Minggu, 15 Maret 2009

IMUNITAS TERHADAP YURISDIKSI NEGARA

Imunitas (Immunity) mengecualikan dan membebaskan mereka dari penerapan atau pelaksanaan yurisdiksi territorial Negara setempat sehingga disebut juga pengecualian atau pembebasan dari azas yurisdiksi territorial (exemption from territorial jurisdiction).
=è State immunity atau souvereign immunity (melekat pada Negara, Kepala Negara, Kepala Pemerintahan (termasuk pejabat tinggi Negara atau pemerintahan). Azas-azas yang melandasi Souvereign Immunity : 1) Par in parem non habet imperium (suatu Negara berdaulat tidak dapat mdenjalankan kedaulatan terhadap Negara berdaulat lain; 2) Azas Resiprositas atau azas timbal balik (Reciprocity principle); Kasus Sultan Johor pada abad 19 : Pengadilan Inggeris menyatakan tidak berwenang untuk mengadili Sultan Johor yang digugat oleh seorang wanita Inggeris karena tergugat adalah seorang Sultan atau Raja atau Kepala Negara (memiliki kekebalan kedaulatan atau kekebalan sebagai kepala Negara) : a) Kerajaan Inggeris mengakui kerajaan Malaka sebagai Negara berdaulat (Par in parem non habet imperium); b) Raja Malaka (termasuk Sultan Johor) serta keluarganya menikmati kekebalan ketika berada di negeri Inggeris, sebagaimana halnya Raja Inggeris serta keluarganya menikmati kekebalan di negeri Malaka (Azas Resiprositas). Kasus Sultan Johor adalah kasus kekebalan dari yurisdiksi territorial yang menyangkut kekebalan dari proses hukum di Negara setempat.
=èNamun kekebalan dari yurisdiksi territorial tidak hanya menyangkut kekebalan dari proses hukum setempat, tetapi juga kekebalan dari eksekusi keputusan pengadilan setempat (harta kekayaan/ asset Negara asing tidak bisa disita atau dieksekusi oleh aparat hukum Negara setempat). Kasus klasik yang dapat menjelaskan hubungan antara yurisdiksi territorial dan kekebalan kedaulatan adalah the Schooner Exchange v. Mc Faddon yang diputuskan oleh the US Supreme Court. Chief Justice Marshall menyatakan bahwa yurisdiksi suatu Negara di dalam wilayahnya sendiri bersifat eksklusif dan mutlak, tetapi tidak mencakup Negara asing (foreign sovereigns). Dia menyatakan bahwa kesamaan penuh (perfect equality) dan kemerdekaan mutlak (absolute independence) Negara-negara menimbulkankan sekumpulan kasus-kasus di mana setiap Negara berdaulat dianggap melepaskan pelaksanaan sebagian yurisdiksi territorial yang penuh dan eksklusif yang dinyatakan sebagai atribut setiap Negara. Dengan demikian kapal perang yang memasuki pelabuhan dari Negara sahabat, harus dianggap dikecualikan atau dibebaskan dari yurisdiksi negara sahabat. Aturan-aturan ini tidak akan berlaku pada kapal swasta (private ships) yang mudah tunduk pada yurisdiksi Negara lain ketika berada di luar negeri.

=è Pada abad 18 dan 19, berlaku konsep kekebalan mutlak (absolute immunity) di mana Negara sepenuhnya kebal atau memiliki kekebalan penuh dari yurisdiksi Negara lain dalam semua perkara tanpa melihat dan memperhatikan adanya keadaan-keadaan tertentu. Namun timbul masalah ketika Negara mulai terjun dalam kegiatan-kegiatan komersial sehingga banyak Negara melakukan modifikasi terhadap prinsip kekebalan mutlak. Adanya sejumlah badan-badan pemerintah dan perusahaan-perusahaan negara, industri-industri yang dinasionalisasi serta organ-organ negara lainnya merupakan reaksi terhadap prinsip kekebalan mutlak, sebagian disebabkan karena hal seperti ini memungkinkan perusahaan Negara (state enterprises) untuk mendapat keuntungan melebihi perusahaan swasta. Dengan demikian banyak Negara mulai menganut doktrin kekebalan terbatas (the restrictive immunity) yang tetap mengakui atau memberikan kekebalan apabila menyangkut kegiatan pemerintahan (governmental activity), tetapi apabila Negara melakukan kegiatan komersial (commercial activity) maka kekebalan tersebut tidak dapat diberikan. Tindakan pemerintah yang dilakukan demi untuk kepentingan public dan membuat kekebalan tetap diberikan disebut dengan istilah acts jure imperii, sementara tindakan pemerintah yang berkaitan dengan komersial disebut dengan istilah acts jure gestionis.
Negara yang pada waktu tertentu menerapkan prinsip kekebalan absolute adalah Inggeris (United Kingdom), hal ini terbukti dalam sejumlah kasus penting, seperti the Parlement Belge Case. Dalam kasus ini the Court of Appeal menekankan bahwa prinsip yang dapat ditarik dari semua kasus sebelumnya adalah bahwa setiap Negara melalui pengadilan menolak menjalankan yurisdiksi teritorialnya terhadap pribadi dari setiap penguasa atau Duta Besar dari setiap Negara lain ataupun terhadap harta kekayaan dari setiap Negara yang digunakan bagi kepentingan public… meskipun pribadi penguasa, duta besar ataupun harta kekayaan itu berada di dalam yurisdiksi atau kekuasaan hukumnya. Contoh paling ekstrim mengenai doktrin kekebalan absolute adalah kasus Porto Alexandre. Sebuah kapal Portugis yang diambilalih berdasarkan surat perintah yang dikeluarkan oleh pengadilan Inggeris karena tidak membayar yuran atas pelayanan kapal penyeret (tug) dekat Liverpool. Kapal ini semata-mata melakukan private trading operations atau kegiatan dagang, tetapi pengadilan merasa terpaksa atas syarat-syarat dari prinsip the Parlement Belge untuk menolak kasus itu mengingat adanya kepentingan pemerintah Portugis.
=èDalam kasus Duff Development Company v. Kelantan
=è Sejumlah negara ternyata mulai mengadopsi pendekatan imunitas yang bersifat terbatas dengan memperkenankan adanya yurisdiksi terhadap tindakan-tindakan yang non-sovereign pada tahap yang relatif awal. Mahkamah Agung Austria pada tahun 1950 dalam sebuah survei yang bersifat komprehensif atas praktek negara- negara mengenai kekebalan terbatas berkesimpulan bahwa mengingat meningkatnya kegiatan negara-negara dalam bida ng komersial, maka doktrin klasik tentang kekebalan mutlak kehilangan maknanya dan tidak lagi menjadi kaidah hukum internasional. Pada tahun 1952 di dalam Tate letter, Departemen Luar Negeri AS menyatakan bahwa meningkatnya keterlibatan pemerintah dalam kegiatan komersial seiring dengan berubahnya pandangan negara-negara asing terhadap absolute immunity berkontribusi terhadap perlunya sebuah perubahan dan bahwa Deplu AS akan mengikuti teori kekebalan kedaulatan yang bersifat terbatas (the restrictive theory of sovereign immunity). Doktrin kekebalan terbatas ini juga sudah diadopsi oleh pengadilan-pengadilan di AS, terutama sekali dalam kasus Victory Transport Inc.v. Comisaria General de Abasteciementos y Transportes. Dalam kasus ini, pengadilan, dalam hal Departemen Luar Negeri tidak memberikan saran mengenai imunitas para tergugat, suatu unit dari Kementerian Perdagangan Spanyol menegaskan adanya yurisdiksi karena pencarteran atau penyewaan (the chartering) sebuah kapal untuk mengangkut gandum tidak mutlak merupakan suatu tindakan politik atau publik. Pendekatan teori restriktif didukung oleh empat hakim Supreme Court dalam Alfred Dunhill of London Inc. v. Republic of Cuba.

*****Diplomatic Immunity….. Vienna Convention on Diplomatic Relations, 1961
=èKekebalan diplomatik melekat pada : diri pribadi pejabat diplomatik serta keluarganya, gedung perwakilan diplomatik, tempat kediaman pejabat diplomatik, arsip, surat menyurat, tas serta paket diplomatik.
=è Pribadi pejabat diplomatik memiliki kekebalan dari penerapan yurisdiksi teritorial negara penerima (the receiving state) dalam perkara pidana, administratif maupun perkara perdata. Namun kekebalan seorang pejabat diplomatik dapat dibatalkan, dihapuskan atau ditarik kembali oleh Pemerintah negara pengirim (the sending state) atau Kepala Perwakilan Diplomatik. Kekebalan diplomatik bukan merupakan hak istimewa atau hak prerogatif (praerogative right) dari pejabat diplomatik ybs, melainkan sesuingguhnya merupakan kekebalan negara pengirim atau kekebalan pemerintahnya sehingga kekebalan tersebut hanya dapat dibatalkan oleh Pemerintah negara pengirim dan tidak mungkin dapat dibatalkan sendiri oleh pejabat diplomatik ybs tanpa persetujuan negara pengirimnya.
=è Fungsi Perwakilan Diplomatik / Pejabat Diplomatik: representing, negotiating,protecting, promoting, reporting and ascertaining;
=è Kewajiban pejabat diplomatik :a) mematuhi peraturan-peraturan hukum di negara penerima; b) tidak mencampuri urusan dalam negeri negara penerima.
=è Pelanggaran oleh pejabat diplomatik terhadap peraturan-peraturan hukum setempat, termasuk melakukan tindak pidana berat ataupun mengganggu ketertiban serta membahayakan keamanan negara penerima tetap membebaskan pejabat ybs dari pelaksanaan yurisdiksi teritorial atau kekuasaan hukum negara penerima. Namun pejabat diplomatik ybs dapat dikenai pernyataan persona non grata oleh Pemerintah negara penerima walaupun pernyataan persona non grata dapat dilakukan sebelum ybs menjalankan tugasnya di negara penerima. Pernyataan Persona non grata merupakan terobosan terhadap kekebalan diplomatik yang dapat dilakukan oleh negara penerima dalam usaha menghormati dan mematuhi azas kekebalan diplomatik yang membebaskan pejabat diplomatik ybs dari yurisdiksi teritorial dan sekaligus juga memulihkan serta mempertahankan martabat (dignity) atau kedaulatan negara penerima.
=è Pernyataan persona non grata membawa konsekuensi bahwa orang ybs harus meninggalkan negara penerima dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh Pemerintah negara setempat dan dia harus kembali ke negara asalnya, negara penerima.
=è Walaupun kekebalan diplomatik membebaskan pejabat diplomatik dari pelaksanaan kekuasaan hukum setempat (yurisdiksi teritorial negara penerima) ketika terlibat dalam tindak pidana berat, namun setelah dipersonanongratakan oleh negara penerima dan kembali ke negara pengirim, dia tidak dibebaskan dari tanggungjawab hukum (legal liability) di negara asalnya atau di negara pengirim. Negara pengirim wajib menuntut pertanggungjawaban dari orang ybs atas kesalahan yang dilakukannya di negara penerima.
=è Berbagai kasus persona non grata :
1) Pejabat diplomatik asing yang dipersonanongratakan oleh Pemerintah RI :
*** Kasus Diplomat Uni Soviet (SP Egorov) 9 Januari 1982 …Mencampuri urusan domestik Indonesia.
*** Kasus dua Diplomat AS tahun 1994… tindak pidana berat (sindikat narkoba);
*** Bagaimana dengan Kasus Namru (Naval American Medical Research Unit) yang ditempatkan sebagai bagian dari Kedubes AS dan diakui kekebalannya oleh Pemerintah RI ?
2) Pejabat diplomatik Indonesia yang dipersonanongratakan di negara lain (negara penerima) :
*** Kasus Leo Lopulisa (Dubes RI untuk Philipina pada tahun 1980-an);…mencampuri urusan domestik Philipina);
*** Kasus Gading Gajah …tindak pidana penyelundupan gading gajah;
*** Kasus Nana Sutresna (Dubes RI untuk Kerajaan Inggeris)…puteranya tersangkut dalam tindak pidana narkoba… persona non grata terselubung. Walaupun Konvensi Wina 1961 mengenai hubungan diplomatik tidak menyebut mengenai persona non grata yang bersifat terselubung (implied) karena persona non grata harus dinyatakan secara tegas, hal seperti ini dapat dikemas dalam cara dan alasan yang legal terkait dengan penarikan kembali Dubes Nana Sutresna dari Inggeris beberapa tahun lalu.
=è Seorang pejabat diplomatik dapat dilepaskan kekebalannya dalam hal ybs tersangkut perkara perdata akibat tindakan yang dilakukannya bersifat pribadi dan untuk kepentingan pribadinya dan bukan dalam kapasitasnya sebagai pejabat diplomatik. Wanprestasi ataupun perbuatan melawan hukum yang dilakukan dapat dipakai sebagai alasan oleh siapapun yang merasa dirugikan untuk mengajukan gugatan perdata serta menuntut gantirugi dari pejabat diplomatik ybs. Namun gugatan perdata hanya dapat diproses oleh pengadilan setempat apabila sudah terjadi penghapusan kekebalan (waiver of immunity). Waiver of immunity atau penghapusan kekebalan terhadap diplomat ybs harus dilakukan secara tegas atau tertulis sebab hanya dengan cara seperti itu proses pemeriksaan perkara perdata dapat dijalankan oleh pengadilan setempat sebagai pelaksanaan yurisdiksi teritorial negara setempat.
=è Putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan setempat tidak langsung dapat dieksekusi sebab untuk mengeksekusi atau melaksanakan putusan pengadilan dibutuhkan penghapusan kekebalan dari eksekusi secara tersendiri. Inilah yang dinamakan separate waiver.
=è Mengenai kekebalan konsuler (Consular Immunity)--- pengaturannya dalam hubungan konsuler 1963 (The Vienna Convention on Consular Relations 1963). Para Konsul mewakili negaranya dalam banyak bidang administratif, misalnya mengeluarkan visa dan paspor (visas and passports) dan pada umumnya mempromosikan kepentingan negara pengirimnya dalam bidang komersial. Mereka ditempatkan tidak hanya di ibukota negara penerima, tetapi juga di banyak kota besar penting dari suatu provinsi. Fungsi politiknya hanya sedikit sehingga konsul tidak diberikan tingkat kekebalan yang sama terhadap yurisdiksi seperti pejabat diplomatik (diplomatic harus mempunyai sebuah komisi yang berasal dari negara pengirim serta negara penerima. Konsul berhak atas pengecualian sama dari kewajiban dalam bidang pajak serta bea cukai sebagaimana halnya dengan diplomat.
***Pasal 31 dari Konvensi Wina 1963 menekankan bahwa gedung-gedung perwakilan konsuler (consular premises) tidak dapat diganggugugat (inviolable) serta tidak dapat dimasuki oleh otoritas negara penerima tanpa persetujuan dari Kepala perwakilan konsuler. Sebagaimana dengan gedung perwakilan diplomatik (diplomatic premises), maka gedung konsuler harus dilindungi melawan serangan dan gangguan atas martabat (dignity); arsip dan dokumen juga memiliki kekebalan serupa serta gedung konsuler dibebaskan dari pajak.
*** Pasal 41 menetapkan bahwa para petugas konsuler tidak dapat ditangkap atau ditahan kecuali terbukti terlibat dalam tindak pidana berat yang diputuskan oleh pengadilan yang berwenang. Jika proses pemeriksaan kasus kriminal ini mulai berjalan, maka konsul itu harus tampil di depan otoritas yang berwenang. Proses persidangan tersebut harus dilakukan dengan cara yang menghormati kedudukannya sebagai seorang konsul (official position) serta memperkecil hal-hal yang dapat mengganggu pelaksanaan tugas-tugas konsuler. Berdasarkan ketentuan pasal 43 kekebalannya dari yurisdiksi dibatasi baik dalam masalah pidana maupun perdata pada tindakan-tindakan atau perbuatan-perbuatan yang dilakukan dalam menjalankan tugas-tugas resmi sebagai konsul.
=è Mengenai kekebalan dari Misi Khusus (Special Missions) terdapat pengaturannya dalam The Convention on Special Missions 1969. Dalam banyak hal negara-negara akan atau dapat mengirim dan mengutus misi khusus atau misi ad hoc ke negara-negara tertentu untuk membicarakan suatu isu yang telah ditentukan di samping mempercayakannya kepada staff perwakilan diplomatik dan konsuler yang sifatnya permanen. Dalam keadaan demikian utusan khusus (special missions) entah semata-mata bersifat teknis atau secara politis penting dapat mengandalkan adanya kekebalan-kekebalan tertentu yang pada dasarnya berasal (derived from) dari Konvensi-Konvensi Wina dengan cara menggunakan analogi disertai modifikasi seperlunya. Berdasarkan ketentuan pasal 8 dari the Convention on Special Missions 1969, negara pengirim harus membiarkan negara penerima (the host state) mengetahui besarnya (size) serta komposisi dari misi tersebut, sementara menurut pasal 17 misi tadi harus hadir di suatu tempat yang disetujui oleh negara-negara yang bersangkutan atau di Kementerian Luar Negeri dari negara penerima.
Berdasarkan ketentuan pasal 31 para anggota dari special missions tidak memiliki imunitas menyangkut klaim yang timbul dari suatu kecelakaan akibat suatu kendaraan yang digunakan di luar tugas resmi dari orang ybs dan berdasarkan ketentuan pasal 27 maka kebebasan bergerak dan bepergian yang diperkenankan hanyalah kebebasan bergerak dan bepergian yang diperlukan untuk menjalankan fungsi-fungsi dari misi khusus.
=è Mengenai kekebalan perwakilan negara-negara pada suatu Organisasi Internasional, dapat dilihat dalam the Vienna Convention on the Representation of States in their Relations with International Organizations, 1975. Perjanjian ini berlaku terhadap perwakilan negara-negara pada suatu organisasi internasional yang bersifat universal tanpa memperhatikan ada tidaknya hubungan diplomatik antara negara pengirim (sending state) dengan negara setempat (host state). Terdapat banyak kemiripan (similarities) antara Konvensi Wina 1975 dengan Konvensi Wina 1961. Misalnya berdasarkan pasal 30 staff diplomatik menikmati kekebalan penuh (complete immunity) dari yurisdiksi kriminal dan kekebalan dari yurisdiksi sipil dan administratif dalam semua hal (in all cases), terkecuali untuk kekecualian yang sama yang ditentukan dalam pasal 31 dari Konvensi Wina 1961. Staff bidang administratif, teknis dan dinas pelayanan (service) posisinya sama sebagaimana diatur dalam Vienna Convention 1961. Gedung perwakilan (the mission premises) negara pengirim pada suatu organisasi internasional yang berada di negara setempat tidak bisa diganggugugat (inviolable) serta dibebaskan dari kewajiban perpajakan oleh negara setempat, sementara arsip, dokumen serta korespondensi juga tidak bisa diganggugugat oleh aparat negara setempat.
=è Mengenai kekebalan dari Organisasi Internasional, dapat dikemukakan sebagai berikut. Sejauh menyangkut kaidah-kaidah kebiasaan posisi organisasi internasional jauh dari jelas dan diatur melalui perjanjian yang mengatur imunitas bagi lembaga-lembaga internasional yang ditempatkan di dalam wilayah negara setempat. Kekebalannya dapat diatur melalui perjanjian apabila secara fungsional kekebalan tersebut diperlukan untuk mewujudkan tujuan-tujuan dari organisasi atau lembaga internasional itu. Agaknya contoh paling penting di dalam konvensi yang bersifat umum mengenai kekebalan dan hak-hak istimewa PBB tahun 1946, yang menetapkan kekebalan PBB serta para personilnya dan menekankan prinsip inviolability pada gedung organisasi internasional, arsip dan dokumen.
=è Mengenai penghapusan kekebalan (waiver of immunity), berdasarkan ketentuan pasal 32 dari Vienna Convention 1961, negara pengirim dapat menghapuskan kekebalan yurisdiksi dari orang yang berhak atas kekebalan meskipun penghapusan itu harus selalu dilakukan secara tegas. Apabila seseorang yang mempunyai kekebalan memulai suatu perkara (initiates proceedings), dia tidak bisa mengklaim kekebalan menyangkut suatu tuntutan balik (any counterclaim) yang terkait langsung dengan tuntutan pokok (the principal claim). Penghapusan kekebalan yurisdiksi menyangkut perkara perdata atau administratif tidak boleh dilakukan sehingga memuat penghapusan kekebalan menyangkut pelaksanaan putusan (the execution of the judgment). Penghapusan kekebalan eksekusi putusan memerlukan penghapusan tersendiri (separate waiver).
=è Kekebalan kedaulatan (sovereign immunity) juga dapat dihapuskan. Section 2 dari the State Immunity Act of 1978 menetapkan hilangnya kekebalan (the loss of immunity) atas dasar penyerahan sengketa kepada yurisdiksi pengadilan baik melalui perjanjian tertulis yang dibuat sebelum timbulnya sengketa maupun sesudahnya. Suatu negara dianggap sudah menyerahkan kepada yurisdiksi pengadilan kalau negara ybs memulai atau campur tangan dalam perkara di pengadilan (terkecuali dia mengklaim kekebalan semata-mata). Jika suatu negara menyerahkan sengketa kepada yurisdiksi pengadilan, maka dia dianggap telah menyerahkan kepada yurisdiksi pengadilan setiap tuntutan balik (any counter claim) yang timbul dari hubungan atau fakta hukum yang sama dengan tuntutan atau gugatan tersebut. Suatu ketentuan dalam suatu persetujuan bahwa hal itu harus diatur dengan hukum Inggeris tidak boleh dianggap sebagai suatu penyerahan sengketa kepada pengadilan (submission).
Berdasarkan section 9 dari the State Immunity Act of1978, apabila suatu negara sepakat secara tertulis untuk menyerahkan kepada sebuah arbitrasi suatu persengketaan (tetapi bukan sengketa antarnegara, inter-state dispute) yang sudah timbul atau mungkin timbul, maka negara ybs tidak kebal apabila menyangkut sidang perkara di pengadilan Inggeris terkait dengan arbitrasi.








YURISDIKSI NEGARA (STATE JURISDICTION)

YURISDIKSI NEGARA (STATE JURISDICTION)

- TIDAK DAPAT DIPISAHKAN DARI AZAS KEDAULATAN NEGARA (STATE SOUVEREIGNTY)
- KONSEKUENSI LOGIS DARI AZAS KEDAULATAN NEGARA
- NEGARA MEMILIKI KEDAULATAN ATAU KEKUASAAN TERTINGGI DALAM BATAS-BATAS TERITORIALNYA (TERRITORIAL SOUVEREIGNTY) -à yurisdiksi territorial (territorial jurisdiction)
- Sesungguhnya pengertian YURISDIKSI NEGARA jauh lebih luas daripada pengertian KEDAULATAN NEGARA sebab tidak hanya terbatas pada apa yang dinamakan yurisdiksi territorial sebagai konsekuensi adanya kedaulatan territorial, tetapi juga mencakup yurisdiksi Negara yang bukan yurisdiksi territorial (yurisdiksi ekstra territorial atau extra territorial jurisdiction) yang eksistensinya bersumber dari hukum internasional, seperti yurisdiksi negara di jalur tambahan, di zee, di landas kontinen, di laut bebas, di ruang angkasa etc.
- Ada berbagai macam yurisdiksi Negara. Selain yang baru dikemukakan di atas, ada yang dinamakan y. legislative, executive, administrative, judicative, y. kriminal dan sipil, y. personal, y. universal etc.
- Namun dari berbagai macam yurisdiksi Negara, maka yang paling menonjol dan significant adalah y. territorial (territorial jurisdiction). Mengapa ?
- Karena yurisdiksi seperti inilah yang pada akhirnya dapat dilaksanakan oleh suatu negara terkait dengan siapapun dan apapun yang berada di dalam batas-batas wilayahnya.
- Menurut Starke, yurisdiksi territorial dapat diartikan sebagai hak, kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki oleh Negara untuk membuat peraturan-peraturan hukum, melaksanakan dan memaksakan berlakunya peraturan-peraturan tersebut dalam hubungan dengan orang, benda, hal atau masalah yang berada dan atau terjadi di dalam batas-batas wilayah dari Negara yang bersangkutan.
Dalam hukum internasional dikenal apa yang disebut perluasan yurisdiksi territorial (the extention of territorial jurisdiction).
- Timbul akibat kemajuan iptek, khususnya teknologi transportasi, komunikasi dan informasi serta hasil-hasilnya.
- Kemajuan iptek ini ditampung dan diakomodasi oleh masyarakat dan hukum internasional guna mengantisipasi pemanfaatan dan penyalahgunaan hasil-hasil iptek ini oleh mereka yang terlibat dalam pelanggaran hukum maupun tindak pidana di dalam wilayah suatu Negara.
- Perluasan yurisdiksi teritorial mempergunakan dua pendekatan ;
1) Prinsip territorial subyektif (the subjective territorial principle);
2) Prinsip territorial obyektif (the objective territorial principle);
Prinsip pertama memperkenankan suatu Negara untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya terhadap suatu tindak pidana yang mulai dilakukan atau terjadi di dalam wilayah negaranya walaupun berakhir atau diselesaikan di Negara lain. Penerapannya dapat ditemukan antara lain dalam beberapa perjanjian internasional, seperti Geneva Convention on the Suppression of Counterfeiting Currency, 1929; Geneva Convention on the Suppression of the Illicit Drug Traffic, 1936, etc).
Prinsip kedua memperkenankan suatu Negara untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya terhadap suatu tindak pidana yang terjadi di luar negeri (Negara lain), tetapi berakhir atau diselesaikan dan membahayakan negaranya sendiri. Penerapan prinsip territorial obyektif ini, selain dapat ditemukan dalam kedua perjanjian atau konvensi tersebut di atas, juga dalam konvensi-konvensi atau perjanjian-perjanjian lainnya. Kedua prinsip yang digunakan dalam memperluas yurisdiksi territorial tersebut sudah pasti membawa dan menimbulkan apa yang dinamakan persaingan yurisdiksi (concurrent jurisdiction), yaitu antara Negara tempat terjadinya suatu tindak pidana dengan Negara yang menerima akibatnya ataupun dengan Negara tempat pelakunya berada atau melarikan diri etc.
Prinsip territorial obyektif selain dapat dilihat atau ditemukan dalam berbagai perjanjian internasional, juga dapat ditemukan dalam putusan Mahkamah Internasional Permanen terkait dengan kasus Lotus (the Lotus Case). Kasus atau perkara ini melibatkan Perancis dan Turki yang timbul akibat peristiwa tubrukan kapal kedua Negara di laut bebas di luar perairan territorial Turki. Turki melalui pengadilannya menerapkan aturan hukum pidananya yang di dalamnya memuat azas perlindungan (jurisdiction according the protective principle) di mana tindak pidana yang terjadi di luar wilayah Turki menimbulkan kerugian bagi Turki atau warganya. Karena kapten kapal Perancis (MV Lotus) dihukum, lalu Pemerintah Perancis melakukan protes terhadap Turki. Sengketa kedua Negara diajukan ke depan Mahkamah Internasional Permanen yang pada akhirnya menyatakan bahwa tidak ada larangan dalam hukum kebiasaan internasional bagi suatu Negara untuk menjalankan yurisdiksinya atas suatu tindak pidana yang terjadi di luar negeri, tetapi merugikan Negara tersebut. Putusan Mahkamah ini di samping mengakui azas perlindungan sebagai landasan dalam menjalankan yurisdiksi, juga terutama menerapkan azas territorial obyektif, di mana tindak pidana tersebut terjadinya dimulai dari kapal Perancis, tetapi membawa akibat yang merugikan kapal Turki yang dianggap sebagai bagian integral dari wilayah Turki sehingga yang berlaku adalah hukum Negara ini.

Selanjutnya di dalam hukum internasional diakui atau dikenal apa yang dinamakan yurisdiksi personal atau yurisdiksi perseorangan (personal jurisdiction). Suatu Negara dapat mengklaim yurisdiksinya berdasarkan azas personalitas (jurisdiction according to personality principle atau disingkat dengan personal jurisdiction). Yurisdiksi personal adalah yurisdiksi terhadap seseorang, apakah dia adalah warganegara atau orang asing. Hanya saja orang yang bersangkutan tidak berada dalam wilayahnya atau dalam batas-batas territorial dari Negara yang mengklaim yurisdiksi seperti ini. Negara yang mengklaim atau menyatakan yurisdiksinya baru dapat menjalankan yurisdiksi atau kekuasaan hukumnya apabila orang yang bersangkutan sudah datang dan berada dalam batas-batas teritorialnya, entah dia datang secara suka rela ataukah datang secara terpaksa, misalnya melalui proses ekstradisi.
Yurisdiksi personal dapat digunakan berdasarkan dua macam azas, yaitu azas atau prinsip nasionalitas aktif (active nationality principle) serta prinsip nasionalitas pasif (passive nationality principle).
Yurisdiksi Negara berdasarkan prinsip nasionalitas aktif atau disingkat saja prinsip nasionalitas aktif memperkenankan suatu Negara untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya terhadap suatu tindak pidana apabila orang yang melakukan tindak pidana atau orang yang bersalah adalah warganegaranya sendiri. Hal ini disebabkan karena hukum nasional dari suatu Negara akan selalu mengikuti warganegaranya dimanapun dia berada dan kemanapun dia bepergian. Orang Indonesia membunuh seseorang di Philipina. Hukum Indonesia mengikuti, melekat dan berlaku pada pelakunya, tetapi pada saat bersamaan juga berlaku hukum Filipina sehingga terjadi persaingan yurisdiksi (concurrent jurisdiction). Namun dari persaingan ini, Negara yang efektif menjalankan yurisdiksinya adalah Filipina. Filipina dapat secara efektif menjalankan yurisdiksinya berdasarkan azas territorialitas terkait dengan tempat kejadian dan terutama pelakunya. Sebaliknya Indonesia tidak mungkin efektif menjalankan yurisdiksinya, sekalipun Indonesia berkepentingan dan dapat saja mengklaim yurisdiksinya berdasarkan azas personalitas, dalam hal ini prinsip nasionalitas aktif. Kalau Filipina menjalankan yurisdiksi teritorialnya dengan melakukan proses hukum terhadap warganegara Indonesia, maka Indonesia wajib menghormatinya. Kasus pembunuhan oleh Harmoko (Oki), warganegara Indonesia dengan korbannya dua orang Indonesia dan seorang warganegara India yang terjadi dalam wilayah hukum AS pada tahun 1994 menimbulkan persaingan yurisdiksi di antara kedua Negara. AS mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya berdasarkan azas territorialitas (territorial jurisdiction) karena tempat kejadian, alat bukti, barang bukti termasuk para korban terjadi dan berada di dalam wilayah AS (di Los Angeles). Sedangkan Indonesia juga mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya berdasarkan azas personalitas karena pelaku kejahatan di AS adalah warganegara Indonesia (azas nasionalitas aktif) dan korbannya adalah juga warganegaranya (azas nasionalitas pasif). Selain azas personalitas, maka klaim dan pernyataan yurisdiksi Indonesia atas kasus pembunuhan di AS juga didasarkan atas azas territorialitas karena pelakunya sudah terlanjur masuk ke dalam wilayah Indonesia sebelum kasus itu berhasil dibongkar oleh aparat hukum AS.
Selanjutnya apa yang dinamakan prinsip nasionalitas pasif (passive nationality principle) memperkenankan suatu Negara untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya terhadap suatu tindak pidana yang terjadi di luar negeri apabila pelakunya adalah orang asing, tetapi korbannya adalah warganegaranya sendiri. Orang asing yang melakukan tindak pidana di luar negeri dan merugikan warganegara dari suatu Negara, maka Negara korban dapat mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya berdasarkan azas personalitas, dalam hal ini azas nasionalitas pasif. Negara yang bersangkutan baru dapat menjalankan yurisdiksinya secara efektif apabila pelakunya sudah datang dan berada di dalam wilayahnya. Ada tindakan-tindakan tertentu yang bagi suatu Negara dikategorikan sebagai tindak pidana, tetapi bagi Negara lain bukan tindak pidana atau bukan perbuatan melawan hukum. Misalnya pencemaran nama baik seseorang dikategorikan sebagai tindak pidana dalam hukum Indonesia, tetapi dalam hukum AS bukan tindak pidana. Hal seperti ini yang antara lain melatarbelakangi timbulnya azas personalitas yang memungkinkan atau memperkenankan suatu Negara mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya terhadap suatu tindak pidana yang dilakukan oleh orang asing di luar negeri, namun merugikan warganegaranya sendiri. Dalam hubungan ini, persaingan yurisdiksi tentu saja terjadi dan tidak terhindarkan di antara beberapa Negara yang mempunyai kepentingan. Negara mana yang pada akhirnya dapat menjalankan yurisdiksinya secara efektif, tergantung pada Negara tempat pelakunya berada. Kasus pencemaran nama baik mantan Presiden Soeharto oleh majalah Time secara implisit mengandung persaingan yurisdiksi antara Indonesia dan AS, di mana pihak Indonesia berkepentingan untuk mengklaim dan menyatakan kewenangannya berdasarkan azas personalitas pasif, sementara pihak AS berkepentingan untuk tidak mengklaim dan untuk tidak menyatakan kewenangannya berdasarkan azas territorialitas.


Hukum internasional juga mengakui apa yang dinamakan yurisdiksi berdasarkan azas universal atau disingkat yurisdiksi universal (universal jurisdiction). Semua Negara tanpa terkecuali dapat mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya berdasarkan azas universal. Terdapat tindak-tindak pidana tertentu yang karena sifat atau karakternya memun gkinkan atau memperkenankan semua Negara tanpa terkecuali untuk mengklaim dan menyatakan kewenangannya atas suatu tindak pidana yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan tanpa menghiraukan siapa pelakunya (warganegaranya sendiri atau orang asing), siapa korbannya (warganegaranya sendiri atau orang asing), juga tanpa menghiraukan tempat terjadinya maupun waktu terjadinya. Tindak-tindak pidana yang dimaksudkan antara lain adalah kejahatan perang (war crimes), kejahatan terhadap perdamaian dunia (crimes against international peace), kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity), perompakan laut (piracy), pembajakan udara (hijacking), kejahatan terorisme (terrorism) dan berbagai kejahatan kemanusiaan lainnya yang dinilai dapat membahayakan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Dalam hubungan ini sering tidak dapat dihindari adanya persaingan yurisdiksi di antara berbagai Negara yang mempunyai kepentingan, yaitu antara Negara tempat terjadinya suatu tindak pidana seperti itu dengan Negara Negara korban, dengan Negara tempat pelakunya berada atau melarikan diri etc. Untuk dapat mengklaim dan menyatakan yurisdiksi terhadap tindak pidana seperti itu, maka Negara-negara yang berkepentingan masing-masing seharusnya telah membuat peraturan-peraturan hukum nasional yang dapat digunakan untuk menangani tindak pidana seperti itu. Kasus Eichmann (Eichmann Case) dipandang sebagai tonggak awal lahirnya yurisdiksi universal. Sebagai Negara korban pada masa Perang Dunia II, Israel membuat Undang-Undang yang mengatur mengenai kejahatan perang, kejahatan terhadap perdamaian dunia dan kejahatan terhadap kemanusiaan, terutama terhadap bangsa Yahudi. Dengan menerapkan undang-undang ini, Pengadilan Israel berhasil membuktikan kesalahan Eichman sehingga pengadilan menjatuhkan putusan hukuman mati atas diri Eichman yang kemudian menimbulkan kecaman dari berbagai kalangan soal keabsahan tindakan pengadilan dari Negara Yahudi yang baru bereksistensi beberapa tahun usai Perang Dunia II Mereka ini mengatakan tindakan atau putusan pengadilan itu bertentangan dengan azas legalitas atau azas nullum delictum sebagai azas hukum pidana yang bersifat universal. =è Mahkamah Kriminal Internasional atau pengadilan internasional di Nuremberg dan Tokyo
(lazimnya dinamakan Peradilan Nuremberg serta Peradilan Tokyo) yang dibentuk oleh Negara-negara sekutu sebagai pemenang PD II berdasarkan perjanjian London (the London Agreement) tahun 1942. Tujuannya untuk mengadili serta menghukum mereka yang terbukti bersalah melakukan kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan terhadap perdamaian dunia, tanpa memperhatikan apapun kedudukan mereka. Mereka yang terbukti bersalah harus bertanggungjawab secara individual dan tidak dimungkinkan untuk berlindung di belakang Tanggungjawab Negara (State Responsibility). Namun demikian tidak sedikit dari mereka yang diadili serta dihukum oleh pengadilan nasional dari Negara setempat.
=è Selain perjanjian London, maka Genocide Convention thun 1948 juga memuat yurisdiksi Negara menurut azas universal atau yurisdiksi universal (universal jurisdiction). Genocide Convention mengatur tentang pembunuhan missal atau sekelompok masyarakat atas dasar ras, etnis, warna kulit, keyakinan agama maupun politiknya. Mereka yang bersalah harus bertanggungjawab secara individual dan tidak boleh berlindung di belakang tanggungjawab Negara.
=è Pembentukan ICC (International Criminal Court) berdasarkan Statuta Roma tahun 1998 dan mulai berlaku sejak 1 Juli 2002. Yurisdiksinya mencakup pelanggaran HAM berat (gross violation of Human Rights), seperti kejahatan genosida, kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, kejahatan agresi dan berbagai bentuk kejahatan kemanusiaan lainnya, seperti kejahatan terorisme etc. Mereka yang bersalah harus bertanggungjawab secara individual dan tidak bias berlindung di balik tanggungjawab Negara (state responsibility) tanpa memperhatikan kedudukan atau jabatan yang mereka emban. ICC pada instansi pertama (the first resort), melainkan pengadilan terakhir dari instansi terakhir (the last of the last resort) sehingga system peradilannya tidak menggerogoti kedaulatan dari Negara peserta ICC atau Negara peserta Statuta Roma. ICC hanya berfungsi sebagai pengadilan pelengkap terhadap pengadilan nasional atau pengadilan domestic sebab ICC mengutamakan penerapan upaya-upaya hokum setempat (exhaustion of local remedies). Selama Negara peserta ICC masih mau dan mampu menyelesaikan kasus kejahatan kemanusiaan tersebut, maka ICC tidak memiliki yurisdiksi untuk mengadili kasus kejahatan HAM berat yang terjadi di Negara yang bersangkutan. Yurisdiksi ICC juga hanya mencakup kasus kejahatan HAM berat yang terjadi setelah 1 Juli 2002 dan bukan sebelumnya.