubungan dengan setiap kegiatan profesi dan niaga yang dilakukan oleh pejabat diplomatik di negara penerima diluar kedudukan resminya.
Berdasarkan ketentuan diatas maka perbuatan yang dilakukan oleh diplomat tersebut dilindungi oleh kekebalan diplomatik sehingga tidak dapat digugat secara hukum. Karena pengadilan banding mendasarkan kegiatan dari kontrak kerja tidak termasuk dalam kegiatan profesi dan niaga, pada pasal 31 (1) bagian c Konvensi Wina 1961. Sementara itu, Denza dalam bukunya Diplomatic Law menjelaskan bahwa:
“Ordinary contracts incidental to live in the receiving State, such as purchase goods, medical, legal or educational services or agreements to rent accommodation do not constitute “commercial activities.”
Pernyataan Denza dapat dijelaskan bahwa kontrak biasa yang merupakan pembayaran langsung untuk hidup di negara penerima, seperti pembelian barang-barang, obat-obatan, layanan pendidikan atau hukum atau perjanjian sewa-menyewa akomodasi tidak termasuk dalam kegiatan niaga. (terjemahan lepas)
Departemen Dalam Negeri Amerika Serkat memberikan pernyataan bahwa:
“Commercial activities focuses on the pursuit of trade or business activity; it does not encompass contractual relationship for goods and services incidental to the daily life of the diplomat and family in the receiving States.”
Berarti bahwa kegiatan niaga bertujuan untuk aktivitas bisnis dan perdagangan; itu tidak terkait dengan hubungan kontrak barang-barang dan layanan insidental untuk kebutuhan hidup diplomat dan keluarga di negara penerima. (terjemahan lepas).
Maka dari itu berdasarkan penjelasan diatas maka kontrak kerja dan pelayanan yang diberikan oleh Tabion bagi seorang diplomat tidak terkait dengan penghapusan kekebalan karena pelayanan dan bantuan yang diberikan Tabion termasuk dalam kegiatan yang memudahkan pelaksanaan tugas-tugas diplomatik pejabat diplomatik dan juga tidak terkait dengan kegiatan niaga dalam Konvensi Wina, hukum kebiasaaan menginterpretasikan kegiatan niaga adalah kegiatan yang terkait dengan aktivitas bisnis dan perdagangan bukan kontrak kerja.













DAFTAR PUSTAKA

Literatur
Eileen Denza. 2002. Diplomatic Law, Commentary on the Vienna Convention on Diplomatic Relation. Oxford University Press. New York
John M Echols, Hassan Shadily.2003. Kamus Inggris-Indonesia. Gramedia. Jakarta
Sumaryo Suryokusumo. 2004. Praktik Diplomasi. Penerbit STIH IBLAM. Jakarta
Syahmin, AK. 2008. Hukum Diplomatik, Dalam Kerangka Studi Analisis. Rajawali Pers. Jakarta

Undang-Undang
Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik 1961

Website
Honey Martha, Capital Slaves, http://www.washingtoncitypaper.com/articles/6480/capital-slaves. [12 Mei 1995]
Jacob Wolf, It's Just been Revoked, http://lawlib.wlu.edu/works/612-1.pdf&ei
Martina E. Vandenberg, Testimony of Martina E. Vandenberg http://judiciary.senate.gov/hearings/testimony.cfm?id=2613&wit_id=6203.
[26 Maret 2007]

KASUS PELEDAKAN PESAWAT KAL 858 MILIK KOREA SELATAN TAHUN 1987 DIHUBUNGKAN DENGAN CONVENTION ON OFFENCES AND CERTAIN OTHER ACTS COMMITTED ON BOARD AIR

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Tindakan kejahatan diatas pesawat terbang telah lama terjadi sebelum Perang Dunia II. Beberapa faktor yang menjadi penyebab dari tindak kejahatan yang dapat disamakan dengan serangan terorisme, seperti faktor masalah politik dalam negara dan juga sedikit berhubungan dengan masalah ekonomi. Serangan terorisme diatas pesawat terbang tentu sangat membahaykan dan mengancam keamanan umat manusia dan juga negara. Masalah ini juga akan berkaitan dengan yurisdiski apa yang akan digunkan untuk mengadili atau memproses para pelaku aksi terorisme dan juga cara agar bisa mencegah kejadian ini tidak terjadi. Salah satu peristiwa yang dapat dikategorikan sebagai serangan terorisme di pesawat terbang pada abad ke 20 ini adalah peristiwa pengeboman pesawat udara milik Korea Selatan yaitu Korean Air Flight 858 jenis pesawat terbang Boeing 707-3B5C yang terjadi pada tanggal 29 November 1987.

Berdasarkan fakta-fakta yang ada, peristiwa pengeboman pesawat terbang tersebut dilakukan oleh seorang agen mata-mata pemerintah Korea Utara, yaitu Kim Sung Il dan Kim Hyun-hee. Kim Sung Il adalah seorang pria intelejen Korea Utara yang telah paruh baya dan Kim Hyun-hee adalah seorang wanita yang bekerja sebagai agen intelejen mata-mata untuk Korea Selatan. Aksi pemboman yang mereka laksanakan menewaskan seluruh penumpang pesawat terbang sebanyak 115 orang dan persitiwa tersebut terjadi sepuluh bulan sebelum Olimpiade Seoul dan Pemilihan Presiden Korea Selatan.

Ketika aksi mereka selesai dilakukan dan seluruh dunia memusatkan perhatian pada kasus ini, kedua pelaku berusaha untuk menghilangkan jejak, salah satu pelaku yang paling tertua yaitu Kim Sung Il segera meminum obat bunuh diri yang telah disediakan dengan seketika Kim Sung Il meninggal sedangkan Kim Hyun-hee masih bisa diselamatkan dan kemudian ditangkap pemerintah Korea Selatan untuk diproses secara hukum. Selama pemeriksaan Kim Hyun-hee menuturkan semua hal yang telah ia dan rekannya rencanakan untuk melaksanakan aksi mereka. Berikut penuturan yang berasal dari Kim Hyun-hee tentang dirinya dan proses untuk melaksanakan aksi pengeboman mereka :

Kim yang lahir 27 Januari 1962 di Kaesong, Korea Utara. Ayahnya seorang diplomat. Setelah tamat sekolah menengah, ia masuk Universitas Kim Il-sung, mengambil studi bahasa Jepang. Latar belakang yang "tepat" membuatnya langsung direkrut sebagai agen rahasia setelah setahun kuliah. Ia mengubah identitas,termasuk namanya berubah menjadi Kim Ok-wha.

Latihan pertama dijalani di Sekolah Militer-Politik Kimsong. Ia berlatih menggunakan senjata, bahasa, kode rahasia, dan komunikasi. Latihannya sangat ketat. Setelah semua itu terlewati, ia sanggup berlari 40 kilometer di jalur tidak rata atau berenang dua kilometer. Setahun di Kimsong, pendidikannya pindah ke dekat perbatasan Cina. Di sana ia belajar penculikan, pembunuhan, pengawasan orang, pengeboman, hingga agitasi. Ia direncanakan akan ditempatkan sebagai agen rahasia di Jepang. Jadi, enam tahun ia berlatih bahasa dan budaya dari orang Jepang yang diculik Korea Utara. Dalam interogasi, Kim Hyun-hee mengaku bahwa orang Jepang yang melatih bernama Lee Eun-hye. Ia--seperti Soga--adalah orang Jepang yang diculik. Belakangan, polisi Jepang memperkirakan yang disebut Lee Eun-hye adalah Yaeko Taguchi, warga Jepang yang diculik.

Kemampuannya berperan sebagai orang Jepang diuji dalam misi pertamanya yang masih bagian dari latihan. Ia bertugas dengan seorang perwira intelijen tua, bepergian ke seluruh Eropa dan Asia, menyamar sebagai bapak dan anak dari Jepang. Jika masuk negara komunis, mereka menggunakan paspor Korea Utara. Saat masuk negara nonkomunis, paspor Jepang palsu mereka pakai.

Misi serius pertama adalah misi terakhirnya yang membuatnya terkenal. Saat itu, 1988, Seoul akan menjadi tempat Olimpiade. Korea Utara tidak hanya iri dengan keberhasilan negeri saudara mereka, tapi Pyongyang memutuskan untuk mengganggu. Caranya dengan mengebom salah satu pesawat Korean Airlines. Kim Hyun-hee alias Kim Ok-hwa dipilih untuk melakukan tugas ini.
Kim dipasangkan dengan perwira intelijen yang sempat menjadi "ayahnya" saat keliling Eropa dan Asia, namanya Kim Sung-il. Dalam operasi ini, mereka adalah keluarga Hachiya. Kim Hyun-hee menyamar sebagai Mayumi Hachiya.

Dari Korea Utara, mereka ke Eropa untuk melenyapkan jejak. Mereka ke Hungaria dengan pesawat sebelum ke Wina dengan mobil. Tiket ke Bagdad, tempat mereka mulai melakukan operasi, diletakkan di sebuah bak sampah oleh agen rahasia Korea Utara lain yang berpangkalan di Wina.

"Ayah dan anak dari Jepang" itu tiba di Bagdad pada 28 November 1987. Mereka dijadwalkan naik pesawat yang menjadi sasaran mereka, Korean Airlines bernomor penerbangan KAL 858. Dua perwira intelijen Korea Utara yang berpangkalan di Bagdad menemui keluarga Hachiya di bandara. Mereka memberi sebuah bom kecil yang diletakkan dalam sebuah radio buatan Jepang serta sebotol wiski. Bekal lain, rokok Marlboro yang diberi sianida, untuk bunuh diri jika tertangkap.

Radio itu diletakkan di tempat bagasi di atas tempat duduk. Untuk memperkuat efek ledakan, wiski diletakkan di dekatnya. Sesaat sebelum naik pesawat, Kim Hyun-hee masuk kamar mandi untuk mengeset waktu ledakan di radio yang sudah jadi bom itu. Setelah lepas landas dari Bagdad, pesawat transit di Abu Dhabi, sesuai dengan jadwal. Pasangan Kim Hyun-hee dan Kim Sung-il keluar dari pesawat itu, tapi meninggalkan radio dan botol wiski di dalam bagasi.
Pasangan Kim itu segera pindah ke pesawat yang membawanya meninggalkan Abu Dhabi menuju Bahrain untuk melenyapkan jejak. Kim Hyun-hee mengatakan bahwa mereka meninggalkan radio yang berisi sekitar 350 gram bahan peledak C-4 dan sebotol cairan PLX sebanyak 700 ml.
Korean Airlines itu pun terbang meninggalkan Abu Dhabi menuju Bangkok sebelum ke Seoul dengan membawa sebuah bom kecil dan sebotol wiski. Di atas laut Andaman, bom itu meledak. Sebanyak 115 orang tewas.

Saat dua agen Korea Utara sampai di Bahrain, berita peledakan pesawat membuat seluruh dunia sibuk, terutama Bahrain. Mereka mengetahui dua penumpang keluar di Abu Dhabi sebelum meledak dan dua penumpang itu menuju Bahrain.
Kim Hyun-hee dan Kim Sung-il ditangkap saat akan melewati imigrasi. Sesuai prosedur, mereka mengambil rokok Marlboro yang sudah diberi sianida dan mengisapnya. Kim Sung-il tewas, tapi Kim Hyun-hee, yang mengaku sebagai orang Jepang bernama Mayumi, bisa diselamatkan.

Korea Selatan menjatuhkan vonis mati bagi Kim Hyun-hee pada 1990. Tapi Presiden Roh Tae Woo memberi amnesti khusus padanya. Ia sempat menulis otobiografi berjudul Airmata Jiwaku yang sangat laris. Saat ini ia hidup sebagai "orang biasa" di Korea Selatan dan sudah menikah.

Berdasarkan kasus diatas, penulisan karya tulis ini tertarik untuk membahas ketentuan dalam Konvensi Tokyo 1963 atau Convention on Offences and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft yang mengatur mengenai tindakan kejahatan di udara dalam pesawat terbang terkait dengan kasus peledakan pesawat terbang milik Korea Selatan ini.















1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dan untuk memfokuskan penulisan ini maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana hubungan antara kasus peledakan Pesawat KAL 858 milik Korea Selatan tahun 1987 dengan Convention on Offences and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft (Konvensi Tokyo 1963) ?

1.3. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui hubungan antara kasus peledakan Pesawat KAL 858 milik Korea Selatan tahun 1987 dengan Convention on Offences and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft ( Konvensi Tokyo 1963).





















BAB 2
PEMBAHASAN

2.1. Hubungan antara Kasus Peledakan Pesawat Kal 858 Milik Korea Selatan Tahun 1987 dengan Convention on Offences and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft (Konvensi Tokyo 1963)
Berdasarkan kasus peledakan pesawat Korea Selatan yaitu Korean Air Flight 858 oleh agen intelejen Korea Selatan maka tindakan dari agen tersebut termasuk dalam serangan aksi terorisme karena pengertian terorisme berdasarkan kamus adalah penggunaan kekerasan untuk menciptakan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan. Tindakan menciptakan ketakutan terkait dengan pelaksanaan Olimpiade Seoul dan Pemilihan Presiden, jadi dengan melakukan pengeboman maka masyrakat yang berencana untuk mengikuti kegiatan tersebut akan merasa ketakutan dan membatalkan kedatangan mereka, sedangkan terkait dengan Pemilihan Presiden Korea Selatan, Korea Utara sebagai negara saudaranya tidak ingin melihat Korea Selatan aman dan lancar dalam melakanakan kegiatan tersebut, ini adalah tujuan dari tindakan pengeboman tersebut yang dapat dikaitkan dengan aksi terorisme.

Aksi terorisme dalam pesawat terbang telah diatur dalam beberapa Konvensi internasional, salah satunya adalah Konvensi Tokyo 1963 atau disebut dengan Convention on Offences and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft. Kasus ini dapat dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Tokyo 1963, keterkaitannya dapat diuraikan melalui penjelasan dibawah ini.

2.1.1. Lingkup berlakunya Konvensi
Konvensi ini mengatur mengenai pemberian sanksi hukum terhadap tindak kejahatan di udara atau dalam pesawat terbang. Tindakan yang juga mengancam atau membahayakan keamanan di dalam pesawat atau kepada barang-barang milik penumpang dan juga dapat membahayakn ketentuan-ketentuan yang baik serta disiplin dalam penerbangan maka akan diberikan sanksi. Konvensi ini tidak berlaku untuk pesawat militer dan pesawat polisi. Dijelaskan pula mengenai kapan pesawat dikatakan terbang, yaitu ketika kekuatan pesawat telah dikumpulkan untuk melakukan take-off hingga pesawat landing.

Terkait kasus Korean Air Flight 858, pengeboman terjadi ketika pesawat berada di atas Laut Andaman artinya ketika pesawat dalam keadaan terbang, dan tindakan tersebut sangat mengancam keamanan penumpang sehingga ketentuan dalam Bab I Konvensi Tokyo 1963 berlaku bagi kasus ini.

2.1.2. Yurisdiksi
Negara yang telah meratifikasi atau mengaksesi konvensi ini dapat menerapkan yurisdiksinya terhadap tindak kejahatan (pembajakan, terorisme) yang terjadi di pesawat udara. Konvensi ini juga tidak melarang penerapan yurisdiksi kriminal yang terkait dengan hukum nasional. Negara-negara pihak yang bukan merupakan negara yang menjadi bagian konvensi ini tidak dapat menerapkan yursidksinya dalam tindak kejahatan di pesawat terbang kecuali dalam beberapa kasus seperti:
1 Tindak kejahatan berdampak pada wilayah teritorial negara tersebut
2 Tindak kejahatan terkait dengan negara itu atau wilayah negara tersebut
3 Tindak kejahatan mengganggu keamanan negara tersebut
4 Tindak kejatahan melanggar ketentuan mengenai penerbangan pesawat atau manuver dari pesawat udara dalam penerbangan negara tersebut
5 Penerapan yursidiksi dibuthkan untuk melakasanakn kewajiban negara tersebut dibawah perjanjian internasional multilateral.

2.1.3. Hak dari Komandan Pesawat Terbang
Konvensi ini tidak berlaku di luar angkasa dan diatas laut bebas diluar wilayah negara yang meratifikasi atau mengaksesi konvensi ini. Pesawat diatakan terbang ketika semua pintu-pintu ditutup untuk embarkasi hingga pintu-pintu terbuka untuk disembarkasi. Alasan-alasan bagi komando unutk melakukan tindakan sebagai haknya adalah ketika:
1. Untuk melindungi pesawat terbang, penumoang dan barang-barang dalam pesawat
2. Untuk menegakkan ketentuan dan dispilin dalam penerbangan
3. Agar komando dapat melaksanakan tugasnya mengantarkan penumpang sesuai dengan ketentuan konvensi ini.
Berdasarkan Pasal 6 ayat 2 diatur bahwa :
The aircraft commander may require or authorize the assistance of other crew members and may request or authorize, but not require, the assistance of passengers to restrain any person whom he is entitled to restraint. Any crew member or passenger may also take reasonable preventive measures without such authorization when he has reasonable grounds to believe that such action is immediately necessary to protect the safety of the aircraft, or of persons of property therein.

2.1.4. Tindakan Pelanggaran Hukum dalam Pesawat Terbang
Berdasarkan Bab IV Pasal 11 ayat 1 dan 2 menjelaskan bahwa :
When a person on board has unlawfully committed by force of threat thereof an act of interference seizure, or other wrongful exercise of control of an aircraft in flight or when such an act is about to be committed, Contracting States shall take all appropriate measures to restore control of the aircraft to its lawful commander or to preserve his control of the aircraft.

2. In the cases contemplated in the proceeding paragraph, the Contracting State in which the aircraft land shall permit its passengers and crew to continue their journey as soon as practicable and shall return the aircraft and its cargo to the person lawfully entitled to possession.

2.1.5. Hak dan Kewajiban dari Negara-Negara
Bagi negara yang menjadi bagian dari Konvensi ini harus mentaati peraturan dalam pasal 8 ayat 1 mengenai hak bagi komando. Dalam pasal 13 konvensi ini menjelasakan bahwa :
1. Any Contracting State shall take delivery of any person whom the aircraft commander delivers pursuant to Article 9, paragraph 1.
2. Upon being satisfied that the circumstances so warrant, any Contracing State shall take custody or other measures to ensure the presence of any person suspected of an act contemplated in Article 11, paragraph 1 and of any person of whom it has taken delivery. The custody and other measures shall be as provided in the law of that State but may only be continued for such time as is reasonably necessary to enable any criminal or extradition proceedings to be instituted.
3. Any person in custody pursuant to the previous paragraph shall be assisted in communicating immediately with the nearest appropriate representative of the State of which he is national.
4. Any Contracting State, to which a person is delivered pursuant to Article 9, paragraph 1, or in whose territory an aircraft lands following the commission of an act contemplated in Article 11, paragraph 1, shall immediately make a preliminary enquiry into the facts.
5. When a State, pursuant to this Article, has taken a person into custody, it shall immediately notify the State of registration of the aircraft and the State of nationality of the detained person and, if it considers it advisable, any other interested State of the fact that such person is in custody and of the circumstances which warrant his detention. The State which makes the preliminary enquiry contemplated in paragraph 4 of this Article shall promptly report its findings to the said States and shall ndicate whether it intends to exercise jurisdiction.
Pasal 14
1. When any person has been disembarked in accordance with Article 8, paragraph 1, or delivered in accordance with Article 9, paragraph 1, has disembarked after committing an act contemplated in Article 11, paragraph 1, and when such person cannot or does not desire to continue his journey and the State of landing refuses to admit him, that State may, if the person in question is not a national or permanent resident of that State, return him to the territory of the State of which he is a national or permanent resident or to the territory of the State in which he began his journey by air.
2. Neither disembarkation, nor delivery, nor the taking of custody or other measures
contemplated in Article 13, paragraph 2, nor return of the person concerned, shall be
considered as admission to the territory of the Contracting State concerned for the purpose of its law relating to entry or admission of persons and nothing in this Convention shall affect the law of a Contracting State relating to the expulsion of persons from its territory.
Pasal 15
1. Without prejudice to Article 14, any person who has been disembarked in
accordance with Article 8, paragraph 1, or delivered in accordance with Article 9, paragraph 1, or delivered in accordance with Article 9, paragraph 1, or has disembarked after committing an act contemplated in Article 11, paragraph 1, and who desires to continue his journey shall be at liberty as soon as practicable to proceed to any destination of his choice unless his presence is required by the law of the State of landing for the purpose of extradition of criminal proceedings.
2. Without prejudice to its law as to entry and admission to, and extradition and expulsion from its territory, a Contracting State in whose territory a person has been disembarked in accordance with Article 8, paragraph 1, or delivered in accordance with Article 9, paragraph 1 or has disembarked and is suspected of having committed an act contemplated in Article 11, paragraph 1, shall accord to such person treatment which is no less favourable for his protection and security than that accorded to nationals of such Contracting State in like circumstances.

2.1.6. Ketentuan-Ketentuan Lainnya
Konvensi ini juga mengatur mengenai tindakan kejahatan yang dikategorikan mengganggu keamanan dan keselamatan di pesawat terbang, tindakan tersebut seperti dapat dikenai sanksi. Berdasarkan Pasal 16-18 yaitu :
1. Offences committed on aircraft registered in a Contracting State shall be treated, for the purpose of extradition, as if they had been committed not only in the place in which they have occurred but also in the territory of the State of registration of the aircraft.
2. Without prejudice to the provisions of the preceding paragraph, nothing in thisConvention shall be deemed to create an bligation to grant extradition.

Pasal 17
In taking any measures for investigation or arrest or otherwise exercising jurisdiction in connection with any offence committed on board an aircraft the Contracting State shall pay due regard to the safety and other interests of air navigation and shall so act as to avoid unnecessary delay of the aircraft, passengers crew or cargo.

Pasal 18
If Contracting States establish joint air transport operating organizations or international operating agencies, which operate aircraft not registered in any one State those States shall, according to the circumstances of the case, designate the State among them which for the purposes of this Convention, shall be considered as the State of registration and shall give notice thereof to the International Civil Aviation Organization which shall communicate the notice to all States parties to this Convention..









BAB 3
PENUTUP
Kesimpulan
Tindakan kejahatan diatas pesawat terbang telah lama terjadi sebelum Perang Dunia II. Beberapa faktor yang menjadi penyebab dari tindak kejahatan yang dapat disamakan dengan serangan terorisme, seperti faktor masalah politik dalam negara dan juga sedikit berhubungan dengan masalah ekonomi. Serangan terorisme diatas pesawat terbang tentu sangat membahaykan dan mengancam keamanan umat manusia dan juga negara. Masalah ini juga akan berkaitan dengan yurisdiski apa yang akan digunkan untuk mengadili atau memproses para pelaku aksi terorisme dan juga cara agar bisa mencegah kejadian ini tidak terjadi. Salah satu peristiwa yang dapat dikategorikan sebagai serangan terorisme di pesawat terbang pada abad ke 20 ini adalah peristiwa pengeboman pesawat udara milik Korea Selatan yaitu Korean Air Flight 858 jenis pesawat terbang Boeing 707-3B5C yang terjadi pada tanggal 29 November 1987. Negara yang telah meratifikasi atau mengaksesi konvensi ini dapat menerapkan yurisdiksinya terhadap tindak kejahatan (pembajakan, terorisme) yang terjadi di pesawat udara. Konvensi ini juga tidak melarang penerapan yurisdiksi kriminal yang terkait dengan hukum nasional. Negara-negara pihak yang bukan merupakan negara yang menjadi bagian konvensi ini tidak dapat menerapkan yursidksinya dalam tindak kejahatan di pesawat terbang kecuali dalam beberapa kasus. Pesawat diatakan terbang ketika semua pintu-pintu ditutup untuk embarkasi hingga pintu-pintu terbuka untuk disembarkasi.









DAFTAR PUSTAKA

Literatur
Diedereiks Verschoor.1991. Persamaan dan Perbedaan antara Hukum Udara dan Hukum Ruang Angkasa. Sinar Grafika. Jakarta
Frans Likadja. 1987. Masalah Lintas di Ruang Udara.Binacipta.(Tanpa Tempat Penerbitan)
Juajir Sumardi. 1996. Hukum Ruang Angkasa (Suatu Pengantar). Pradnya Paramita. Jakarta
Windy Novia.-----. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Kashiko. Surabaya

Website
http://forum.infoanda.com/viewtopic.php?f=3&t=12818
http://www.arsip.net/id/link.php?lh=B1JTVQEGBwUG
http://timelines.com/1987/11/29/korean-air-flight-858-explodes-mid-air-from- north-korean-bomb
http://en.wikipedia.org/wiki/Korean_Air_Flight_858
http://www.absoluteastronomy.com/topics/Korean_Air_Flight_858
http://world.kbs.co.kr/indonesian/news/news_zoom_detail.htm?No=4513
http://wapedia.mobi/id/Daftar_kecelakaan_dan_insiden_pesawat_penumpang#37.

Undang-Undang
Convention on Offences and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft 1963